KRITIK PARA NABI
Perjumpaan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Kanaan telah mempengaruhi cara pandang mereka terhadap ibadah kepada TUHAN. Tujuan mereka beribadah bukan lagi untuk mengungkapkan bakti kepada-Nya, tetapi untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Melihat kenyataan itu, para nabi melontarkan berbagai kritik terhadap ibadah yang dilakukan oleh umat Israel. Semua kritik itu mereka sampaikan agar umat Israel dapat menjalankan ibadah yang sejati kepada Allah yang telah menyelamatkan mereka.
A. Penyimpangan
Menutup mata TUHAN. TUHAN telah memilih Israel untuk membawa berkat bagi segala bangsa, tetapi mereka justru memperlakukan TUHAN sebagai ilah atau berhala yang dapat mereka pergunakan untuk kepentingan dan cita-cita mereka sendiri: kekayaan, kesejahteraan, kejayaan, dan kekuasaan. Mereka lupa bahwa mereka adalah milik TUHAN dan justru menganggap Dia sebagai milik mereka sendiri, sebagai alat atau sarana yang dapat mereka pergunakan menurut kehendak mereka untuk memenuhi keinginan mereka sendiri.
Perayaan-perayaan meriah dilangsungkan untuk memuji Allah dan kurban dipersembahkan kepada- Nya. Tetapi, semua itu mereka lakukan bukan untuk Allah, tetapi untuk mereka sendiri. Mereka memuji Allah dalam perayaan dan mempersembahkan kurban kepada- Nya supaya Ia merasa “senang” lalu mau melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Mereka beranggapan bahwa Allah suka dengan kurban persembahan sehingga tidak mempedulikan perilaku umat-Nya. Mereka mengira bahwa Allah tidak akan memperhatikan dosa dan kesalahan mereka kalau sudah diberi kurban persembahan. Akibatnya, orang-orang kaya yang merasa diri dapat mempersembahkan banyak kurban, bisa berbuat dosa semaunya dan sesudahnya mereka dapat mempersembahkan kurban kepada TUHAN supaya Ia tidak murka terhadap mereka.
Para nabi melihat adanya praktek ibadat yang dilakukan seolah-olah hanya untuk menutup mata TUHAN. Bahkan, mereka melihat bahwa persembahan yang dibawa ke hadapan TUHAN adalah hasil pemerasan dan penindasan. Mereka memeras sesama, terutama yang miskin, lalu membawa sebagian hasilnya kepada TUHAN sebagai persembahan. Mereka beranggapan bahwa yang penting bagi-Nya adalah kurban yang mereka persembahkan. Jadi, di satu sisi mereka beribadah, di sisi lain mereka menindas sesamanya. Dengan cara demikian, sebenarnya ibadah itu hanya menyenangkan diri mereka sendiri, dan sama sekali tidak berkenan pada Allah.
Memenjarakan TUHAN. Situasi tempat ibadat di Kerajaan Utara berbeda dari situasinya di Kerajaan Selatan. Di Kerajaan Selatan peribadatan dipusatkan di Bait Allah Yerusalem. Sedangkan di Kerajaan Utara pemusatan seperti itu tidak ada; banyak tempat ibadah didirikan untuk keperluan ibadah di kerajaan tersebut. Walaupun demikian, tempat-tempat di kedua kerajaan tersebut dikecam oleh para nabi.
Pada zaman para nabi terjadi banyak salah paham berhubungan dengan tempat tempat ibadah itu. TUHAN adalah penguasa seluruh umat manusia dan seluruh alam semesta, tetapi orang Israel telah membatasi kuasa dan ruang lingkup-Nya, yakni hanya dalam bidang keagamaan di tempat-tempat ibadah. Para nabi menegur bangsa Israel agar jangan terus merasa aman dan menganggap bahwa mereka tidak akan mungkin mengalami suatu celaka karena Bait Allah ada di tengah mereka (bdk. Yer. 7).
