Diabolical Possession dan Eksorsisme:
Ketentuan Kitab Hukum Kanonik dan Penegasan Magisterium Lebih Lanjut
RD. Rikardus Jehaut
Pendahuluan
Tentang eksorsisme, seorang rekan muda, dalam sebuah kesempatan, menyergap saya dengan aneka pertanyaan demikian: Apa sebetulnya eksorsisme itu? Bagaimana membedakan diabolical possession dari penyakit psikologis? Mengapa hanya imam (tertentu) saja yang dapat melakukan eksorsisme publik (exorcismus publicus)? Mengapa perlu ada izinan dari Uskup Diosesan? Bagaimana tata caranya dan hal-hal penting apakah yang harus diketahui sebelum melakukan eksorsisme? Bagaimana Kitab Hukum Kanonik mengatur hal ini? Ingatan akan si imam muda yang simpatik dan cerdas itu menggerakan saya untuk menulis kendati mungkin apa yang dikedepankan disini tidak ada sesuatu yang baru sama sekali, khususnya bagi mereka yang telah lama berkecimpung dalam eksorsisme. Jika tulisan kecil ini membantu pemahaman kita tentang apa itu eksorsisme dan bagaimana hal itu ditegaskan dalam ajaran resmi Gereja sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik maupun dalam beberapa penegasan doktrinal Magisterium lebih lanjut, maka maksud tulisan ini sudah tercapai.
Apa itu Eksorsisme?
Secara etimologis, eksorsisme berasal dari kata Latin exorcizare, yang berarti mengusir atau menghalau setan. Kata benda exorcismus berarti pengusiran atau penghalauan setan (bdk. L. Castiglioni, Vocabolario della Lingua Latina, Loescher Editore, Torino 2014, hlm. 472). Dalam Gereja Katolik, eksorsisme dipahami sebagai tata cara pengusiran roh jahat dengan menyebut nama Allah (bdk. V. P. Pinto, Commento al Codice di Diritto Canonico, Urbaniana University Press, Roma 1985, hlm. 683 ; bdk. R. E. Jenkins., «Exorcismo», dalam Diccionario General de Derecho Canónico 3, Pamplona 2012, hlm. 856-860).
Eksorsisme termasuk dalam kategori sakramentali, yaitu tanda-tanda suci (signa sacra) yang diadakan atau dibentuk oleh Gereja melalui mana dengan cara yang mirip sakramen memberikan efek, terutama spiritual, bagi yang menerimanya dengan perantaraan Gereja (bdk. KHK kan. 1166; Sacrosanctum Concilium, n. 60). Penting untuk disadari bahwa efektivitas spiritual yang dihasilkannya bukan hanya karena disposisi dari eksorsis maupun orang yang kerasukan, melainkan terutama dari doa-doa yang dilambungkan oleh Gereja kepada Allah sebagai pengantara. Dengan kata lain, sebagai tanda suci, eksorsisme mengandung daya efektifnya ex opera operantis Ecclesiae, artinya melalui doa-doa Gereja. Dan hal ini harus selalu dikondisikan seturut kehendak Allah sendiri oleh karena Allah sendirilah yang menentukan efektivitas dari doa-doa yang dipanjatkan oleh eksorsis melalui dan di dalam Gereja.
Praktek eksorsisme memiliki dasar iman dari kuasa yang diberikan Yesus kepada para muridNya melawan kuasa jahat (bdk. Mat 3,14-15; Luk 9,1). Dapat juga dikatakan bahwa Yesus memberikan eksorsisme kepada Gereja-Nya sebagai senjata paling efektif untuk membebaskan manusia dari setan dan pengaruh-pengaruhnya yang menguasai manusia.
Tradisi Gereja
Ritus pengusiran setan, yang berakar dalam tradisi Gereja dan berkembang dewasa ini, merupakan bagian yang menyatu dengan pewartaan Gereja perdana. Rumusan dan tata gerak eksorsis di dalam Gereja perdana merupakan seruan di dalam nama Yesus yang bangkit, satu-satunya yang menang atas iblis (bdk. Mrk 16,17; Kis 19:12), atas komando Yesus (Kis 15, 16; 16-18) dan meletakan tangan atasnya, meneyentuh hidung dan telinga dengan lidah serta mengurapinya dengan minyak.
