Karena dalam masyarakat sering ada gambaran yang kurang tepat dan harapan terlalu besar kepada KWI, kiranya baik memperjelas beberapa hal. Hukum Gereja memberi beberapa petunjuk yang dapat dipakai, meskipun terbitnya Motu Proprio Paus Yohanes Paulus II “Apostolos Suos” pada tahun 1998 juga merupakan tanda bahwa KHK 1983 belum tuntas. MP “Apostolos Suos” ini terutama menanggapi soal status teologis KWI sehubungan dengan tugas mengajar (magisterium) dan memerintahkan pembaruan Statuta yang sudah mendapat aprobasi (= persetujuan) para Uskup, dan kini menantikan recognitio (= pemeriksaan dan pengesahan) Takhta Suci.
1. Beberapa tonggak sejarah
Hal bahwa pada tahun 1924 para Waligereja Indonesia mulai bersidang, merupakan tanda apa yang sekarang disebut “budaya korporatif”.
Seingat saya pada Sidang 1955 ada peringatan dari Takhta Suci bahwa yang berhak mengumpulkan Vikaris Apostolik itu Takhta Suci, karena “Vikaris Apostolik” berarti “Wakil Takhta Suci”.
Pada tahun 1961 didirikan hirarki episkopal Indonesia, sehingga wewenang Uskup diosesan berlaku sepenuhnya, juga untuk bersidang sebagai MAWI/KWI, meskipun masih bernaung di lingkungan Kongregasi Evangelisasi.
Pada tahun 1965 selesailah Konsili Vatikan II yang mengedepankan martabat dan peran Gereja partikular dan dengan demikian juga Uskup diosesan yang mendapat kepercayaan memimpin Keuskupan yang adalah Gereja partikular.
Kewenangan Uskup amat besar:
Segala kuasa yang perlu untuk memimpin Keuskupannya (kecuali yang dikhususkan bagi Paus, prinsip reservasi yang menggantikan prinsip konsesi, CD 8) di tangannya (KHK kan,381 $1)
Demikian pula tak berlaku trias politika Montesquieu, karena kuasa legislatif, eksekutif dan yudikatif berada di tangannya (KHK kan.391 $1).
Namun bersamaan dengan itu juga budaya korporatif dikembangkan, intern dan ekstern.
Intern: Dewan Imam (kan.495 dst), Kolegium Konsultor (kan.502 dst), Dewan Keuangan (kan.492 dst), Dewan pastoral (kan.511-514)
Ekstern: Konferensi para Uskup (kan.447). Hanya ini yang dibahas dalam tulisan ini.
Intinya: Kinerja tak individualistis, melainkan bersama para Uskup lain bertukar pikiran dan pengalaman mengusahakan kebijakan pastoral beberapa bidang seirama di kawasan tertentu.
2. Budaya korporatif
a. Sosialpsikologis
“Korporatif”, dari “corpus” = tubuh. Kalau manusia seutuhnya bertindak, bukan
bagian tubuhnya yang bertindak (misalnya membelai atau menempeleng), melainkan
orangnya. Teologi moral yang dulu amat mengedepankan imputabilitas (tanggung
jawab perseorangan), bingung menghadapi soal “Kollektivschuld” (Politik Jerman
1933-1945 terutama terhadap kaum Yahudi) Siapa bersalah, Hitler atau rakyat
Jerman yang memilihnya. Siapakah subyek perbuatan? Kini lebih diindahkan
kelompok orang. Perhatikan warta berita: “Massa…..”. Siapa massa itu? Lalu kita
bertanya:“Siapa otaknya, siapa provokatornya”?
Di kalangan ahli hukum sudah biasa rumusan “..bertindak untuk dan atas nama…”
b. Teologis
Dari sudut teologis ada gagasan kuat tentang Gereja sebagai communio (paguyuban)
yang bergerak, meskipun klasifikasi (misalnya pancatugas Gereja) juga penting.
Gereja Katolik Indonesia juga bergerak dan masyarakat seringkali melihat KWI
sebagai corong Gereja (terutama bila menyangkut soal-soal hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara). Bukan hanya suaranya, melainkan juga kinerjanya harus
mencerminkan budaya korporatif.
3. KWI bukan superbody
Banyak orang terbiasa dengan paradigma “top down”, maka KWI juga diperlakukan demikian: KWI Pusat di Jakarta, dan KWI Daerah…..
