Seperti dilansir Kompas.com, pada Juni 2018 – di tengah perkembangan pesat teknologi –
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO membuat keputusan untuk memasukkan kecanduan game
ke dalam penyakit gangguan mental. WHO menegaskan bahwa keputusan tersebut diambil
berdasarkan cukup bukti yang memperlihatkan bagaimana game disorder menimbulkan masalah
serius pada kesehatan psikis dan sosial manusia. Indikasi utama seseorang dapat dikatakan masuk
dalam kategori kecanduan game adalah kecenderungan yang tidak terkendali untuk bermain game
yang dapat berpotensi membawa dampak-dampak lainnya. Inilah tantangan yang sedang dihadapi
keluarga-keluarga modern. Problematika pemberian gadget dengan resiko rentannya pengaruh
adiksi gadget tentunya perlu mendapat perhatian dan sikap yang tepat terutama oleh orangtua.
Dampak teknologi terasa pula bukan hanya pada tingkatan unit masyarakat terkecil seperti
keluarga, tetapi dirasakan pula pada tingkat yang jauh lebih besar yang kelompok masyarakat
tingkat nasional. Hal tersebut tampak di dalam perbedaan atmosfer persaingan yang sedang terjadi
dalam konstelasi politik di Indonesia antara tahun 2014 dan 2019. Salah satu perbedaan dari
keduanya adalah penggunaan media sosial dalam berkampanye. Perkembangan teknologi yang
begitu cepat memungkinkan setiap orang kini untuk “bersosialisasi” melalui media sosial. Kini,
dengan hanya memastikan bahwa gadget yang dimiliki tersambung dengan internet, orang dapat
dengan mudah mengakses apa saja termasuk mengakses media sosial. Berdasarkan data yang dirilis
oleh Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII), pertumbuhan pengguna internet di
Indonesia pada tahun 2017 mengalami kenaikan menjadi sekitar 54,68 % dari total populasi
penduduk Indonesia. Angka tersebut tentunya bukanlah angka mutlak sebab progress dari
pergerakan pemerataan akses internet di Indonesia berangsur-angsur meningkat setiap tahunnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teknologi perlahan-lahan telah menguasai hampir
seluruh sektor kehidupan manusia.
Apa yang dipaparkan di atas merupakan sebagaian kecil dari dampak teknologi yang
menyentuh wilayah luas masyarakat dan juga keluarga. Namun, perlu disadari pula, teknologi
dewasa ini mulai merambah pula sampai pada tingkat atau unit terkecil dari masyarakat, yakni
keluarga. Fenomena perkembangan dan perluasaan penggunaan gawai saat ini memperlihatkan
kondisi yang memprihatinkan. Keluarga-keluarga modern, di berbagai tingkatan sosial-ekonomi,
kini telah terpapar oleh dampak penggunaan gawai dan internet. Bahkan tingkatan penggunaan
gadget di tengah-tengah individu dalam keluarga dapat saja berada pada tingkatan adiksi. Pada
keluarga-keluarga dengan tingkat sosial-ekonomi menengah ke atas, biasanya, orangtua cenderung
mudah memberikan akses kepada anak kepada gawai dan internet. Potensi adiksi menjadi semakin
tinggi terjadi pada anak-anak yang sudah terpapar gawai dan internet sedari kecil. Anak-anak yang
sedang belajar mengenal dunianya itu mempelajari sedari kecil bagaimana mereka mendapatkan
hiburan dengan mudah hanya dengan sentuhan jari. Hal tersebut yang akan mereka bawa dalam
memori mereka selama masa pertumbuhan dan perkembagnan diri selanjutnya.
Terpaparnya keluarga-keluarga terhadap teknologi gawai dan internet ini berpotensi
merusak nilai sejati persatuan dalam keluarga. Apa hal yang menunjukkan potensi tersebut? Hal
yang dapat menjadi indikasi atas potensi tersebut adalah keterasingan individu terhadap kelompok
terdekatnya. Berdasarkan data survei yang dirilis oleh APJII pada tahun 2017, kaum milenial yang
berumur sekitar 19 – 34 tahun merupakan kelompok pengguna terbanyak fasilitas gawai dan
internet. Selain itu, sebanyak 65,98 % responden menyatakan bahwa gadget adalah perangkat yang
mereka gunakan setiap harinya. Data tersebut diperkuat dengan fakta-fakta sosial yang
memperlihatkan bagaimana keluarga-keluarga dewasa ini mudah membangun kelompok atau grup
sosial di media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, dan lain sebagainya. Namun, tidak
demikian dengan proses interaksi di dalam keluarga. Ada kecenderungan yang keliru yakni,
kemudahan membangun relasi atau jaringan komunikasi ke luar, tetapi adanya indikasi
kedangkalan relasi ke dalam (keluarga).
Proses mendangkalnya keintiman relasi dalam keluarga merupakan sebuah ancaman besar
bukan hanya bagi keluarga itu sendiri melainkan bagi masyarakat. Apabila tindakan membangun
jaringan komunikasi sekadar hanya difokuskan pada proses membangun jaringan komunikasi maya
yang tidak kuat, maka akan ada potensi kehancuran pada jaringan komunitas yang sebenarnya
nyata dan hidup. Individu yang aktif bersosial secara maya tetapi apatis bersosial secara aktif
cenderung akan menutup diri pada perjumpaan, karena obsesinya berada pada tingkatan
membangun komunikasi virtual belaka. Ini merupakan problematika yang besar di tengah
modernitas dewasa ini. Akibat yang nyata terjadi adalah keterasingan individu terhadap kelompok
sosial masyarakat yang nyata dan hidup. Pada akhirnya, indentitas relasional dan sosial yang hakiki
ada pada kemanusiaannya itu akan luntur dan dapat memicu masalah-masalah sosial yang lainnya.