Pada awal abad ke-3, sebagaimana ditemukan dalam dalam Traditio Apostolica dari Hippolitus tahun 235 (Bdk. Pseudo-Ippolito, Tradizione Apostolica, diterjemahkan oleh E. Peretto, Città Nuova, Roma 1996; P. Sorci, Gesti e attegiamenti nel rito degli esorcismi, hlm. 924), Gereja sudah memiliki unsur-unsur dari ritus eksorsisme dalam pembaptisan. Ritus ini dibuat pada persiapan terakhir menjelang pembaptisan para calon baptis di mana mereka harus menjalani eksorsisme setiap hari lewat penumpangan tangan. Pada kesempatan itu, Uskup juga hadir untuk menumpangkan tangan atas calon baptis sekaligus mengusir setan
Dalam dokumen Testamentum Domini terdapat doa permohonan kepada Allah yang dipimpin oleh Uskup untuk menjauhkan jiwa-jiwa dari setiap penyakit dan penderitaan, kebimbangan dan keacuhan, roh jahat dan takhyul serta semua hal yang dapat membawa seseorang kepada kematian. Dokumen ini juga memuat fenomena kerasukan roh jahat seperti keributan yang luar biasa, jeritan dan tangisan, kebencian terhadap langit dan kertakan gigi (Bdk. I. Rahamani, ed. Testamentum Domini, Mainz 1899)
Teks-teks eksorsisme baru ditemukan pada awal abad ke-8 dalam buku Sacramentario Gelasiano yang memuat doa pembebasan dari setan bagi super electos, yakni para anggota yang hendak bergabung dengan Gereja dan eksorsisme bagi orang yang kerasukan roh jahat. Dalam ritus tersebut, mulut dan telinga para baptisan disentuh dengan minyak eksorsisme (oleum exorcitatum) agar dibebaskan dari pengaruh roh jahat dan mampu mendengarkan dan mewartakan Sabda Allah. Selain itu, teks eksorsisme juga ditemukan dalam buku Pontificale Romane-Germanico (Bdk. P. Sorci, Gesti e attegiamenti nel rito degli esorcismi, hlm. 925) yang memuat formula yang disampaikan oleh imam sambal menandai pancaindera dan bagian tubuh umat dengan tanda salib: “Accipe signum crucis in manu dextra tua. Benedico oculos tuos ut videas claritatem eius. Signo omnia membra tua ut ab ipsis expellatur diabolus qui laedit omnem carnem” (Artinya: Terimalah tanda salib di tangan kananmu. Terberkatilah matamu agar bisa melihat kemulian-Nya. Aku menandai semua bagian badanmu, agar mengusir iblis yang menjadi penyebab segala kehancuran daging).