Selain itu, terjadi juga percampuran antara agama Israel dengan agama Kanaan. Orang Israel mengambil alih banyak tempat ibadah orang Kanaan dan meniru kebiasaan mereka dalam beribadah. Salah satunya adalah bukit pengurbanan, sebuah tempat ibadat terbuka. Di tempat ini didirikan mezbah (lambang dewa dan tempat mempersembahkan kurban) dan tiang-tiang keramat (lambang dewi). Tiang-tiang keramat (Asyera) yang menjadi lambang Dewi Astarte itu merupakan salah satu sebab menonjolnya unsur seksual dalam ibadat di bukit pengurbanan. Dari kritik-kritik para nabi tampak bahwa Israel meniru kebiasaan orang Kanaan sehubungan dengan ibadat yang mereka lakukan di bukit-bukit pengurbanan itu.
B. Kritik Para Nabi
Para nabi tidak tinggal diam menyaksikan segala bentuk penyimpangan dalam ibadah yang dilakukan oleh orang Israel. Mereka melancarkan kritik baik terhadap praktek ibadah yang dilakukan oleh orang Israel maupun terhadap pandangan mereka yang bersumber pada tempat ibadah.
Mengenai ibadah. Para nabi menyerukan bahwa TUHAN tidak tinggal diam melihat praktek yang keliru dalam ibadah Israel. Jika dibiarkan, mereka akan beranggapan bahwa TUHAN berkenan pada ibadah dan cara hidup mereka. Lebih jauh hal itu dapat berarti bahwa Ia membenarkan tindakan mereka TUHAN tidak berkenan pada kurban yang mereka persembahkan karena bukan itu yang dikehendaki-Nya. Yang sesungguhnya dikehendaki oleh TUHAN adalah berlaku baik kepada sesama, terutama yang miskin dan menderita. Pernyataan ini menjelaskan makna ibadah yang sejati: ibadah adalah wujud ketaatan kepada TUHAN, Allah mereka. Kalau mereka mau hidup sesuai dengan kehendak- Nya, yang harus mereka lakukan adalah memperhatikan sesama, dan bukan menindas sesama lalu mempersembahkan hasilnya kepada TUHAN.
Para nabi menunjukkan bahwa hubungan umat Israel dengan TUHAN itu tidak dapat dipisahkan dari hubungan dengan sesama. Orang yang tunduk dan taat kepada Allah, pasti mengasihi sesamanya. Ibadat itu tidak terpisah dari kehidupan yang nyata, tetapi merupakan bagian dari kehidupan tersebut. Ketaatan untuk hidup sebagai umat Allah sama sekali tidak dapat dibatasi dalam tempat-tempat ibadah, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Bagi para nabi, ibadah itu tidak memiliki peran mutlak, apalagi bila dianggap sebagai cara terbaik untuk menyenangkan hati Allah. Ada hal lain yang perlu lebih mendapat perhatian, yakni kehidupan nyata. Kalau orang tidak mengabaikan perhatian pada sesamanya, ibadah yang dilakukannya akan kehilangan nilainya.
Mengenai tempat ibadah. Amos menyatakan bahwa tempat-tempat ibadah Israel sama sekali tidak berkenan kepada TUHAN, tetapi hanya memuaskan keinginan manusia. Ia melihat bahwa orang memiliki pandangan yang keliru mengenai tempat suci (Am. 5:4-6). Bagi mereka tempat itu adalah satu-satunya tempat TUHAN berkenan hadir menjumpai manusia. Seolah-olah tempat ibadah itu adalah tempat mereka memiliki TUHAN. Padahal, Ia hadir di mana pun Ia menghendakinya karena langit adalah takhta-Nya dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya (Yes. 66:1). Allah hadir dalam setiap peristiwa hidup manusia dan dalam diri sesama manusia, terutama yang miskin karena Dia adalah bapa bagi anak yatim dan pelindung para janda. Bila orang mencari Allah dengan kurban persembahan, Allah tidak akan mereka temukan (Hos. 5:6).
Bahkan, Mika menyatakan bahwa sebaiknya Sion dihancurkan karena keyakinan para pemimpin Israel yang keliru (Mi. 3:9-12). Mereka telah berlaku jahat baik dalam bidang sosial maupun dalam bidang keagamaan, tetapi mereka beranggapan bahwa mereka tidak akan ditimpa malapetaka karena TUHAN “ada di tengah-tengah kita.” Ia adalah Allah mereka dan mereka mengira bahwa tidak mungkin Ia menghukum umat-Nya sendiri, sekalipun mereka berlaku jahat. Dengan cara demikian, sebenarnya mereka telah memperlakukan TUHAN seperti berhala.
