Romo D.Gusti Bagus Kusumawanta, Pr
Cacat kesepakatan
Kanon-kanon yang berbicara tentang cacat kesepakatan nikah adalah kanon 1095 sampai dengan 1103. Kanon 1095 – kan 1100 dan kan 1102 – 1103 berbicara tentang cacat dalam perbuatan kemauan; dan kanon 1101 berbicara tentang cacat dalam tujuannya.
Kanon 1095 berbicara tentang: tidak mampu melangsungkan perkawinan:
1. Yang kekurangan penggunaan akal budi yang memadai,
2. Yang menderita cacat berat dalam kemampuan menegaskan penilaian mengenai hak-hak serta kewajiban- kewajiban hakiki perkawinan yang harus diserahkan dan diterima secara timbal balik
3. Yang karena alasan-alasan psikis tidak mampu mengemban kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan.
Perbuatan kemauan memberikan kesepakatan perkawinan sebagai suatu perbuatan manusiawi menuntut suatu kesadaran diri akan apa yang sedang dibuat dan kebebasan kehendak untuk memilih melakukan hal itu.
Kan 1095 no. 1
Kanon ini berbicara tentang mereka yang tidak mampu melaksanakan perbuatan kemauan karena alasan tidak dapat menggunakan akalbudinya secukupnya. Misalnya pada waktu menikah tidak secukupnya sadar akan apa yang dilakuakan. Menggunakan akalbudi secukupnya bukan semata-mata berarti sui compos tetapi menyangkut suatu keadaan tidak sadar dalam hubungannya dengan beratnya perbuatan kemauan yang menuntut keterlibatan semur hidup. Seseorang bisa menjadi tidak mampu menggunakan akalbudi secukupnya untuk kesepakatan nikah oleh karena cacat permanen, seperti penyakit mental atau oleh karena cacat sementara. Misalnya gangguan mental sementara yang serius karena diracui oleh obat atau alkohol dan sebagainya. Jika yang mengakibatkan tidak mampu menggunakan akal secukupnya adalah sesuatu yang permanen seperti penyakit mental tetap. Hal itu menyebabkan cacat berat dalam pembentukan pandangan dan bahkan bagi yang menderita dia tidak akan mampu memenuhinya.
Kan. 1095 no. 2
Supaya orang bisa menikah dengan sah, selain mengetahui apa yang sedang dilakukan kini dan disini, orang itu juga harus mampu mengerti kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan dan memilihnya dengan bebas dan bertanggungjawab. Untuk itu dituntut kemampuan tertentu dalam membentuk pandangannya tentang kewajiban perkawinan. Pembentukan pandangan ini adalah kemampuan kodrati yang memungkinkan seseorang untuk membuat penilaian evaluatif yakni tidak hanya mengetahui sesuatu tetapi juga kewajiban atau rentetan perbuatan yang diakibatkan bagi dia sendiri dan kemudian setelah menimbang-nimbang soal itu memilih dengan bebas untuk bertindak.
Kita harus ingat bahwa dalam tindakan manusiawi manapun pikiran dan kehendak saling bekerjasama. Pikiran memahami suatu obyek apa itu dan membentuk pemahaman atas obyek itu lewat kemampuan kognitif. Jika timbul minat untuk memiliki obyek itu, lalu pikiran di bawah pengawsan kehendak, mulai membuat penilaian evaluatif tentang obyek itu. Kemudian mengolah apa yang menjadi dampak dari pilihan itu, apakah akan memengaruhi hidupnya, apa yang akan diakibatkan, kewajiban apa yang ditimbulkan dan sebagainya.
Jika seseoarang menjadi dewasa, biasanya dia mendapatkan kemampuan membentuk pandangan ini. Pembentukan pandangan dapat menjadi cacat karena ketidakdewasaan. Karena penyakit psikis tertentu yang mengganggu proses penilaian itu atau karena cacat kepribadian yang begitu memengaruhi seorang sehinga dia tidak mampu menegaskan penilaian. Kebebasan untuk memilih dapat secara serius terpengaruh oleh penyakit psikis tertentu dan membuat seseorang hanya mengikuti dorongan irasional yang tidak terkontrol. Kan. 1095 no.2 tidak berbicara tentang tidak adanya sama sekali kemampuan membentuk pandangan tetapi adanya cacat serius yang menyangkut hak-ha dan kewajiban-kewajiban perkawinan. Apa itu cacat serius harus dinilai seimbang dengan apa itu perkawinan yakni keterlibatan seumur hidup yang tak bisa dibatalkan (communio totius vitae).
Sehubungan dengan ketidakdewasaan, telah ditunjukkan bahwa dalam menangani perkara-perkara semacam itu suasana hidup mempelai harus diperhitungkan juga, sebab beberapa unsur ikut memengaruhi. Misalnya sejarah, latarbelakang keluarga, kepercayaan religius mempunyai pengaruh kuat atas seseorang dan dapat menghalangi pemahaman hak dan kewajiban perkawinan.
Kan 1095 no 3
Jika seseorang menikah dia diandaikan mampu memikul kewajiban-keajiban hakiki perkawinan. Tetapi bisa terjadi bahwa seseorang walau mampu menyadari apa yang menjadi kewajiban-kewajiban hakiki dan apa dampaknya, tidak mampu memenuhi atau mengemban kewajiban-kewajiban itu. Bukan karena jahat tetapi karena ada cacat dalam kepribadiannya. Maka kan 1095, no. 3 menegaskan bahwa mereka yang karena alasan-alasan yang bersifat psikologis tidak mampu memikul kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan, tidak mampu melaksanakan perkawinan.
Ungkapan karena alasan-alsan psikis bersifat terbuka, maksudnya memberi kesempatan berkembang bagi penafsiran kanonik dan iursiprudensi. Iurisprudensi Rota Romana telah memilih beberapa kewajiban hakiki perkawinan yang mungkin ditolak oleh salah satu atau kedua mempelai karena adanya kelainan psikis yang serius (bdk. A. Mendoça, Psychopatic Personality and the Nullity of Marriage, studia Canonica, 1982, p. 101-102):
a. Hak dan kewajiban persetubuhan,
b. Kelanggengan hak dan kewajiban persetubuhan,
c. Ekslusivitas hak dan kewajiban persetubuhan,
d. Hak dan kewajiban untuk bersetubuh mensura normali et moho humani,
e. Hak dan kewajiban untuk kesejahteraan fisik anak sejak di dalam kandungan,
f. Hak dan kewajiban untuk pendidikan rohani dari anak,
g. Hak dan kewajiban untuk membangun hubungan pribadi (communio viate),
h. Kelanggengan dan eksklusivitas dari hak dan kewajiban atas communio vitae.
Kesimpulan
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban di atas adalah apa yang dituntut untuk membangun dan mendukung persekutuan hidup suami-isteri (communio totius vitae). Maka seseorang harus mampu membangun hubungan antar pribadi mengusahakan kebaikan pasangannya (bonum coniugum), menjadikan perbuatan persetubuhan norma dan manusiawi untuk dirinya untuk melahirkan anak dan dengan cara yang wajar mengusahakan pengembangan fisik dan rohani anak-anak (bonum proli) serta menaati kesetiaan suami-isteri (bonum fidei).
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.