Beranda BERITA KETUA KOMISI KOMSOS KWI MGR. DATUS LEGA: KITA ADALAH INTER MIRIFICA

KETUA KOMISI KOMSOS KWI MGR. DATUS LEGA: KITA ADALAH INTER MIRIFICA

MIRIFICA, BALI – Memahami identitas ‘siapa kita’, menjadi penting tidak saja untuk sebuah kesadaran tetapi menjadi landasan pijak sekaligus spirit untuk bergerak membangun karya pastoral di bidang komunikasi sosial Gereja.

Maka, merefleksikan siapa kita, dalam konteks pegiat Komsos menjadi salah satu sesi yang didalami oleh para peserta rapat pleno nasional Komisi Komsos yang berlangsung di Bali, 22-26 Agustus 2022.

Sesi tersebut menjadi sesi pertama hari kedua Selasa (23/8), atau sehari setelah acara pembukaan.

Untuk mendalami sesi itu, Panitia Pengarah (Badan Pengurus Komisi Komsos KWI) menghadirkan dua Narasumber dalam panel diskusi yakni Mgr. Hilarion Datus Lega (Ketua Komisi Komsos KWI) dan RP. Dr. Yohanes I Wayan Marianta, SVD, Dosen STFT Widya Sasana Malang.

Ketua Komisi Komsos KWI Mgr. Hilarion Datus Lega, dalam refleksinya mengungkapkan bahwa tonggak sejarah baru dalam kehidupan menggereja adalah Konsili Vatikan II.

Salah satu dekrit yang dihasilkan dari Konsili tersebut adalah di bidang komunikasi sosial Gereja yang dikenal sebagai Dekrit Inter Mirifica.

Menurut Mgr. Datus, demikian Uskup Sorong Manokwari, itu biasa disapa, secara harfiah Inter Mirifica artinya ‘di antara hal-hal yang mengagumkan’.

“Di antara hal-hal yang mengagumkan itu tidak lain adalah manusia. Maka, keberadaan maupun tujuan dari karya-karya kita adalah manusia. Sehingga kalau di tanya ‘siapa kita?’ Kita adalah Inter Mirifica,” ungkap Mgr. Datus.

Kemudian secara spontan Mgr. Datus menyemangati peserta dengan memekik, “Siapa Kita?” dan secara serempak para Ketua Komsos Keuskupan dan pegiat Komsos itu menjawab “Inter Mirifica!”

Lebih lanjut, Mgr. Datus menerangkan bahwa Dekrit Inter Mirifica menekankan Gereja wajib menggunakan semua media komunikasi sosial demi mewartakan keselamatan.

Oleh sebab itu Gereja Katolik sangat menghargai sarana media sebagai upaya-upaya komunikasi sosial termasuk media komunikasi yang berkembang pesat di era modern ini.

“Gereja Katolik memeromosikan sarana-sarana modern, super modern dan harus dipakai, sehingga dalam Gereja berkembang adanya SIGNIS,” katanya.

Mgr. Hilarion Datus Lega (berdiri) saat menyampaikan buah pikirannya dalam merefleksikan Siapa Kita

Lebih jauh Mgr. Datus menegaskan, sebagai Inter Mirifica, yaitu manusia yang memiliki roh-jiwa dan spirit yang hidup di atas segala benda mati seperti HP, TV, Laptop, sinematografi, dan lain-sebagainya.

“Kita jangan menjadi mesin atau robot, karena mesin tergerus dalam arus zaman. Kita jangan jadi budak teknologi, tetapi sebagai tuan atas segalanya itu, sebab teknologi dibuat oleh manusia. Penting kita memperhatikan luhurnya harkat dan martabat manusia. Jadi, gagasan kita adalah tuan dibalik opreasionalisasi semua media. Manusia amat penting. Ini kredit poin dari Inter Mirifica,” Mgr. Datus mengingatkan.

Lantas, siapakah kita orang-orang Komsos dalam karya pastoral komsos?

Menurut Mgr. Datus, orang Komsos adalah orang yang membantu uskup dan keuskupan (Gereja Katolik) dalam karya pastoral komunikasi sosial.

“Kita dipilih bukan karena kita mampu dan memiliki latar belakang pendidikan khusus di bidang komunikasi. Tetapi dari berbagai latar belakang pendidikan. Pada akhrnya bukan soal kemampuan atau latar belakang pendidikan, tetapi tentang kesetiaan menjalani kepercayaan yang diberikan yang terbingkai indah dalam playanan kita sebagai pelaku karya Komsos,” ujar Mgr. Datus

Uskup Datus menambahkan, “Kita Inter Mirifika, orang yang diandaikan, sumbangkan best practis untuk pelayanan komunikasi sosial, pelayanan untuk membantu bapak uskup dan keuskupan-keuskupan.”

Mgr. Datus, juga mendorong para pelaku Komsos Gereja untuk melakukan hal-hal praktis (best practis) dan menyangkut succes storys.

“Kalau hanya berwacana tidak akan terjadi apa-apa. Yang benar adalah bukan hanya saya mau tapi harus lakukan. Filosofi wartawan, bukan saya mau tapi tulis. Best practis kita belajar,” imbuh Mgr. Datus, seraya berharap untuk memberdayakan orang muda dalam karya pastoral Komsos.

Suasana peserta sidang sedang berfoto bersama dengan narasumber. Pada kiri barisan depan adalah RP. Yohanes I Wayan Marianta, SVD

Trend Kolaborasi

Narasumber berikutnya, RP. Yohanes I Wayan Marianta, SVD, dalam kesempatan yang sama mengajak peserta untuk merenungkan beberapa poin penting dalam merefeleksikan (menjawab) ‘Siapa kita?’ dalam konteks ‘berjalan bersama’.