Perkembangan formula eksorsisme memuncak pada abad ke-16-17. Dokumen resmi Gereja terkait eksorsisme terdapat dalam Rituale Romanum –nya Paus Paulus V pada tahun 1614 yang diedit kembali pada tahun 1952. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah liturgi hadir sebuah dokumen yang menelaah sebuah ritus eksorsisme secara lengkap. Dalam ritus tersebut ditegaskan bahwa setiap imam, khususnya pastor paroki, dapat menjalankan eksorsisme. Dokumen ini memuat beberapa hal fundamental, seperti: (1) setiap kasus harus diteliti dengan seksama supaya dapat dibedakan antara kerasukan roh jahat dari penyakit lain; (2) imam yang menjalankan eksorsisme haruslah seorang yang saleh, hidup tak bercela, arif, berani, rendah hati, dan harus memiliki persiapan diri yang matang lewat devosi, mortifikasi, doa dan puasa; (3) imam yang bersangkutan juga diminta untuk menghindari diri dari setiap bentuk takhyul dan membiarkan para medis menangani penyakit-penyakit fisik; (4) imam yang bersangkutan harus menasehati yang kerasukan setan agar melengkapi dirinya dengan doa, puasa, pengakuan dan penerimaan komuni kudus serta menyerahkan diri pada kebaikan dan kehendak Allah; (5) eksorsisme harus dilakukan di Gereja atau tempat-tempat kudus lainnya dan jika ada alasan lain yang wajar dan masuk akal, dapat juga dijalankan di rumah pribadi dan dihadiri oleh beberapa saksi; (6) imam yang menjalankan eksorsisme harus berhati-hati terhadap taktik licik setan dan karena itu doa dan permohonan harus disampaikan dengan penuh iman, kerendahan hati dan secara terus menerus dengan penuh kesadaran dan otoritas; (7) selama eksorsisme berlangsung, sakramen Maha Kudus tidak boleh diletakan di dekat tubuh orang yang kerasukan demi menghindari kemungkinan adanya perilaku yang kurang sopan, sementara itu, salib, air suci, relikwi orang kudus tertentu dapat digunakan dalam pengusiran setan tersebut; (8) eksorsisme dapat dilakukan berulang kali jika setan tidak dapat diusir; (9) imam yang melakukan pengusiran setan harus memakai jubah dan stola ungu.
Kitab Hukum Kanonik 1917
Penegasan Gereja terkait eksorsisme kemudian dituangkan secara normatif dalam Kitab Hukum Kanonik. Dalam KHK 1917, eksorsisme ditempatkan di bawah judul sakramentali (de sacramentalibus). Ada beberapa kanon yang mengatur tentang eksorsisme.
Pertama, Kan. 1151. Dalam §1 ditegaskan bahwa: “Nemo, potestate exorcizandi praeditus, exorcismos in obsessos proferre legitime potest, nisi ab Ordinario peculiarem et expressam licentiam obtinuerit”. Ketentuan normatif ini menegaskan bahwa tak seorangpun yang memiliki kekuatan untuk melakukan eksorsisme dapat menggunakan kekuatan itu secara sah jika ia belum memperoleh izinan khusus dan eksplisit dari Ordinaris. Norma kanon ini membedakan antara klerikus yang memperoleh kekuatan untuk melakukan eksorsisme dari klerikus yang dapat menggunakan kekuatan itu. Kendati ada perbedaan pandangan, namun pada umumnya para ahli kanon klasik berpendapat bahwa Ordinaris yang dimaksudkan di sini adalah Ordinaris Lokal, casu quo Uskup Diosesan dan bukan semua Ordinaris (Bdk. F. X. Werns- P. Vidal, Ius Canonicum. Sacramenta, sacramentalia, Cultus divinus, Coementeria et Sepultura ecclesiastica 4, Romae 1934, hlm. 403).
Dalam §2 ditegaskan bahwa: “Haec licentia ab Ordinario concedatur tantummodo sacerdoti pietate, prudentia ac vitae integritate praedito; qui ad exorcismos ne procedat, nisi postquam diligenti prudentique investigatione compererit exorcizandum esse revera a daemone obsessum”. Intinya bahwa izinan dari Ordinaris hanya dapat diberikan kepada imam yang suci, bijaksana dan memiliki integritas hidup. Juga diingatkan bahwa imam yang menjalankan eksorsisme, tidak boleh mengumumkan eksorsisme sebelum dipastikan melalui penyelidikan yang bijaksana dan hati-hati apakah seseorang itu benar-benar kerasukan atau tidak.
Kedua, Kan. 1152. Dalam kanon ini dinyatakan bahwa: “Exorcismi a legitimis ministris fieri possunt non solum in fideles et catechumenos, sed etiam in acatholicos vel excommunicatos”. Hal itu berarti cakupan ritus pengusiran setan tidak hanya terbatas pada umat beriman dan para katekumen, melainkan juga kepada orang-orang bukan Katolik, termasuk bagi yang sudah mendapat hukuman ekskomunikasi.
