Tanggal 26 November hingga 1 Desember 2007, FABC-OSC (Federation of Asian Bishops’ Conference – Office of Social Communication) menyelenggarakan lokakarya komunikasi di Bangkok, Thailand dengan tema ‘Ekaristi sebagai Komunikasi’. Tidak ada pelatihan tentang media komunikasi massa dalam lokakarya tersebut. Pokok-pokok yang digarap dan didalami adalah Perjamuan yang ditinjau dari berbagai perspektif. Perjamuan dalam konteks budaya-budaya Asia, Perjamuan dalam sistem kepercayaan Budha, Perjamuan dalam tradisi Yahudi dan Kristen, Perjamuan sebagai apresiasi seni, dan Perjamuan dalam budaya kontemporer.
Walaupun ditinjau dari aspek yang berbeda dengan sudut pandang beragam, mereka sepakat bahwa perjamuan selalu dibentuk oleh lebih dari seorang. Dan oleh karena itu dalam perjamuan terdapat kontak awal, saling menyapa, interaksi dan bercerita (narasi). Kontak dan interaksi bisa terungkap dalam bentuk bahasa suara, gestikulasi, simbol bahkan dalam hening. Setelah berbagi cerita dalam makan bersama, secara spontan akan terbangun relasi yang bisa bertahan lama. Kontak, interaksi, gestikulasi, hening, relasi yang bertahan lama (kontinuitas dan komunitas) adalah unsur konstitutif sebuah komunikasi. Cara dan proses berelasi (to relate) menjadi suatu pola hidup (way of life) dan perilaku yang terlekat pada diri manusia. Seperti inilah yang yang dalam paradigma komunikasi disebut Matra kehidupan (dimension of life).
Tentu contoh di atas diangkat dari fenomen perjamuan. Contoh pemahaman yang serupa dapat dijelmakan dalam lingkungan sekolah, gereja, keluarga, sistem pemerintahan dll. Itu berarti bahwa sebagai matra, komunikasi ‘merasuk’ ke dalam seluruh bentuk kehidupan bahkan ia adalah unsur konstitutip kehidupan. Kalau komunikasi dipahami sebagai matra, maka paling sedikit ada dua konsekuensi yang perlu kita dalami sebagai orang kristen yakni ‘komunikasi sebagai sebuah sikap peduli’ dan yang berikut ‘media adalah suatu mediasi’.
Konsekuensi Pertama: Komunikasi adalah sikap peduli
Dalam perspektif kristen, cara berelasi dan pola hidup terjalinan harus memiliki nilai lebih. Not just say hello. Relasi harus terungkap dalam upaya mendarmakan diri kepada orang lain di atas wadah cinta kasih sejati. Instruksi pastoral Communio et Progessio (1971) menandaskan bahwa komunikasi seturut maknanya yang terdalam adalah ‘giving of self in love’. Pemberian diri yang demikian menjadi perilaku hakiki kalau seseorang disebut kristen. Berarti orang yang takut dan tidak pernah menyerahkan dirinya demi orang lain atas dasar kasih, seturut perspektif matra komunikasi, ia bukanlah orang kristen sejati. Yesus adalah figur puncak komunikasi jenis ini.
Yoh 3:16 – Karena begitu besar kasih Allah akan dunia, Ia akhirnya menyerahkan Anak-Nya yang tunggal supaya siapa saja yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan memperoleh hidup kekal.
Yoh 10:10 – . . . agar mereka beroleh hidup dan hidup dalam kelimpahan…..
Lalu, kepada siapa kita harus menyerahkan diri kita? Tentu kepada semua orang. Tetapi ia akan mendapat levelnya yang paling tinggi apabila penyerahkan diri itu tertuju kepada dan demi orang yang terpinggirkan dan terabaikan oleh sistem yang lebih mengedepankan kepentingan diri dan kepuasan diri sendiri dan kelompoknya.
….ketika Aku lapar, kamu (tidak) memberikan Aku makanan; ketika Aku menjadi orang asing, kamu (tidak) memberikan Aku tumpangan . . .(bdk.Mat 2:, 31-46).
Komunikasi sebagai Matra ditandai dengan semangat hidup untuk keluar dan pergi berjumpa dengan rekan dialog kita. Keluar dari keterkungkungan diri, pemuasan dan pemenuhan diri, terus membebaskan diri dan dengan demikian mampu membebaskan orang lain. Sebuah semangat passing over, sebuah spiritualitas paskah. Disinilah terletak matra misioner dari komunikasi kristiani
Konsekuensi Kedua: Dari media ke mediasi
Paradigma komunikasi gereja (kristiani) hingga kini masih sangat kuat bersifat fungsionalis yang memandang media komunikasi sebagai ‘saluran’ untuk menyampaikan pesan yang dianggap sebagai obyek komunikasi. Dari perspektif itu, pengirim pesan akan dianggap sebagai ‘superman’ yang tahu segala-galanya. Dan recipients/audience/komunikan berperan sebagai semacam tabula rasa yang siap menampung segala informasi dari pengirim pesan. Dalam sistem ini, media adalah saluran (channel, means, tools, instrument)
Dalam paradigma Matra Komunikasi, kita tidak lagi berbicara tentang media sebagai saluran. Media bukan sekadar pengantar informasi. Tetapi sebagai lingkungan hidup (bios dalam terminologi Aristoteles). Aristoteles mengartikan bios sebagai kota politik, sosiabilitas kota. Jadi bios bukan dalam arti daging. Bagi Aristoteles ada tiga jenis bios yakni pengetahuan, kesenangan dan politik. Maka seturut konteks pemahaman Aristoteles dapat kita katakan bios media atau media sebagai mediasi. Itu berarti media tidak sekadar menjadi penyalur, ia tidak berdiri sendiri dan netral. Sebaliknya menjadi bagian dari masyarakat, bagian dari realitas. Media merupakan salah satu komponen masyarakat. Dengan demikian, komunikasi sebagai matra akan memahami media dengan pertanyaan ini: siapa pemilik media, idiologi manakah yang ada di balik media, idiom-bahasa apakah yang dipakai dalam operasional media, siapa yang mengoperasikan media itu, dimana (negara mana) media itu beroperasi, bagaimana media itu mengkonsepkan jender, keadilan, kekerasan, diskriminasi, dll. Semuanya ini turut menentukan terbentuknya sebuah bangunan komunikasi. Sebuah bangunan komunikasi yang mengemban Matra Misioner dalam konteks ini adalah kemampuan untuk keluar dari jebakan ‘Instrumental Understanding of Communication’ kepada ‘Sosio-Cultural understanding of Communication. (passing over/ spiritualitas paskah).
Agus Alfons Duka SVD, Sekretaris Eksekutif Komisi KOMSOS KWI
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.