Romo Marianta, demikian biasa disapa, mengungkapkan terkait ‘berjalan bersama’ dewasa ini ada trend kolaborasi dan bukan hanya satu layanan tetapi ekosistem.

“Sekarang tidak perlu punya toko tapi tokonya tersebar. Dunia luar bergerak kearah itu,” katanya mengingatkan.

Dengan demikian, menurut Romo Marianta, tuntutannya kita siap berkolaborasi wartakan Injil keseluruh dunia.

“Misi Komsos adalah ‘Mission Dei’. Bawa orang pada Yesus itu adalah karya Komsos. Memang kadang-kadang kerjasama diterpa konflik, ini tantangan. Para rasul saja juga bertengkar,” katanya.

Lebih lanjut Romo Marianta mengajukan pertanyaan reflektif.

“Gereja macam apa yang kita layani? Komsos mau wartakan apa?”

Dikatakan, bahwa Gereja Indonesia saat ini sedang ada di zaman keemasan. Indonesia menjadi salah satu negara yang menyumbang tenaga misionaris yang cukup besar, seperti SVD ada 6000 anggota di seluruh dunia dan seperempatnya dari Indonesia.

SVD Indonesia, katanya menyumbang 580 misionaris ke luar negeri, tersebar di 84 negara.

“Itu adalah suport Gereja Indonesia untuk misi global. Frater kita banyak dari keluarga menengah. Panggilan kita bagus, kegiatan bagus, kita ada KBG-KBG sebagai kekuatan.

Peserta sedang mendengarkan penyampaian

Namun, semua cerita indah itu kurang diketahui, sebab kelemahan kita itu minder dan kurang mengkomunikasikan apa yang dibuat.

“Banyak kegiatan tapi kurang dilaporkan dan terekspos. Gereja Indonesia sibuk ngurusi sendiri. Bahasa Inggris kurang,” ungkapnya.

Untuk itu, kepada pelaku Komsos Gereja ini, Pastor kelahiran Paroki Gumbrih-Bali, Keuskupan Denpasar ini mengajak untuk konsen dengan komunikasi sebagai dimensi khas Komisi Komsos.

Poin refleksi berikutnya, menurut Romo Marianta adalah berjalan bersama menghadapi Krisis.

Dikatakan, bahwa wabah Covid 19 ternyata di balik Krisis itu mengandung bahaya dan peluang
Komsos, katanya, besinar waktu pandemic Covid 19.

Pesan yang diwartakan selama pandemi Covid 19 antara lain, rumah retret jadi tempat isoman. Atau Gereja yang peduli lingkungan (aplikasi Laudato si), dan sebagainya.

Menurut Romo Marianta, visual sangat penting, maka bagaimana berpastoral di era digital yang ditandai dengan Kebudayaan yang cepat berubah, tetapi (institusi) agama yang sulit berubah.

Saat ini, lanjutnya, dunia sedang mengalami ledakan sosial media, semua membuat konten, seakan-akan semua harus di publis. Orang bisa kerja dimana saja. Di era ini manusia menjadi riuh dalam kesendirian. Sendiri di kamar tapi semua informasi masuk di satu kamar.

Di era modern ini, menurut Rm. Marianta, perlu menyadari bagaimana berpastoral secara digital di tengah domba (umat). Di tengah riuhnya informasi, orang haus akan makna hidup.

“Tantangannya, mampukah kita menawarkan nilai-nilai injili di tengah riuhnya informasi digital saat ini,” pungkasnya penuh refleksi.

Prof. Eko Indrajit (berdiri) di antara pesera rapat pleno


Kecerdasan Digital

Seusai sesi ‘Merefleksikan Siapa Kita’ hari kedua juga diisi dengan sesi ‘Konteks Perutusan Karya Komunikasi Sosial’ yang difasilitasi oleh Badan Pengurus Komsos KWI.

Ada tanya jawab terkait karya-karya yang telah dilakukan oleh para pegiat Komsos di Badan Pengurus ini.

Sesi ini juga mempresentasekan hasil survey umum dan Ketua Komsos yang dibuatoleh Komsos KWI beberapa waktu lalu. Dari hasil survey itu disampaikan masalah-masalah yang terjadi, tantangan maupun peluang dan harapan dalam karya Komsos selanjutnya.

Dalam sisi ini, Prof. Eko Indrajit, juga menggambarkan kondisi umum yang mempengaruhi identitas dan karya di era disrupsi komunikasi sosial, apa yang sedang terjadi serta apa peluang dan aspirasi.

Prof. Eko Indrajit, dalam kesempatan ini menegaskan bahwa di era disrupsi komunikasi sosial penting sekali ‘Kecerdasan Digital.’

Menurut pakar Komunikasi ini, bagaimana cara mengatasi kegalauan terhadap hoax, dan sebagainya, tidak lain adalah pentingnya Kecerdasan Digital.

“Kalau semua umat kita atau semua orang Indonesia memiliki kecerdasan digital maka tidak ada kekisruhan,” katanya.

Menurut Prof. Eko Indrajit, ada delapan (8) komponen kecerdasan digital yang perlu dipahami yaitu digital identity, digital rights, digital use, digital literacy, digital safety, digital securty, digital EQ dan digital communications. *

Hironimus Adil/KOMSOS Keuskupan Denpasar