Sejak awal manusia terlahir ke dunia, saat itu pula relasi lahir. Relasi manusia paling awal adalah relasi antara manusia sebagai ciptaan dengan Allah Sang Pencipta. Relasi itu bersifat vertikal, dari atas menuju ke bawah. Allah Sang Pencipta menyadari bahwa manusia yang diciptakan-Nya tak hanya memerlukan relasi vertikal. Manusia memerlukan pula relasi horizontal, relasi yang menarik garis sejajar dari manusia menuju sesamanya. Hal tersebut nampak jelas dalam firman Allah sendiri “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej.2:18). Maka, terciptalah sosok lain yang ditemui oleh manusia, yang memiliki asal-muasal yang sama. Terciptalah dua insan manusia, laki-laki dan perempuan.
Kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan menciptakan sebuah dinamika hidup sosial. Sosial berasal dari kata Latin socius yang artinya teman. Maksudnya, manusia dalam hidupnya senantiasa membutuhkan pribadi lain yang hadir dalam sosok teman. Maka, tak salah bila kemudian manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Kehidupan sosial yang tercipta dalam dinamika hidup sosial kemudian berevolusi menjadi bentuk-bentuk komunitas. Komunitas berasal dari kata Latin communitas yang berarti kesamaan, persekutuan ; communio (aku bersekutu). Maksudnya adalah, komunitas merupakan wadah yang didalamnya termuat nilai-nilai kehidupan sosial dari beberapa organisme karena memiliki kesamaan serta kesepakatan untuk hidup bersama.
Bangsa Israel adalah sebuah contoh dari komunitas kesukuan. Ada begitu banyak contoh maupun model kehidupan berkomunitas yang dapat ditemukan di sekitar kita. Tentunya, yang paling tidak asing adalah persekutuan jemaat perdana dimana disitulah cikal-bakal komunitas orang-orang yang mengimani Kristus disebut sebagai umat Kristen.
Pada zaman dimana revolusi industri memuncak, seorang tokoh bernama Karl Marx hadir dan memperkenalkan ideologi komunis. Karl Marx berpendapat bahwa masyarakat yang merupakan sebuah perwujudan kehidupan sosial adalah buatan manusia sehingga manusia pun dapat mengubahnya. Karl Marx menentang sistem kelas dalam masyarakat dimana terdapat jurang besar antara kelas penguasa dan kelas pekerja. Bisa dibayangkan betapa peliknya dinamika hidup sosial saat itu. Komunitas rupa-rupanya dapat memantik api konflik.
Secara sederhana, komunitas awali bermula dari keluarga kemudian dari beberapa keluarga muncul kelompok desa, kemudian menjadi kelurahan, kecamatan, kabupaten, bahkan menjadi sebuah negara. Dewasa ini, komunitas dipandang sebagai lembaga, organisasi, atau wadah dimana setiap organisme didalamnya memiliki kesamaan pikiran yang mutlak. Perbedaan pendapat menjadi pemicu bagi keterpecahan komunitas. Dari keterpecahan itu kemudian tergabung lagi orang-orang yang memiliki kesamaan berpikir dan membentuk komunitas baru. Begitulah seterusnya dinamika komunitas sekarang ini sehingga sangat nampak adanya persaingan untuk saling menjatuhkan satu sama lain.
Selain komunitas fisik yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia, kemunculan internet menciptakan komunitas yang bersifat maya. Melalui jejaring sosial, setiap insan manusia dapat menjalin relasi baru dengan sesama yang lain bahkan yang tidak berada pada satu tempat yang sama semisal berbeda kota maupun negara. Melalui postingan-postingan yang dapat diunggah dalam jejaring sosial digital semisal Facebook, Instagaram, Whatsapp, Twitter, dan sebagainya, setiap orang menunjukkan eksistensi atau keberadaannya.
Ada dampak positif dan dampak negatifnya pula. Dampak-dampak tersebut misalnya : memperbanyak relasi dengan orang lain, menjaga kontak atau hubungan dengan kenalan-kenalan yang terpisah oleh jarak. Tak dapat dipungkiri pula bahwa ada dampak dimana orang yang dekat secara fisik terjerumus dalam situasi seolah-olah terpisah jauh karena sibuk berjejaring sosial. Ada pula dampak dimana keaktifan seseorang dalam suatu jejaring sosial menjadi ukuran eksistensinya. Andai kata seseorang jarang mengunggah postingan, orang tersebut menjadi ‘tersingkirkan’ dalam lingkaran sosial karena keberadaannya menjadi tersamarkan. Dalam jejaring sosial, tingkat keaktifan berpotensi untuk memunculkan alienasi atau pengasingan terhadap yang lain.
