MIRIFICA.NET, Bandung – Mengawali Sidang KWI (03-14 November) di Gedung Pastoral Silih Asih, Bandung, para uskup belajar bersama tentang dokumen Abu Dhabi. Dokumen yang ditandatangani tanggal 4 Februari 2019 oleh Paus Fransiskus dan Imam besar Al-Ashar, Sheikh Ahmed Al-Tayeb, berjudul: “Persaudaraan insani untuk Perdamaian”. Belajar Bersama yang disebut “Hari Studi” ini bertujuan untuk memahami dokumen, memperkuat dialog dan mengaktualisasi isi dokumen untuk perdamaian dalam konteks Indonesia. Dua hari studi ini menghadirkan. Alissa, Q.Munawaroh Rahman, Prof. Dr. Nazaruddin Umar, Dr. Wachid Ridwan, Mgr. Tri Harsono, dan Rm. Damianus Fajar Tedjo.
Sesudah session-session hari pertama dan kedua Team Mirifica.net, meminta pendapat dan komentra bapa-bapa uskup tentang hari studi. Mari kita simak komentarnya.
Mgr. Robertus Rubiyatmoko – Uskup Keuskupan Agung Semarang
Hari ini tanggal 4 November 2019 merupakan hari pertama sidang KWI tahunan dan pada siang sampai malam hari ini kita mempunyai tema yang sangat bagus, berkaitan dengan deklarasi kemanusiaan yang telah ditandatangani oleh Paus Fransiskus Bersama imam besar dari Al Azhar. Dan dari situ kami mencoba untuk mempelajari apa isinya dan sungguh sangat menarik sekali Paus dan Imam Al-Azhar itu mempunyai komitmen yang sama yaitu bagaimana melawan ekstrimisme yang ada di dunia ini. Berbagai macam masukan dari Prof. Nassarudin umar, Uskup Keuskupan Purwokerto, Mgr. Tri Harsono dan dari Dr. Ridwan memberikan masukan yang sangat luar biasa yang intinya ialah mengajak kita semua untuk membangun kebersamaan justru dalam rangka untuk menghindarkan atau melawan ekstrimisme yang terjadi di negara kita ini. Ini semua kita tempuh dengan meningkatkan toleransi di antara umat beragama; dengan toleransi yang semakin tinggi maka orang akan semakin mempunyai perhatian untuk orang lain dan karena itu, harapannya radikalisme bisa kita eliminir, bisa kita singkirkan.
Mgr. Paulinus Yan Olla MSF – Uskup Keuskupan Tanjung Selor
Sidang hari ini memang dalam pengalaman dan seperti tadi sudah diungkapkan di pembukaan sidang. Ini merupakan mandat Paus Fransiskus ketika ad limina pada bulan Juli yang lalu. Bagi kita ini menjadi sangat relevan untuk diperdalam bersama terutama dengan mengundang para narasumber dari tempat kita terutama dari Indonesia untuk menafsir kembali dokumen Abu Dhabi itu. Dalam pandangan saya apa yang diangkat dan diputuskan oleh presidium untuk didalami sungguh relevan bagi kita karena nampaknya surat itu punya gema di tingkat internasional, tetapi kita di Indonesia yang mayoritas teman-teman kita adalah muslim di mana kita juga mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan apa yang telah disepakati oleh pimpinan tertinggi kita.
Dengan pengangkatan tema ini para uskup diberi lagi kesadaran dan pemahaman yang lebih dalam mengenai betapa pentingnya dokumen itu dan kita mengharapkan seperti tadi muncul rekomendasi-rekomendasi dalam sessi pertama yang kami pimpin sebagai moderator; di situ ada rekomendasi-rekomendasi yang sangat penting, misalnya ada usulan untuk membuat suatu penerjemahan bersama dengan rekan-rekan dari Muslim ditambah dengan anotasi, catatan-catatan interpretasi yang bisa membantu sehingga dokumen itu tidak disalahtafsirkan ketika disosialisasikan. Begitu juga ajakan untuk memperdalam dan memperlihatkan harmoni yang ada di Indonesia sebagai bahan yang penting tidak hanya dalam kajian tetapi pengalaman relasi antar agama yang harmonis yang menjadikan Indonesia bisa dijadikan model untuk pembelajaran bagi bangsa-bangsa lain. Dari sesi yang terakhir menjadi nampak bahwa memang memberdayakan sumber-sumber yang kita miliki untuk meningkatkan toleransi menjadi salah satu jawaban untuk mengatasi radikalisme dan juga intoleransi yang kita rasakan, untuk nanti kemudian menjadi dasar bagi Indonesia damai yang kita cita-citakan seperti yang terungkap dalam tema hari ini.
