MIRIFICA.NET – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun ini dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) meluncurkan tema kampanye “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS”. Tema ini diangkat sebagai tindak lanjut dari penetapan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Adapun tagline penyerta tema kampanye adalah “Satu Suara untuk UU TPKS”.
Tema kampanye tersebut menjadi penting mengingat paska UU TPKS legal, diperlukan upaya dan sinergi dari berbagai pihak di masyarakat untuk mensosialisasikan UU tersebut. Berbagai pihak di masyarakat perlu bersepakat dalam satu suara, yaitu berpihak pada korban, agar UU TPKS dapat sungguh-sungguh menjadi produk hukum yang tidak hanya berfungsi dalam penanganan kasus TPKS tetapi juga mampu mencegah, serta memulihkan masyarakat. Tujuannya satu, agar terwujud ruang aman bagi semua orang dimanapun dan kapanpun seseorang beraktivitas.
Di akhir bulan September yang lalu, KPPPA mengadakan kegiatan sosialisasi UU TPKS secara hybrid di Jakarta untuk perwakilan agama Katolik dan Buddha. Kegiatan tersebut diselenggarakan dengan kolaborasi bersama Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) KWI dan organisasi keagamaan Buddha Niciren Syosyu Indonesia. Saya berkesempatan menghadiri pertemuan tersebut secara luring, mewakili Komisi Kepemudaan KWI.
Indra Gunawan, selaku Plt. Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA, dalam sambutannya menyampaikan bahwa sosialisasi UU TPKS dengan melibatkan tokoh agama menjadi strategi KPPPA untuk meningkatkan partisipasi masyarakat supaya dapat membantu korban berani melapor dan mendapat keadilan. Ketiga pembicara dalam acara tersebut mewakili tiga instansi penting dalam pelaporan kasus TPKS, yaitu perwakilan pembuat draft UU (Ibu Valentina Sagala), perwakilan penyidik dari Bareskrim Polri (Ibu Rita Wulandari Wibowo), dan perwakilan penuntut dari kejaksaan agung (Ibu Erni Mustikasari).
Pemaparan dari ketiga narasumber membuat saya memahami UU No. 12 Tahun 2022 lebih mendalam. Sebelumnya saya hanya tahu kelebihan UU TPKS adalah keberadaan pasal yang menjamin pemenuhan hak korban dan keluarga. Setelah mendengarkan paparan para narasumber, saya jadi lebih paham bahwa UU tersebut juga memiliki pasal-pasal yang mendukung keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan TPKS.
Saya bisa memahami urgensi dari pasal jaminan perlindungan partisipasi masyarakat dalam pelaporan kasus TPKS berdasarkan pengalaman saya menjalankan program perlindungan perempuan paska bencana di Sulawesi Tengah tahun 2018. Saat menyaksikan atau mendengar seseorang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seringkali masyarakat enggan untuk menegur atau melaporkan kasus tersebut. Anggapan umum adalah orang asing tidak sebaiknya mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
Padahal, data pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam CATAHU Komnas Perempuan secara konsisten menunjukkan laporan kekerasan tertinggi terjadi di ranah privat/personal. Dengan demikian, UU TPKS telah dengan jitu mendorong partisipasi masyarakat guna menciptakan ruang bebas dari kekerasan di masyarakat dengan menguatkan fungsi saling menjaga antar warga. Selain itu situasi psikologis korban TPKS seringkali tidak memungkinkan dirinya untuk melapor. Hal ini menyebabkan semakin pentingnya masyarakat berpartisipasi, bisa menjadi saksi, pendamping, atau pelapor, untuk membantu korban.
Saya menangkap keseriusan para narasumber dalam memperjuangkan terwujudnya ruang aman, ruang bebas dari kekerasan, bagi semua orang. Ibu Rita, perwakilan penyidik dari Bareskrim Polri, bahkan membagikan nomor kontaknya ke para peserta pertemuan luring dan daring sebagai bentuk komitmen beliau untuk membantu masyarakat.
Di akhir pertemuan, Ibu Valentina menyampaikan kata penutup yang saya rasa menjadi inti dari kegiatan sosialisasi UU TPKS, sebagai berikut
“Kekerasan seksual terjadi karena ketimpangan relasi kuasa antara korban dengan pelaku sehingga hindari stigma tertentu “pastilah dia kurang beragama”, “pastilah dia bertato”, “pastilah dia berpakaian tertentu”. Siapapun bisa jadi korban. Siapapun bisa jadi pelaku. Pemahaman ini adalah modal utama untuk menguatkan korban mau berbicara.”
Paska pertemuan sosialisasi UU TPKS, saya bertemu dengan Rm Kristi Adi, Pr, selaku sekretaris Komisi kepemudaan KWI. Rm Kristi sepakat bahwa UU TPKS ini perlu untuk dipahami, tidak hanya oleh OMK tetapi juga terutama bagi para pendamping OMK. Rencananya di tahun depan, Komisi Kepemudaan hendak membuat modul pencegahan kekerasan seksual pada OMK sebagai satu langkah menyatukan suara untuk UU TPKS. *Stella Anjani – utusan Komkep KWI
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.