Refleksi atas pesan Sri Paus Fransiskus untuk Minggu Komunikasi ke-48
Pengantar
Hari Minggu Komunikasi Sedunia lahir berdasarkan anjuran Konsili Vatikan II (Inter Mirifica). Dirayakan di sebagian besar negara di seluruh dunia pada hari Minggu sebelum Hari Raya Pentakosta. Paus Fransiskus mengeluarkan pesan perdana untuk Minggu Komunikasi Sedunia yang ke-48 bertajuk “Komunikasi: Budaya Perjumpaan yang Sejati” yang diumumkan pada Peringatan Santo Fransiskus dari Sales, pelindung Komunikasi Sosial.
Dunia modern yang kontras
Bapa Suci memulai pesannya dengan sebuah refleksi yang mendalam tentang dunia. Paus melihat dunia saat ini semakin “dekat”. Hal ini bisa disebabkan oleh pesatnya perkembangan transportasi dan juga karena kemajuan media komunikasi. Hanya dengan satu “klik” manusia bisa saling menyapa sahabatnya yang tinggal di benua lain.
Di sisi lain, Paus juga menyadari bahwa saat ini terbentang jurang pemisah antara mereka yang hidup berkelimpahan dengan mereka yang menderita kelaparan, antara mereka yang hidup dalam gemerlapnya cahaya lampu dengan mereka yang melewati malam tanpa cahaya lampu.
Pengalaman seperti itu ada di sekitar kita, bahkan mungkin kita termasuk berada di salah satu dari dua sisi kehidupan yang ektrim itu. Karena kita sering melihatnya, bahkan juga pelakunya, warna kehidupan seperti itu tidak lagi dianggap sebagai persoalan. Maka boleh dibilang bahwa dunia modern saat ini semakin “terbelakang” dimana orang hidup makin ekslusif, menutup mata terhadap penderitaan sesamanya.
Gaya hidup yg kontras
Citarasa kebersamaan
Berhadapan dengan realitas kehidupan seperti itu, Sri Paus memberi harapan pada media sosial. Media sosial diharapkan mampu menciptakan citarasa kebersamaan, menumbuhkan semangat solidaritas. Dinding-dinding kesenjangan dirobohkan dengan menciptakan situasi komunikasi saling mendengarkan dan berani belajar dari kebenaran yang dimiliki pihak lain.
Itu berarti, dalam komunikasi kita tidak hanya memberi pendapat, tetapi juga menerima pendapat yang berbeda.
Secara khusus, Bapa Suci memberikan perhatian pada internet, wahana komunikasi yang bisa menciptakan “ruang publik”, yang memungkinkan terjadinya perjumpaan antar pribadi dan munculnya solidaritas bersama.
Sri Paus juga mengakui bahwa penyebaran informasi kadang melampaui batas-batas kemampuan manusia untuk berefleksi dan menilai. Hal ini bisa menghalangi ekspresi diri yang lebih seimbang. Ragam pendapat yang dipublikasikan bisa bermanfaat, tetapi juga dapat membuat orang membentengi diri di belakang kebenaran informasi yang masih diragukan validitasnya.
Bagaimana supaya wahana komunikasi melalui internet bisa membantu kita bertumbuh dalam nilai kemanusiaan dan mengembangkan citarasa saling pengertian?
Menurut Bapa Suci, dibutuhkan “sikap batin” yang hening untuk mempertimbangkan banyak hal dan memutuskan sesuatu secara tepat dan benar. Terbuka dan tulus menerima orang lain apa adanya.
Rumah Bersama
Pemanfaatan media komunikasi bukan hanya sebatas komunikasi melalui kabel, tetapi wahana yang menghubungkan antara pribadi menjadi sebuah komunitas kebersamaan. Perjumpaan pribadi ini menjadi aspek penting dalam komunikasi yang dibangun di atas rasa saling percaya.
Paus Fransiskus yang memiliki semangat pembaharuan dalam karya pastoral Gereja, menghendaki agar Gereja Katolik menjadi Gereja yang terbuka terhadap perkembangan termasuk terhadap dunia digital. Gereja perlu masuk di dalamnya untuk menjumpai manusia dengan aneka persoalan yang perlu di dengar dan ditanggapi.
