Dapatkah terjadi konflik antara hukum Gereja dan hukum sipil atau lebih konkret, dalam diri seseorang yang sebagai warga Gerjeja terikat hukum Gereja dan sebagai warganegara terikat oleh hukum negara? Hal ini tidak dapat a priori disangkal, sehingga dapat menje-rumuskan orang yang satu dan sama sebagai warga Gereja dan warganegara ke dalam dilema loyalitas yang sulit diatasi, maka kiranya baik merenungkannya sejenak.
Tulisan ini mencoba membahas soal ini tanpa pretensi mengajukan kebenaran yang tak dapat diganggu-gugat.
1. Tujuan hukum ialah adanya tata tertib dan kelancaran, tetapi hukum harus adil. Pemahaman keadilan bisa berbeda, sehingga juga undang-undang yang dirumuskan juga berbeda apalagi kalau pelbagai kepentingan ikut berbicara, dan dapat (tak harus) menimbulkan konflik.
2. Ada perkara campuran (res mixtae) yang menjadi kompetensi Gereja dan negara, Dapat digambarkan beberapa konstelasi, misalnya:
a. Kontradiktoris: bertentangan sama sekali, yang satu ya, yang lain tidak.
b. Kontrer: berbeda, yang satu begini, yang lain begitu.
c. Paralel: sejalan
d. Sama
3. Ketidaksesuaian antara keduanya dapat menimbulkan kesulitan.
4. Seorang katolik juga bila ia bertindak atas nama dan untuk Gereja terikat undang-undang negara yang berlaku bagi setiap warganegara.
5. Dalam kasus kontradiktoris memang sulit sekaligus menuruti kedua-duanya. Kiranya perlu diutamakan hukum yang benar dan adil.
6. Dalam kasus kontrer perlu diusahakan pemecahan yang juga berlaku dalam forum publik, agar tindakan Gereja diakui. Hal ini sering diungkapkan sebagai keprihatinan Gereja.
7. Dalam kasus paralel tidak timbul kesulitan yang besar, dengan tetap mengakui otonomi masing-masing.
8. Gereja tidak memecahkan soal ini dengan membuat hukumnya menjadi hukum sipil yang diberlakukan bagi semua warganegara, melainkan mempertegas iman dan moral sewajarnya dalam hukum Gereja.
9. Gereja tak bermaksud membangun dunia tersendiri, menutup diri; Gereja bukan per-
kumpulan rahasia, melainkan justru mengajak para anggotanya loyal dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
10.Gereja tahu diri dan seringkali tidak membuat peraturan perundang-undangan sendiri, melainkan secara eksplisit menyesuaikan diri dengan hukum sipil, misalnya dengan menegaskan, soal tertentu hendaknya ditata menurut hukum sipil yang berlaku, namanya: “lex canonizata”.
11. Koeksistensi damai (yang perlu karena menyangkut manusia yang sama) Gereja dan negara dipermudah bila juga negara mengindahkan ciri khas Gereja (tanpa hak-hak istimewa), demikian pula bila Gereja tak mengatur sendiri segalanya, melainkan mengindahkan konteks hidup umatnya, antara lain, peraturan perundang-undangan setempat, seperti misalnya terjadi dengan adanya “lex canonizata” itu.
Piet Go, OCarm
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.