Yeremia mengungkapkan bahwa Yerusalem dan Bait Allah telah menjadi sarang penyamun (Yer. 7:11-15). Karena itu, TUHAN akan menghancurkannya seperti dahulu TUHAN menghancurkan Silo karena penyimpangan yang dilakukan oleh umat Israel (bdk. 1Sam. 4). Mereka memiliki tempat ibadat dan merasa telah beribadat kepada TUHAN, tetapi mereka tidak mau mendengarkan TUHAN sekalipun Ia terus menerus berbicara kepada mereka. Mereka salah bila menganggap bahwa tempat ibadah adalah jaminan keselamatan mereka karena TUHAN sendiri akan menghukum mereka.
Karena banyaknya salah paham itu TUHAN memang membiarkan Bait Allah yang mereka bangun itu dirusak oleh musuh-musuh Israel. TUHAN tidak akan menjadi tunawisma bila Bait Allah dihancurkan. Ia tidak memerlukan tempat tinggal di bumi ini karena, ”Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku” (Yes. 66:1). Penghancuran itu terjadi ketika Babel menyerbu dan menghancurkan Yehuda lalu membuang penduduknya (yaitu pada 586 SM).
Pembuangan yang dialami oleh Israel merintis jalan menuju pandangan yang lebih rohani mengenai kehadiran Allah. Bait Allah telah dihancurkan dan Tabut Perjanjian telah lenyap. Kehadiran TUHAN tak dapat lagi dikaitkan dengan bangunan dan barang jasmani itu. Nabi Yehezkiel tidak ragu-ragu menyatakan bahwa kehadiran TUHAN lepas dari Bait Allah dan Yerusalem. Dalam suatu penglihatan nabi menyaksikan kemuliaan/kehadiran TUHAN meninggalkan Bait Allah dan Kota Yerusalem (Yeh. 10 dan 11).
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa TUHAN meninggalkan umat- Nya. Justru terjalin suatu hubungan baru antara kehadiran TUHAN ini dengan orang buangan, yang tetap setia kepada-Nya. Ketika berada di antara orang-orang buangan itu di tepi Sungai Kebar, nabi mendapat penglihatan tentang kemuliaan TUHAN (Yeh. 1). Ia melihat kemuliaan TUHAN ada di antara orang buangan di sebuah lembah (Yeh. 3:23). TUHAN sendirilah yang menjadi tempat kudus bagi orang-orang buangan yang terpencar-pencar itu (11:16). TUHAN akan mengumpulkan dan memimpin orang yang setia kepada-Nya pulang kembali ke tanah air mereka (36:24).
TUHAN tidak terikat pada suatu wilayah tertentu. Bangsa-bangsa tetangga Israel percaya bahwa dewa-dewa mereka terikat pada suatu wilayah, dan bahkan hanya dapat dihormati di wilayah mereka masing-masing. TUHAN adalah Allah yang bebas. Ia memang memilih suatu bangsa, tetapi tidak terikat mutlak kepada bangsa pilihan-Nya itu. Bait Allah tempat tabut itu disimpan bukanlah tempat mereka ‘mempunyai’ Allah, melainkan tempat Allah berkenan menyatakan diri dan bertemu dengan mereka (bdk. Kel. 33:9-11; Bil. 11:25; 12:5:10).
C. Ibadah Sejati
Melihat kritik para nabi mengenai ibadah, orang bisa bertanya apakah para nabi itu anti ibadah dan apakah ibadah itu tidak diperlukan? Yang dikecam oleh para nabi sebenarnya adalah cara umat Israel beribadah. Ketika ibadah dilakukan sebagai pengakuan akan kuasa Allah dan tidak dipisahkan dari kehidupan nyata, para nabi tidak akan keberatan. Para nabi mengingatkan bahwa di padang gurun dahulu, mereka tidak mempersembahkan kurban untuk Allah (Am. 5:25) dan Ia pun tidak menuntut itu dari mereka (Yes. 43:23).
Bukan ibadah yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah, melainkan kesetiaan pada Allah dan kesediaan untuk hidup menurut kehendak-Nya. Kesetiaan ini jauh lebih penting dalam pandangan TUHAN daripada kurban bakaran, seberapa pun banyaknya. Ia menyukai kasih setia, bukan kurban sembelihan. Ia senang melihat umat Israel mengenal-Nya dan melakukan kehendak-Nya, tetapi tidak suka melihat mereka mempersembahkan kurban bakaran (Hos. 6:6; bdk. 1Sam. 15:22).