Salah satu contoh konkret yang nyata terjadi adalah tingkat perceraian yang meningkat, tingkat
konflik masyarakat yang meningkat pula, serta adanya indikasi proses diintegrasi sosial di berbagai
tingkatan kelompok sosial. Maka dari itu, desakan untuk menjawab tantangan dan problematika
yang secara khusus terjadi di dalam realitas keluarga modern ini menjadi begitu mendesak untuk
dilakukan.
Kesadaran akan kesejatian nilai yang terdapat dalam perjumpaan yang hidup harus
dibangun dan dimiliki oleh setiap individu. Analisa yang dipaparkan tadi bukanlah usaha menakutnakuti
atau bagian dari penolakan atas teknologi. Justru kesadaran yang benar dan bijaksana itulah yang ingin dibangun, terutama dalam menyikapi setiap perubahan yang terjadi di era
perkembangan teknologi ini. Teknologi bukanlah tujuan hidup dari manusia, tetapi merupakan
sarana yang membantu manusia dalam hidupnya. Inilah pemahaman yang harus dibangun,
termasuk di dalam unit terkecil masyarakat, yakni keluarga.
Problematika di era digital saat ini mesti ditanggapi dengan serius dan sungguh-sungguh.
Gereja sebagai sebuah persekutuan umat beriman yang berziarah mesti menempatkan diri dengan
baik dan benar di tengah masalah serius ini. Secara khusus, dalam Dekrit Inter Mirifica, dikatakan
bahwa Gereja sebagai pengikut Kristus yang berkewajiban mewartakan Kabar Keselamatan
berperan aktif dalam membangun sebuah kesadaran yang benar terhadap teknologi komunikasi di
era modern ini. Salah satu yang dapat dibuat sebagai bagian dari tugas Gereja adalah katekese.
Katekese sebagai komunikasi iman dibuat sejauh itu kontekstual dan tetap bersumber pada iman.
Harapannya, katekese yang dirumuskan dengan baik dan benar dalam terang Roh Kudus
mengarahkan setiap pribadi yang berimana pada Kristus untuk sungguh-sungguh berpegang pada
kebenaran imannya.
Kebenaran iman itu, seperti dikatakan Paus Fransiskus dalam Pesan untuk Hari Komunikasi
Sedunia ke-53, adalah bahwa kita dipanggi sebagai sesama anggota dalam Allah sendiri. Metafora
yang ditegaskan oleh Paus Fransiskus adalah tentang tubuh dan anggota-anggotanya. Kebenaran
itu terungkap dari dalam persekutuan itu sendiri. Manusia berada dalam jalinan relasional dengan
Allah sendiri sebagai Sang Pencipta dan sesama sebagai bagian yang satu dari tubuh yang satu pula.
Dengan demikian, kesadaran akan kebenaran iman yang hadir dalam Persekutuan Ilahi menjadi
landasan kokoh bagi setiap usaha membangun komunitas, bahkan komunitas dalam jejaring sosial
di dunia maya.
Salah satu bentuk katekese sebagai tanggapan konkret dari permasalahan keluarga modern
dewasa ini adalah pendidikan iman. Mengapa demikian? Dalam Kanon 1366 tertulis bahwa
orangtua atau siapapun yang menjalankan peran orangtua yang tidak menjalankan mendidik anakanaknya
di bawah terang iman Katolik hendaknya mendapatkan hukuman yang adil. Sekali lagi,
pendidikan iman adalah tanggungjawab sekaligus kewajiban orangtua. Apa yang dapat dilakukan
dalam proses pendidikan iman itu? Menurut Tjatur Raharso, dalam sebuah artikel, pendidikan iman
erat kaitannya dengan pewarisan iman. Maka dari itu, orangtua sebagai yang berperan sentral
dalam pendidikan iman, harus benar-benar paham akan imannya sendiri. Dalam hal ini, katekese
keluarga pun harus melibatkan dan memasukkan orangtua ke dalam daftar tetap pembinaan iman.
Katekese adalah proses pembinaan dan pengkomunikasian iman yang harus selalu dilakukan, sebab
melalui katekese iman yang menyatukan kita sebagai satu tubuh dengan Kristus sebagai kepada
mencapai kepenuhannya.
Referensi Bacaan:
Manik, R. P (eds.). Pembaharuan Gereja melalui Katekese: Superfisialisme, Aktivisme,
Fundamentalisme, dan Spiritualisme Tantangan Katekese Dewasa Ini. Malang: STFT Widya
Sasana. 2018.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet
Indonesia 2017. Jakarta: APJII. 2017
Dokpen, K.W.I. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor. 1993.
Paus Fransiskus. Kita adalah Sesama Anggota. Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk Hari
Komunikasi Sedunia ke-53. 2019.
Referensi dari Internet:
http://m.cnnindonesia.com/teknologi/20190117193141-185-361714/jelang-debat-pilpres-2019-
netizen-perang-tagar/ diakses pada Minggu, 10 Maret 2019 pukul 10.15 WIB.
http://sains.kompas.com/read/2018/06/19/192900123/who-resmi-tetapkan-kecanduan-gamesebagai-
gangguan-mental/ diakses pada Senin, 11 Maret 2019 pukul 14.25 WIB.
Ilustrasi: starline
Penulis: William Fortunatus Dani Ardhiatama
Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.