Simak Juga: Sidang Tahunan KWI 2019 : Persaudaraan Insani Untuk Indonesia Damai
Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap – Uskup Agung Emeritus Keuskupan Agung Medan
Informasi yang diberikan menyatakan keterbukaan, semoga apa yang kita inginkan atas persaudaraan insani boleh terwujud. Semakin perlu kesabaran untuk hidup bersama dan secara kongkrit bahwa ada perbuatan- perbuatan yang dibuat oleh Romo Damianus Fajar Tedjo sungguh sangat membantu dan semoga dapat juga terlaksana dalam Gereja. Saya pribadi juga sudah melihat bahwa di Jakarta ketika ada banjir, saudara kita umat Muslim dievakuasi ke dalam Gereja dan dilayani oleh umat Katolik terutama para pemuda dan dewan paroki sangat melayani serta para umat berkumpul dengan memberikan seluruh milik apa yang bisa diberikan kepada yang membutuhkan. Ini adalah relasi yang terjadi di tingkat akar rumput.
Mgr. Ewaldus Martinus Sedu – Uskup Keuskupan Maumere
Sidang hari ini menjadi sangat berguna bagi kami terutama saya secara pribadi, menambah wawasan dan informasi yang berguna untuk saling membantu, memahami terutama membantu sama saudara kita yang bekerja di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan masukan-masukan untuk saling memahami, saling mengerti dan dalam rangka untuk membendung radikalisme, bukan tidak mungkin bahwa ada juga orang wilayah Keuskupan Maumere secara tidak sadar juga sedikit demi sedikit terpapar juga oleh paham-paham seperti itu. Apa yang lebih penting adalah bagaimana kita sebagai pemimpin umat juga dengan para Pastor dan para pemimpin agama yang lain, untuk coba perlahan-lahan memahami dan mengurangi paham radikalisme itu.
Mgr. Petrus Boddeng Timang – Uskup Keuskupan Banjarmasin
Harus saya katakan, dua hari studi ini memberikan banyak informasi dan inspirasi mengenai bagaimana memperjuangkan persaudaraan sebagai bekal bagi manusia bersama dengan saudara-saudara dari agama dan keyakinan lain. Para narasumber memang cukup inspiratif; menyampaikan sejumlah hal yang barangkali harus dicoba di berbagai keuskupan di Indonesia termasuk di Banjarmasin.
Semua pembicara selama dua hari ini menyampaikan bahwa tingkat wacana sudah kita lewati tinggal merangkak ke tingkat tidak lanjut; dan kita tidak boleh hanya berhenti pada persoalan – persoalan yang ada melainkan menukik ke dalam dan dengan bantuan para penceramah, mencoba untuk menampilkan bagaimana menganalisa klasifikasi aktual yang kelihatan dipermukaan begitu banyak bergeser, maka seperti yang saya tekankan lebih-lebih oleh Mba Allisa; kita harus sampai pada memikirkan dan menata kembali persoalan-persoalan Bangsa ini, khususnya dilihat dari segi tanggung jawab umat beragama dari berbagai agama yang ada di Indonesia; bagaimana membangun negeri ini menjadi masyarakat yang damai dalam suasana persaudaraan di antara sesama anak bangsa apapun juga agama dan keyakinannya.
Simak Juga: Sidang Tahunan KWI 2019 : Berdinamika Membangun Persaudaraan Bagi Bangsa Indonesia
Berlanjut ..
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.