Menurut ketentuan Kitab Hukum Kanonik kan.447: “Konferensi Para Uskup, suatu lembaga tetap, ialah himpunan para Uskup suatu negara atau wilayah tertentu, yang melaksanakan pelbagai tugas pastoral bersama-sama untuk kaum beriman kristiani dari wilayah itu, untuk meningkatkan kesejahteraan yang diberikan Gereja kepada manusia, terutama lewat bentuk-bentuk dan cara-cara kerasulan yang disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, menurut norma hukum”.
a. Sebutan “Waligereja” berasal dari bahasa Belanda “kerkvoogden” yang dipertahankan tak hanya karena tradisi, melainkan dalam kenyataan “waligereja” bisa saja tak menerima tahbisan uskup, misalnya Administrator diosesan selama Takhta lowong, Prefek Apostolik.
b. Lembaga tetap, maka jangan dikecohkan oleh istilah “konferensi” yang sifatnya memang tidak tetap, lalu berikutnya disebut kedua dst. Tak mengherankan bahwa Konferensi Uskup juga mempunyai staf dan alamat/gedung tetap.
c. Negara atau wilayah tertentu. Jadi cukup fleksibel, bayangkan kesulitan dengan beberapa negara ASEAN seperti: Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan paling
baru Timor Timur. Sebelum Jerman bersatu (1990) yang diakui Konferensi Para Uskup
Jerman Barat, sedangkan di Jerman Timur disebut Konferensi Uskup Berlin, karena
Takhta Suci tak mau campur tangan dalam sengketa. Juga waktu Timtim dihitung
sebagai provinsi dari Indonesia, Uskup Dili menghadiri sidang. Statusnya bukan
anggota KWI, melainkan hanya sebagai pengamat, maka ia juga tak ikut voting.
d. Melaksanakakan beberapa tugas pastoral bersama-sama
Istilah “pelbagai” dapat memeberi kesan “banyak”, sedangkan dalam teks Latin
(yang berlaku sebagai teks otentik) dipakai istilah “quaedam” (munera quaedam
pastoralia coniunctim)
Dalam Statuta KWI dipakai istilah bagus: “seirama”. Ini memang penting mengingat
mobilitas umat di NKRI.
e. Untuk meningkatkan kesejahteraan
Teks Latin: “ad maius bonum provehendum”. Ya, itulah tujuannya! Kepentingan
umatlah yang merupakan keprihatinan para Waligereja yang patut dipuji memberi
prioritas agendanya untuk mengikuti sidang tahunan KWI
f. Menurut norma hukum
Itulah rambu-rambunya. Kebijakan pastoral seirama dalam penyesuaian pastoral tidak
sembarangan, melainkan “ad normam iuris”.
4. Antara otonomi Uskup individual dan kebersamaan KWI
a. Otonomi Uskup diosesan
Secara teologis, dan karena itu juga yuridis, umat Allah di Keuskupan dipercayakan
kepada Uskup diosesan. Dialah yang mengemban tanggung jawab dan wewenang
khusus.
Namun kita melihat: budaya korporatif dalam Gereja yang adalah “communio”
(persekutuan, paguyuban) makin dikembangkan, baik intern maupun “ekstern”.
b. Kebersamaan KWI
Para Uskup “di rumah” penguasa tertinggi, tetapi dalam Sidang KWI hanyalah
satu dari sekian. Ini juga baik, karena mendapat peluang formal dan informal untuk
bertukar pikiran dan pengalaman dengan rekan-rekan, saling melengkapi dan saling
memperkaya.
Saya masih ingat ketika Kardinal Ratzinger dipilih menjadi Paus. Ia mengatakan kira-
kira sebagai berikut: “Saya tak menyajikan program. Saya tak akan mendesakkan
ide-ide saya sendiri, melainkan mendengarkan dan melaksanakan Kehendak Tuhan”.
Lalu apa yang dikehendaki Tuhan? Kesejahteraan kita! Apa yang terbaik bagi umat.
5.Proses
a. Untuk ungkapan publik KWI
KWI dipandang sebagai representan Gereja Katolik, dan suaranya berbobot. Tetapi
sebaiknya juga diingat bahwa para Waligereja tersebar di seluruh Indonesia yang
“bhinneka tunggal ika”. Penilaian bisa berbeda, juga tergantung pada konteks, fakta
dan data yang digumuli, dan dalam semangat budaya korporatif diusahakan kepu-
tusan kebijakan seirama dan ungkapan publik yang perlu.
Selain itu banyak peristiwa muncul mendadak, dan tak dapat dimunculkan suara KWI
cepat-cepat. Penilaian menyusul perkembangan fakta, tidak mendahului. Maka tak
jarang ada tuduhan: Gereja terlambat Kalau KWI memprakirakan sesuatu, juga bisa
dituduh: belum-belum sudah apriori! Memang susah dengan ungkapan publik yang
membutuhkan proses, dan kadang-kadang juga perlu diendapkan dulu.
b. Kinerja perangkat KWI
Ungkapan publik KWI tak jatuh dari langit, melainkan juga merupakan hasil proses
yang dipersiapkan “dari bawah”. Kalau dikatakan bahwa Roh Kudus mendampingi
Gereja, sebaiknya jangan dilupakan bahwa proses manusiawi tetap diperlukan.
Perangkat KWI, terutama Komisi, Lembaga, Sekretariat dan Departemen (KLSD),
termasuk Pelayanan Krisis dan Rekonsiliasi, juga berusaha tak kerja sendiri-sendiri
saja, melainkan dalam kerja sama sebagai satu tubuh (budaya korporatif), misalnya
kerja sama “lintas-komisi”. Inipun adalah proses belajar terus menerus.
Piet Go O.Carm.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.