Meskipun begitu, hal positif yang patut dibanggakan melalui keberadaan internet dalam membangun jejaring sosial adalah terciptanya sarana baru dimana pewartaan dan kesaksian dapat lebih giat untuk dipublikasikan. Pewartaan iman melalui sosial media dapat meneguhkan dan menguatkan sesama anggota komunitas yang lain sembari memberi pencerahan pula bagi anggota-anggota komunitas lain. Namun, pewartaan tersebut berjalan beriringan pula dengan arus berita palsu atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘hoax’.
Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II adalah Dekrit tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial atau Inter Mirifica. Disana, Gereja memandang teknologi seperti internet dapat menjadi media komunikasi yang mewartakan Kabar Keselamatan. Ditekankan pula akan panggilan bagi umat untuk memaksimalkan media komunikasi melalui internet untuk terlibat dalam menanggapi panggilan Allah yakni mengenalkan Sang Juruselamat bagi sesama.
Tema Hari Komunikasi Sedunia yang ke-53 pada tahun 2019 ini diambil dari kutipan Santo Paulus yang ditujukannya kepada umat di Efesus. “Karena kita adalah sesama anggota” (Ef.4:25). Pesan yang jelas terlihat terdapat pada penekanan Santo Paulus bahwa setiap insan manusia selain memiliki martabat yang sama, adalah juga sesama anggota dari tubuh yang satu yakni Yesus Kristus. Sebagai sesama anggota dari suatu persekutuan tentunya dapat ditemukan salah satu kekhasan yaitu pengenalan diantara sesama anggota. Sebagai sesama anggota, menjadi sebuah ketentuan mutlak akan adanya jalinan hubungan yang harmonis. Keharmonisan tersebut dikarenakan oleh rasa saling mengenal satu sama lain.
Keharmonisan menunjukkan pula adanya suasana damai dan penuh dengan cinta kasih. Dengan berlatar pada kehidupan jemaat Kristen perdana pada waktu itu, rasa saling mengasihi kiranya dapat senantiasa dilestarikan dan diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Penerapan praktik saling mengasihi tentu tidaklah mudah. Dibutuhkan keterbukaan satu sama lain, mengekang keegoisan dan sikap saling peduli. Rasa benci yang disulut oleh kedengkian dan iri hati dapat menghambat terciptanya tindakan saling mengasihi. Ditambah lagi dengan tindakan-tindakan yang bersifat mencari keuntungan pribadi sehingga mengabaikan kebersamaan sebagai satu anggota.
Santo Paulus juga menghendaki agar sebagai sesama anggota perlu untuk saling menceritakan kebenaran. Perkataan-perkataan yang bersifat kebohongan, dusta, dan tidak benar perlu disingkirkan. Dengan mengikuti nasihat Santo Paulus tersebut, niscaya suatu kehidupan komunitas yang sehat, yang diterangi semangat cinta kasih Kristus akan senantiasa menjadi daya penggerak dalam setiap langkah laku hidup setiap anggota yang terlibat didalamnya.
Pesan Santo Paulus yang digagas sebagai tema Hari Komunikasi Sedunia tahun ini mau menghidupkan kembali semangat cinta kasih dalam komunitas orang beriman. Langkah sederhana untuk memulai kehidupan komunitas yang baik adalah dengan berkomunikasi secara baik pula. Komunikasi yang senantiasa meneguhkan, menginspirasi, serta membangun satu sama lain dengan sendirinya merupakan suatu pewartaan akan kebenaran sejati yang diwartakan oleh Kristus.
Pada akhirnya, komunikasi sebagai bentuk respon atau penghubung terbentuknya suatu relasi merupakan hal penting dalam kehidupan berkomunitas. Tanpa komunikasi tak akan ada relasi. Tidak berkomunikasi merupakan sebuah tindakan yang mengingkari nilai-nilai sosial manusia sebagai insan-insan yang bersekutu dalam satu tubuh dimana Kristus adalah kepalanya. Oleh karena itu, komunikasi, baik itu langsung maupun tidak langsung adalah hal yang patut dijaga sebagai identitas dari sebuah komunitas. Dengan berpadu bersama revolusi industri 4.0 yang dicirikan lewat mekanisme cerdas, maka komunikasi pun dapat mengembangkan setiap komunitas yang kita masuki menjadi sebuah wadah interaksi sosial yang mencerdaskan. Bila perkembangan teknologi merupakan indikator dari revolusi industri 4.0, maka komunikasi yang saling mewartakan kebenaran adalah indikator dari komunitas 4.0 dimana keterikatan relasi setiap anggota tubuh semakin dikuatkan.
Ilustrasi: Nicholas Pudjanegara
Penulis: Yeremia Anton Julianus Welan
Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.