Beranda BERITA Kisah Guru Agama Islam di Sekolah Katolik Nunukan

Kisah Guru Agama Islam di Sekolah Katolik Nunukan

Astin [ paling kanan ] bersama Kepala Sekolah SMA Frateran Santo Gabriel, Nunukan, Kalimantan Utara Frater M. Yohanes BHK [ kiri berjas cokelat] dan Donatus Jagom [ Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan ]. [ Foto : Arsen Making/ Mirifica.Net ]

MIRIFICA.NET – Astin bersyukur bisa bergabung dengan tim pengajar di SMA Katolik Frateran Santo Gabriel, Nunukan, Kalimantan Utara. Sudah setahun dia mengajar Pendidikan Agama Islam untuk anak-anak beragama Islam di sekolah itu.

Kebetulan SMA Katolik Frateran Santo Gabriel Nunukan membuka kesempatan untuk guru beragama non-Katolik mengajar di tempat itu. Bahkan terbuka juga untuk guru mata pelajaran Agama Islam.  “Saya kaget, ternyata di sini bukan hanya murid Katolik yang belajar?” ujar lulusan Sarjana Agama Islam lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah [ STIT ] Nunukan.

Astin merasa siswa-siswi muslim harus mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan keyakinannya walaupun bersekolah di sekolah non muslim. “Saya harus mendampingi anak-anak dari segi keagamaan, khususnya Islam, juga segi tingkah laku, walaupun ini Sekolah Katolik. Karena ternyata tidak semua siswa beragama Katolik,” tuturnya.

Sebelum menjadi guru di sekolah ini, Astin menganggap sekolah-sekolah Katolik hanya menerima siswa-siswi Katolik. Ternyata tidak. Sekolah Katolik, khususnya SMA Katolik Frateran Santo Gabriel Nunukan juga terbuka untuk umum dan menerima semua siswa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda.

Meski kebanyakan guru beragama Katolik, Astin betah dan nyaman mengajar di sekolah ini. Semua guru ramah dan menerima dengan tangan terbuka kehadirannya, demikian juga dengan para siswa. “Saya langsung disambut baik di sekolah ini. Anak-anak dan guru ramah serta bersahabat,” ujarnya.

Terbuka
Kepala Sekolah SMA Katolik Frateran Santo Gabriel Frater M. Yohanes BHK menyebutkan, aturan Yasasan Mardiwiyata yang memayungi sekolah ini memang membuka kesempatan belajar untuk anak-anak beragama non-Katolik, demikian juga untuk pengajarnya.

“Aturan Yayasan tidak mengikat bahwa guru-guru atau karyawan di yayasan harus Katolik. Yayasan tidak mengatur suku, ras, dan agama. Jadi semua warga negara Indonesia yang bersedia menjadi guru atau karyawan di salah satu sekolah SMA yang dikelola Yayasan Mardiwiyata selalu diterima. Untuk mata pelajaran apa saja,” ujar Frater yang kerap disapa John ini.

Karenanya, sama seperti guru yang lain, saat melamar menjadi guru, Astin juga mengikuti prosedur sesuai aturan yayasan. “Pelamar datang, kita meminta dia membuat surat lamaran, melampirkan ijazah dan segala macam yang dibutuhkan. Setelah itu, kita kontak ke Yayasan menyampaikan bahwa sekolah membutuhkan guru seperti ini, yang melamar dengan disiplin ilmu seperti ini,”ujar John.

Selanjutnya, kata John, pihak Yayasan akan melakukan verifikasi berkas. Setelah berkas dianggap memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan sekolah, baru Yayasan memanggil sang guru untuk diberitahu apakah bisa bergabung menjadi tenaga pengajar atau tidak. “Saya ditelepon melalui pihak keluarga. Kemudian, seperti biasa, saya melampirkan foto copy ijazah terakhir, pas foto, dan akta lahir,” tutur Astin. Selanjutnya, data guru baru ini dimasukkan ke dalam Dapodik Pegawai Yayasan, kata John.

Bertanggung Jawab
Di mata kepala sekolah, Astin merupakan guru yang bertanggung jawab, tegas, disiplin dalam mengajar dan pribadi yang baik serta muda bergaul dengan siapa saja. “Ibu Astin ini muda bergaul. Kami mengenal beliau yang selalu riang gembira berada di tengah suku kita, bertanggung jawab, tegas, dan disiplin,” kata John.

Kolega gurunya juga memiliki kesan yang sama. Donatus Jagom, salah satu guru yang juga Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan menyebutkan, Astin selalu proaktif memantau, membimbing dan menasihati para siswa. Semua tugas dari sekolah dikerjakan dengan baik, kata Don, begitu dia disapa.

Pribadi dan sikapnya inilah yang kemudian membuat pihak sekolah memberi tanggung jawab lain selain menjadi guru Agama Islam, yakni menjadi Wali Kelas dan mengajar mata pelajaran prakarya.

Don juga menyebutkan, Astin begitu peduli dengan anak-anak. Sebagai Wali Kelas, Astin sering melakukan kunjungan rumah jika siswanya tidak masuk sekolah tanpa keterangan selama beberapa hari.

“Sebagai Wali Kelas, banyak hal yang ditangani Bu Astin. Dia melihat anak-anak secara keseluruhan. Mana yang siswa yang aktif dan tidak aktif. Yang tidak aktif selalu beliau panggil datang ke sekolah tetapi kalau tidak datang maka Ibu Astin yang ke rumah siswa,” ujar Don.

Mampu Ambil Hati
Astin dianggap selalu mampu mengambil hati para siswanya yang nakal atau bandel sehingga para siswa mudah akrab dengannya. “Ya, kita melihat dulu [siswa yang bermasalah], dipanggil secara baik-baik. Kamu Kenapa?” Tidak sedikit juga anak-anak yang lebih memilih Astin sebagai teman bicara. “Kenapa tidak bicara ke guru lain? Mereka menjawab lebih nyaman bicara dengan saya,” katanya sambil tertawa.

Astin mempunyai harapan besar bagi SMA Katolik Frateran agar menjadi sekolah yang tetap menjaga kebhinekaan di tengah isu radikalisme dan intoleransi antarumat beragama saat ini. “Lingkungan [sekolah] ini sangat mengesan. Di sini toleransinya sangat tinggi. Kalau saya beribadah [ shalat ], mereka menyiapkan tempat. Mereka menyilakan saya,” ujarnya.

Astin berharap agar para guru terus saling mendukung dan bekerja sama. Untuk Yayasan Mardiwiyata yang telah menerima dia sebagai guru di SMA Katolik Frateran Santo Gabriel Nunukan, Astin mengatakan, “sangat luar biasa,” tegasnya mengakhiri pembicaraan.

Kontributor : Arsen Making [ Komsos Paroki Santo Gabriel Nunukan Keuskupan Tanjung Selor ]