Ketiga, Kan. 1153. Kanon ini berbicara tentang pelayan: “Ministri exorcismorum qui occurrunt in baptismo et in consecrationibus vel benedictionibus, sunt iidem qui eorundem sacrorum rituum legitimi ministri sunt”. Artinya, pelayan eksorsime yang dijalankan dalam baptisan, konsekrasi-konsekrasi dan pemberkatan-pemberkatan adalah para klerikus yang secara sah melaksanakan ritus-ritus tersebut.
Kitab Hukum Kanonik 1983
Pada prinsipnya, apa yang dinyatakan dalam Kodeks 1917, ditegaskan kembali dalam Kodeks 1983. Kodeks baru ini, juga menempatkan tema eksorsisme di bawah judul sakramentali sekalipun hanya dalam satu kanon, yakni kan. 1172: “§ 1. Nemo exorcismos in obsessos proferre legitime potest, nisi ab Ordinario loci peculiarem et expressam licentiam obtinuerit; § 2. Haec licentia ab Ordinario loci concedatur tantummodo presbytero pietate, scientia, prudentia ac vitae integritate praedito”. Ketentuan normatif ini memuat beberapa perubahan yang sangat signifikan:
Pertama, eksorsisme merupakan sesuatu yang sangat pelik dan karena itu tak seorangpun dapat dengan legitim melakukan eksorsisme terhadap orang yang kerasukan, kecuali telah memperoleh izin khusus dan jelas (bukan sesuatu yang diandaikan) dari Ordinaris Lokal. Ordinaris yang dimaksudkan disini adalah Uskup Diocesan. Dengan demikian, wewenang seperti ini tidak dimiliki oleh ordinaris lain, seperti vikjen, vikep atau ordinaris religius.
Kedua, Imam yang diberi izinan untuk melakukan ekorsisme harus memiliki beberapa syarat tertentu. Ia harus seorang yang unggul dalam kesalehan, pengetahuan, kebijaksanaan dan integritas hidup. Kesalehan (pietate) dituntut karena diyakini bahwa roh jahat memiliki kekuatan yang besar terhadap manusia. Oleh karena, izinan ini hanya diberikan kepada seorang imam yang bobot kehidupan rohaninya lebih dari para imam lain. Pengetahuan (scientia) dituntut karena dalam menjalankan pelayanan seperti ini, ia harus memiliki kemampuan untuk membedakan orang yang kerasukan setan dari orang yang mengidap gangguan kejiwaan serta mampu membaca tanda-tanda orang yang dikuasai atau kerasukan roh jahat. Di samping itu, ia juga harus memiliki sikap bijaksana (prudentia) dan memiliki integritas hidup (vita integrita).
Ketiga, kuasa yang didelegasikan kepada imam tertentu ini hanya terbatas pada eksorsisme yang bersifat publik dan resmi. Eksorsisme yang bersifat sederhana pada saat pembaptisan atau upacara sakramentali lainnya dapat dilakukan oleh semua klerus. Apa yang membedakan eksorsisme publik dan resmi dari yang sederhana tidak lain bahwa yang pertama membutuhkan pengangkatan yang legitim dan langsung dari Uskup Diosesan, sedangkan yang kedua tidak membutuhkan pengangkatan resmi dan tidak ada perintah langsung dalam atau dengan nama Kristus kepada setan untuk keluar dari manusia atau obyek tertentu.