Nabi Yesaya mengingatkan bahwa ibadah sejati harus dilaksanakan dengan tangan yang bersih, jangan sampai orang beribadah dengan tangan yang penuh darah (Yes. 1:10- 18). Semua bentuk ibadah Israel tidak berkenan pada Allah. Allah sudah jemu dengan semua kurban bakaran dan tidak menyukai darah lembu jantan dan domba. Ini berarti Allah tidak menerima segala bentuk kurban mereka. TUHAN melarang mereka membawa kepada-Nya “kurban yang tidak sungguh.” Ia pun tidak mau melihat perayaan-perayaan bulan baru dan Sabat serta pertemuan-pertemuan mereka karena perayaan mereka itu penuh kejahatan. Bahkan, Ia memalingkan muka ketika mereka menadahkan tangan untuk berdoa. Sekalipun mereka berkali-kali berdoa, Ia tidak akan mendengarkan doa mereka karena tangan mereka penuh darah!
TUHAN menunjukkan apa yang dikehendaki dari umat-Nya (ay. 16-17): bukan kurban atau persembahan atau ibadah, seberapa pun banyaknya dan seringnya, melainkan perilaku adil dan benar terhadap sesama. Ibadah harus dimulai dengan membersihkan diri, dalam arti bertobat (menjauhi kejahatan dan hidup menurut kehendak Allah). Mereka harus berhenti berbuat jahat dan belajar berbuat baik dengan bertindak adil terhadap sesama. Karena, tidak ada yang lebih berkenan pada Allah daripada perhatian terhadap sesama yang menderita, tertindas, dan tersingkir.
D. Munculnya Sinagoga
Kehancuran Kerajaan Yehuda mendatangkan malapetaka bagi iman Umat Israel. Bait Allah telah dihancurkan dan mereka sendiri terpaksa tinggal di negeri asing. Orang-orang yang dibuang di Babel itu berusaha untuk mempertahankan kepercayaan mereka. Untuk itu mereka berkumpul untuk beribadah dan mendalami kembali keyakinan mereka akan TUHAN. Mula-mula mereka berkumpul di rumah salah seorang warga, tetapi kemudian mereka mendirikan bangunan khusus yang disebut sinagoga. Bangunan ini berkiblat ke arah Yerusalem. Ketika berdoa, Daniel menghadap ke arah Yerusalem (Dan. 6:11). Di tempat ini mereka berkumpul untuk mendengarkan dan mendalami Hukum Taurat. Selain menjadi tempat pendidikan untuk mendalami Taurat, sinagoga juga menjadi tempat bagi orang Yahudi untuk melakukan ibadah kepada Allah mereka.
Dalam ibadah itu mereka mengucapkan Syema (terdiri dari Ul. 6:4-9 dan 11:13-21 dengan Bil. 15:37-41) yang merupakan pengakuan iman Israel akan Allah mereka. Mereka pun mendengarkan pembacaan Taurat. Pembacaan itu disusun menurut jadwal tertentu sehingga seluruh Taurat dibacakan. Sesudah itu, seseorang yang hadir dalam ibadah di sinagoga itu diundang untuk memberikan uraian mengenai isi Taurat yang telah dibacakan itu. Selain itu, mereka menyampaikan doa-doa kepada Allah dan menerima berkat Allah yang disampaikan oleh para imam.
Munculnya sinagoga ini memberikan warna baru dalam ibadah Israel. Perhatian umat dalam ibadah ini tidak diarahkan pada ritus atau tatacara kurban, tetapi pada pengangkatan pikiran dan hati umat pada Allah dan firman-Nya. Umat sujud di hadapan Allah dalam pujian dan doa. Kehadiran sinagoga itu memupuk keasyikan orang Yahudi untuk membaca dan merenungkan Taurat. Walaupun sesudah pembuangan orang Yahudi mendirikan kembali Bait Allah, peran sinagoga tetap sangat penting. Dalam dunia diaspora, orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh penjuru dunia memelihara iman dan kebaktian mereka pada Allah justru melalui ibadah yang dilakukan di sinagoga.
Sumber: Lembaga Biblika Indonesia
Keterangan foto: Ilustasi dari it.wikipedia.org
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.