Keterbukaan Gereja dalam tampilannya baik terhadap realitas semerawutnya kehidupan manusia di dunia nyata maupun di dunia digital menunjukkan wajah baru dari Gereja sebagai “rumah” untuk semua orang. Gereja saat ini ditantang menjadi Gereja yang tanggap dengan situasi sosial, memiliki hati untuk terlibat dan melebur diri dalam perjumpaan dengan mereka yang terhimpit dengan pelbagai problem kehidupan.
Dalam zaman modern kita saat ini, sebuah budaya baru sedang berkembang pesat berkat teknologi, dan komunikasi dalam arti tertentu “diperkuat” dan “berkelanjutan”. Kita dipanggil untuk “menemukan kembali, melalui sarana komunikasi sosial serta melalui kontak pribadi, keindahan yang berada pada intisari keberadaan dan pengembaraan kita, keindahan iman dan keindahan perjumpaan dengan Kristus”. (Amanat Paus Fransiskus kepada para peserta Musyawarah Paripurna Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, 21 September 2013).
Lebih lanjut Bapa Suci memberikan harapan “untuk mendayagunakan teknologi modern dan jejaring sosial sedemikian rupa sehingga mengungkapkan suatu kehadiran yang mendengarkan, mempercakapkan dan mendorong”. Seturut konteks ini, masing-masing kita harus menerima tantangan untuk menjadi pribadi sejati dengan memberi kesaksian tentang berbagai nilai, identitas kristiani, pengalaman budaya, yang diungkapkan dengan bahasa baru dan dengan berbagi kepada orang lain.
Kecakapan berkomunikasi merupakan intisari dari apa artinya menjadi manusia. Dalam dan melalui komunikasi itulah kita mampu bertemu dan berjumpa dengan orang lain pada suatu tatanan yang sarat makna, menyingkapkan siapa diri kita, apa yang kita pikirkan dan yakini, bagaimana kita ingin hidup. Barangkali yang lebih penting lagi, bagaimana kita dapat mengenal orang-orang bersama siapa kita dipanggil untuk hidup?
Komunikasi semacam itu menuntut kejujuran, penghormatan timbal balik dan komitmen untuk belajar satu dari yang lain.
Amanat untuk Hari Komunikasi Sedunia Tahun 2014 menggali potensi komunikasi, terutama dalam sebuah dunia yang berjejaring dan terhubung, guna membawa orang lebih dekat satu sama lain dan untuk bekerja sama dalam tugas membangun sebuah dunia yang lebih berkeadilan. Senada dengan ide dari para pendahuluanya, Paus Fransiskus memberi apresiasi akan kematangan Gereja dalam menyikapi perkembangan isu-isu di bidang komunikasi.
Penutup
Dalam amanat ini, tampak jelas kemunculan citra sebuah Gereja yang ingin berkomunikasi, yang ingin masuk ke dalam dialog dengan kaum lelaki dan perempuan dewasa ini, lantaran menyadari peran yang telah dipercayakan kepadanya dalam konteks ini. Sri paus telah berulang kali menyinggung tema budaya perjumpaan, seraya mengundang Gereja dan para anggotanya untuk menghadapi berbagai dimensi dan kebutuhan khusus bagi budaya ini.
Dalam teks amanat ini dua gelombang panjang yang luas dapat diamati.
Bagian pertama amanat diarahkan kepada jagat komunikasi dalam konteks awam, dimana Sri Paus menyajikan refleksi-refleksi yang berguna bagi mereka yang belum mengambil pilihan religius dalam hidup mereka, namun demikian tetap dipanggil untuk melihat atau sudah menyadari nilai keinsanian yang mendalam dari jagat komunikasi.
Namun, saat menyapa para murid Tuhan maka amanat ini memperlihatkan nada, kedalaman serta frekuensinya yang khas, sembari mengedepankan rujukan kepada perumpamaan tentang orang Samaria yang baik. Itu sangat menggugah emosi, karena hal itu membantu kita untuk memahami komunikasi dalam kerangka kedekatan dengan orang lain.
Dari perspektif itu, maka muncullah sebuah tantangan bagi kita semua yang senantiasa terus berjuang untuk menjadi murid Tuhan. Yakni, bagaimana bisa mendayagunakan keberadaan jejaring digital ini menjadi wahana yang kaya demi pengembangan kemanusiaan. Itu karena jejaring ini bukanlah tentang kabel, melainkan menyangkut orang.
RD. Kamilus
Sekretaris KOMSOS KWI
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.