Pengantar
Hari Komunikasi Sosial Sedunia lahir berdasarkan anjuran Konsili Vatikan II (Dekrit Inter Mirifica No. 18). Pertama kali dirayakan pada tahun 1967 dengan tema: Gereja dan Komunikasi Sosial. Hari Komunikasi Sosial sedunia dirayakan di sebagian besar negara di seluruh dunia pada hari Minggu sebelum Hari Raya Pentakosta.
Pertanyaannya, mengapa tidak semua keuskupan lantas merayakannya bertepatan pada Minggu Paskah VII?
Saya melihat kebijakan ini lahir dari pertimbangan pastoral di setiap wilayah Konferensi Waligereja. Sebagai contoh di Italia – negara dengan tradisi katolik yang sangat tua– di hari Minggu Paskah sebelum Minggu Pentekosta, selalu dirayakan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Alasannya, jika Hari Raya Kenaikan Tuhan dirayakan pada hari Kamis, 10 hari sebelum Hari Raya Pentakosta (atau 40 hari setelah Hari Raya Paskah), maka tidak akan banyak umat yang hadir dalam perayaan tersebut.
Istilah Komunikasi Sosial
Komisi persiapan untuk dekrit Inter Mirifica mengatakan bahwa berbagai istilah seperti “media massa, media penyebaran, sarana audio-visual” tidak sepenuhnya mengungkapkan keprihatinan riil Gereja. Oleh karena itu, maka diajukanlah sebuah istilah baru yang kemudian diterima, namun tidak pernah dijelaskan lebih jauh: Komunikasi Sosial.
Kata ‘sosial’ dalam terminologi gerejani ‘Komunikasi Sosial’ itu punya makna ‘communication OF and IN the Society’. Komunikasi itu menyangkut manusia, sebuah dinamika sosial dalam masyarakat; tentang bagaimana manusia saling berbagi gagasan, pikiran, perilaku, sikap.
Dalam interaksi sosial itu, yang disharingkan adalah:
• Isi komunikasi (message);
• Cara komunikasi (keseluruhan sikap, pola keberadaan manusia juga turut dikomunikasi melalui tatapan mata, gerak-gerik tubuh, dan beragam body language lainnya. Tata nilai sopan santun dalam masyarakat akan nampak dalam komunikasi sosial. Di sini, personal phyisical encounter (touch) menjadi jenis komunikasi yang tak tergantikan.
• Suasana komunikasi.
Minimal ketiga unsur ini (isi komunikasi, cara komunikasi dan suasana komunikasi) patut dipertimbangkan dalam suatu proses komunikasi kristiani.
Dasar Teologis
Keputusan Gereja merayakan Pekan Komunikasi pada hari Minggu sebelum Pentakosta itu kiranya berpijak pada keyakinan bahwa Injil Pentakosta adalah “Injil Komunikasi” karena Allah adalah komunio dan komunikasi. Ia mengkomunikasikan diriNya sendiri kepada kita, dan dengan demikian menyanggupkan kita untuk masuk dalam komunikasi satu sama lain, dan juga menjauhkan segala sesuatu yang menghalangi komunikasi kita.
Roh Kudus Pentakosta dengan “kemampuan komunikasinya yang luar biasa” membuka kembali saluran-saluran komunikasi yang ditutup sejak Peristiwa Babel, menyambung kembali relasi yang mudah dan otentik di antara bangsa-bangsa atas nama Kristus. Dengan demikian Gereja tampil sebagai “tanda dan sarana komunikasi dengan Allah dan kesatuan di antara manusia”.
Mengapa dirayakan pada Masa Paskah?
Komunikasi diri Allah yang menjadi manusia dalam Yesus Kristus itu pada akhirnya tergenapi melalui Misteri Paskah dan bermuara dalam suatu dimensi baru komunikasi diri Allah. Peristiwa Paskah merupakan awal baru komunikasi diri Allah Tritunggal kepada manusia. Awal baru ini merupakan penebusan dunia (bdk Yoh 3:16, Dei Verbum nomor 33, 13,14).
Bersama dengan datangnya Roh Kudus, komunikasi diri Allah yang telah dilaksanakan di dalam Yesus Kristus bisa dilanjutkan melalui pewartaan para rasul (DV no.7). Roh Kudus dilihat sebagai ungkapan berkelanjutan dari komunikasi diri Allah kepada semua bangsa dan segala zaman.
