POSTUR tubuhnya tinggih, kulit putih, hidung mancung dan berambut lurus. Penampilannya a la koboy Amerika, ketika ia tiba-tiba muncul di ruang tamu Wisma Lotta, Senin (4/9/2016). Bagi anda yang belum mengenalnya, anda bisa mengira ia orang Jawa atau keturunan Tionghoa.
Lahir di Larantuka, Flores Timur tanggal 11 November 1960, Kristianus Tungary tak pernah membayangkan akan menjadi seorang peternak kambing etawa di Jawa Timur. Apalagi, ayah tiga anak ini punya latar belakang pendidikan filsafat teologi di Seminari Tinggi Ritapiret Maumere. Belum cukup dengan ilmu filsafat, Kris mengambil ilmu kateketik di Sekolah Tinggi Kateketik Pradnya Widya Yogyakarta. Dari kota Gudeg, ia kemudian melengkapi dirinya dengan ilmu Managemen Pemasaran di Universitas Airlangga Surabaya.
Berbekalkan ketiga ilmu tersebut, Kris merasa punya ‘senjata ampuh’ memasuki dunia bisnis. Berbagai informasi tentang program pemberdayaan masyarakat yang dicanangkan dan dikembangkan oleh Komisi PSE KWI Jakarta, ia akses termasuk akses dana untuk mengembangkan usaha Got’s Milk sekaligus merancang program pemberdayaan bagi masyarakat. Passion untuk pemberdayaan masyarakat ternyata mendapatkan jalan.
Ternak kambing perah (Got’s Milk) yang ia kembangkan di Rumah Peternakan Kambing Perah di Dusun Patebon Desa Kebonwaris, Pandaan, Jawa Timur semakin dikenal masyarakat dan memancing perhatian pemerintah provinsi Jawa Timur. Ia pun diajak oleh Pemprov Jawa TImur untuk menjadi penyuluh peternak kambing di tingkat Jawa Timur sekaligus menjadi katekis sosial pemberdayaan bagi masyarakat. Tempat usahanya pun ia jadikan sebagai tempat belajar bagi para pastor dan para aktivis sosial pemberdayaan yang datang dari berbagai keuskupan di Indonesia.
Agribisnis Peternakan kambing perah, itu yang utamanya, katanya, karena di ujung perah pasti akan keluar susu. Kalau tidak, maka mata rantai yang kuat ke arah prospek bisnis yang bagus tidak akan berjalan. Agribisnis karena di situ ada lingkungan hidup, Peternakan kambing perah, itu ada kaitannya dengan susu.
Merintis usasa pada tahun 2010 dengan penanaman phon keras, 2012 mulai dengan peternakan kambing di Pandaan, Jawa TImur. Mengapa di Pandaan, karena Pandaan ia anggap cukup strategis karena iklimnya cocok untuk peternakan kambing perah, tidak terlalu dingin tidak terlalu panas.
Setelah 2014 ia dengar ada program PSE. Ia bilang ini menarik karena semuanya “dari Umat untuk umat, oke, fine. Kita jangan terlalu fobia untuk menggunakan dana yang disediakan oleh Gereja, justru pada saat kita menggunakan dana ini, kita menjadi bagian dari PSE. PSE juga merupakan bagian dari kita.
“Jadi gema kebersamaan kita dengan Gereja bersama umat itu menyatu di sana. Kita bukannya mendapatkan dana PSE per se untuk dana PSE itu sendiri tapi bawah kita sadar setelah itu ada dampaknya bagi umat yang lain,” katanya dengan nada suara yang tinggi.
Dengan dana itu, ia pun mulai merasa bahwa misinya mulai berbeda, beternak bukan untuk diri sendiri tapi untuk umat seluruh Indonesia. Roh umat Katolik Indonesia justru itu ada di situ. Lalu kemudian ia kembangkan dana yang ada dengan berbagai instansi, pendidikan katolik, Gereja Katolik.
2014 ia mendapatkan bantuan dari PSE KWI. Dengan dana bantuan itu, Kris lalu mulai mengembangkan usaha ternak kambing. Kris mengatakan, susu ternak kambing dari para peternak lainnya bisa disetor ke tempatnya, agar tidak kesulitan dalam pemasaran. Maka mata rantai ini harus dikembangkan terus menerus. Dari susu kambing itu bisa diproduksi keju, susu terbaik dan soogood
Menurutnya, dari sisi produktivitas ia orang harus memelihara kambing dalam jumlah besar. Bermain kecil resikonya terlalu besar, kalau kita pelihara hanya 10 ekor, itu resikonya besar sekali, biaya tenaga, waktu itu sama seperti kita pelihara dalam jumlah besar. Kalau kita pelihara dalam jumlah kecil, kita lalu jadi down ketika terjadi bencana.
“Bayangkan kalau kita pelihara cuma 3 ekor, mati satu tinggal dua, itu terlalu besar resikonya. Tapi kalau pelihara 20 ekor, mati 1 atau 2 ekor, tidak masalah. Usaha tetap jalan terus. Dari tahun ketiga dan keempat, baru kita menilai. Tahun pertama kedua itu penuh perjuangan,” terangnya.
Saat ini, Ia punya 130 ekor kambing yang dipeliharanya, belum lagi ada yang dititipkan kepad petani-petani. Ia pun berharap agar orang-orang mudah harus bisa mencari celah, mencari peluang bisnis yang tidak banyak disentuh oleh umum, walaupun disaat peluang itu tinggih sekali resikonya tapi pasarnya menjanjikan.
“Orang-orang muda yang kreatif dan inovatif, dia harusmencali celah-celah terobosan yang punya peluang bisnis yang unik. Dan susu kambing itu unik,” ujarnya.
Ia juga berharap, kehadirannya bersama PSE orang-rang muda Katolik dapat menimba pengetahuan yang dibagikannya. Prinsipnya, sentire cum ecclesia, “merasakan bersama Gereja”, mumpung kita ada, mereka bisa masuk. Anda sekarang mau belajar dari orang-orang lain, anda tidak akan diberi akses untuk melihat dapur perusahaan. Bagaimana pencampuran pakannya, proses pembuatan susunya, jalur distribusinya dan sebagainya.
Yang paling penting, kata Kris, orang muda perlu miliki tiga hal ini, yakni Pengetahuan, kemauan dan kemampuan. Jadi mereka harus mau, harus tahu, harus trampil. Kalau orang tidak punya pengetahuan, kita beri dia pengetahuan, kalau dia tidak punya ketrampilan, beri dia magang. Jadi ana muda misalnya 10 orang kirim ke surabaya, mintakan dana untuk pembiaayan ke PSE, di tempat kita mereka dilatih sampai jadi. Kembali ke daerah pun kita akan tetap mentor. Sebaiknya untuk satu wilayah itu 3 orang. Supaya ada apa-apa mereka bisa saling koreksi. Planing jangka pendeknya 3 tahuan untuk tingkat keberhasilannya.
Ia tidak menampik jika tantangan terbesar untuk dalam ternak kambing Otawa bukan soal penyakit yang dialami kambing atau bagaimana produksi dan distribusi hali ternak, tapi laih dari itu adalah soal kemauan, ketekunan dan kesetiaan pada usaha.
“ Orang perlu setia. Karena pekerjaan seperti ini sering diangap sebagai mula-mula pekerjaan ini pekerjaan orang kampung. Padahal harga susu kambing itu sangat menjanjikan, Rp. 60.00/liter. Tiap hari uang masuk.”
Ia juga berpesan, kalau kita bisa membangun kepercayaan dengan mitra, produksi kita akan terus digunakan, itulah resepnya.***
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.