Maka kita bisa katakan bahwa Roh Kudus bukan saja pelaku misi dan evangelisasi sebagaimana dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Missio dan Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi, melainkan juga mesti dilihat sebagai pelaku dan penggenapan komunikasi diri Allah kepada Gereja. Roh Kudus itulah yang menjadi ungkapan pribadi dari pemberian diri Allah.
Di sinilah letak fondasi trinitaris untuk setiap komunikasi sebagai “Penyerahan diri demi cinta” sebagaimana diungkapan dalam instruksi Pastoral Communio et Progressio no.10. Ungkapan penyerahan diri demi cinta, disegarkan selalu ketika kita mengadakan refleksi tentang Ekaristi Kudus, dimana Kristus memberi kita bentuk komunikasi yang paling sempurna dan paling mesra antara Allah dan manusia. Dari komunikasi inilah lalu lahir persatuan yang paling dalam antara manusia.
Citarasa kebersamaan
Paus Fransiskus dalam pesan pastoralnya untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-48 pada tanggal 1 Juni 2014 mengharapkan agar media sosial mampu menciptakan citarasa kebersamaan, menumbuhkan semangat solidaritas. Dinding-dinding kesenjangan dirobohkan dengan menciptakan situasi komunikasi saling mendengarkan dan berani belajar dari kebenaran yang dimiliki pihak lain.
Secara khusus, Bapa Suci memberi perhatian pada internet, wahana komunikasi yang bisa menciptakan “ruang publik”, yang memungkinkan terjadinya perjumpaan antar pribadi dan munculnya solidaritas bersama.
Sri Paus juga mengakui bahwa penyebaran informasi kadang melampaui batas-batas kemampuan manusia untuk berefleksi dan menilai. Hal ini bisa menghalangi ekspresi diri yang lebih seimbang. Ragam pendapat yang dipublikasikan bisa bermanfaat, tetapi juga dapat membuat orang membentengi diri di belakang kebenaran informasi yang masih diragukan validitasnya.
Rumah bersama
Paus Fransiskus yang memiliki semangat pembaharuan dalam karya pastoral Gereja, menghendaki agar Gereja Katolik menjadi Gereja yang terbuka terhadap perkembangan termasuk terhadap dunia digital. Gereja perlu masuk di dalamnya untuk menjumpai manusia dengan aneka persoalan yang perlu di dengar dan ditanggapi.
Keterbukaan Gereja dalam tampilannya baik terhadap realitas semrawutnya kehidupan manusia di dunia nyata maupun di dunia digital menunjukkan wajah baru dari Gereja sebagai “rumah” untuk semua orang. Gereja saat ini ditantang menjadi Gereja yang tanggap dengan situasi sosial, memiliki hati untuk terlibat dan melebur diri dalam perjumpaan dengan mereka yang terhimpit dengan pelbagai problem kehidupan.
Amanat untuk Hari Komunikasi Sedunia Tahun 2014 menggali potensi komunikasi, terutama dalam sebuah dunia yang berjejaring dan terhubung, guna membawa orang lebih dekat satu sama lain dan untuk bekerja sama dalam tugas membangun sebuah dunia yang lebih berkeadilan.
Karya Pastoral Komsos Gereja Katolik Indonesia
Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia yang disingkat Komisi Komsos KWI bertugas untuk membantu para Waligeraja Indonesia, dengan memperhatikan wawasan komunikasi sosial, dalam persekutuan Gerejawi kita.
Sebagai organ KWI, Komisi Komsos bekerjasama dengan departemen, lembaga dan komisi lain yang terhimpun dalam Sekretariat Jenderal KWI guna mencapai tujuan karya yang dipercayakan oleh para Waligereja.
Komisi Komsos setingkat Keuskupan bertujuan untuk membantu uskup dalam pastoral komunikasi sosial, sesuai dengan sumber daya dan keperluan keuskupan.
Komisi Komsos KWI bertugas untuk menjiwai pelayanan pastoral komunikasi sosial Keuskupan. Pelayanan bersama ini kiranya membangun kemampuan pastoral komunikasi sosial dalam mewujudkan iman demi persaudaraan dalam tanggung jawab yang seirama dengan kemajuan teknologi dan informasi mutakhir.
Dalam mewujudkan pastoral komunikasi sosial, Komisi Komsos melaksanakan mandat “sentire cum ecclesia”: berpikir secara gerejawi, merasa secara gerejawi, melayani secara Gerejawi serta mencintai secara Gerejawi. Dengan demikian, Komisi Komsos semakin memikirkan, merasakan, melayani dan mencintai perutusan Gereja dalam menyuburkan evangelisasi baru di zaman digital yang kemajemukannya begitu pesat.
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019