Penegasan Magisterium Lebih Lanjut
Dalam perkembangan selanjutnya, apa yang digariskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 menyangkut eksorsisme ditegaskan kembali oleh Magisterium Gereja sebagaimana tertuang dalam berbagai dokumen resmi Gereja berikut ini:
Epistula “Inde ab aliquod”
Pada tanggal 29 September 1985, Kongregasi bagi Doktrin Iman melakukan intervensi doktrinal untuk mencegah penggunaan rumus-rumus eksorsisme utama sebagai kultus pribadi dalam pertemuan umat beriman, dipanggil untuk berdoa menggunakan formula pengusiran Leo XIII yang terkandung dalam Ritual Roman Tridentine berkaitan dengan praktek eksorsisme (Bdk. Kongregasi bagi Doktrin Iman, Epistula Inde ab aliquod annis ordinariis locorum missa: in mentem normae vigentes de exorcismis revocantur, dalam AAS 77 (1985) hlm. 1169- 1170). Intervensi ini dibuat sebagai tanggapan terhadap meningkatnya praktek sekelompok umat yang dibentuk untuk berdoa bagi pelepasan dari pengaruh setan kendatipun mereka tidak melakukan eksorsisme yang sesungguhnya. Kelompok umat ini sering dipimpin oleh kaum awam, bahkan ketika ada seorang imam yang hadir. Berhadapan dengan hal tersebut, Kardinal Ratzinger, Prefek Kongregasi bagi Doktrin Iman pada waktu itu, memberikan beberapa penegasan:
Pertama, seturut ketentuan norma kanon 1172, tak seorangpun dapat dengan licit melakukan eksorsisme kepada mereka yang kerasukan (obsesses), kecuali ia telah memperoleh izin khusus dan resmi dari Ordinaris Lokal dan bahwa izinan tersebut harus diberikan hanya kepada para imam yang menunjukkan kesalehan, pengetahuan, kebijaksanaan dan integritas hidup yang luar biasa. Para Uskup sangat didorong untuk menaati pelaksanaan ketentuan-ketentuan ini.
Kedua, dalam terang norma yang sama ini (kan. 1172), maka umat beriman Kristiani tidak boleh menggunakan rumusan eksorsisme melawan setan dan para malaikat yang jatuh dalam dosa (fallen angels) yang disebutkan dalam rumusan tersebut yang disusun secara resmi atas perintah Paus Leo XIII, dan sama sekali tidak diperbolehkan menggunakan keseluruhan teks eksorsisme itu. Para Uskup diminta untuk mengingatkan umat beriman tentang hal ini.
Ketiga, para Uskup diminta untuk menjaga agar mereka yang tidak diberi wewenang yang legitim dari otoritas Gereja tidak berusaha memimpin jemaat di mana di dalamnya doa-doa didaraskan untuk memperoleh pelepasan dari roh jahat dan dalam prosesnya roh-roh jahat tersebut diinterogasi untuk mencari tahu identitasnya. Hal ini dilakukan pada kasus-kasus di mana meskipun mereka tidak melakukan eksorsisme dalam arti yang sesungguhnya, namun demikian terlihat sepertinya menyatakan pengaruh roh jahat.
Keempat, beberapa penegasan di atas tidak harus menghentikan umat beriman Kristiani untuk berdoa, sebagaimana diajarkan Yesus, agar mereka dibebaskan dari yang jahat (bdk. Mat 6:13). Lebih dari itu, para gembala jiwa harus menggunakan kesempatan ini untuk mengingat umat beriman sebagaimana diajarkan dalam tradisi Gereja menyangkut peran penting doa syafaat Perawan Maria yang Terberkati, para Rasul dan Orang Kudus, bahkan di dalam pergumulan rohani orang-orang Kristen melawan roh-roh jahat.
Jika dicermati secara seksama terlihat bahwa intervensi doktrinal yang muncul setelah dua tahun promulgasi KHK 1983 di atas menegaskan kembali norma kanon 1172 yang secara eksplisit menegaskan bahwa Ordinaris Lokal adalah subyek yang memberikan izinan kepada imam untuk melakukan eksorsisme. Intervensi doktrinal ini hendak mengingatkan posisi Uskup sebagai moderator dan penjaga seluruh kehidupan liturgi keuskupan (bdk kan. 835 §1) dan karena itu mereka ingatkan bahwa Uskup setempat adalah orang yang harus menjaga ketaatan terhadap disiplin saat ini, mencegah awam memimpin pertemuan doa dengan rumusan eksorsisme bahkan jika hal itu bukan eksorsisme dalam arti yang tegas, dan bahwa umat Allah dilatih dengan menggunakan media lain sebagai alat perjuangan melawan roh-roh jahat.
Rituale “De Exorcismis”
Dokumen lain berkaitan dengan eksorsisme adalah De Exorcismis et supplicationibus quibusdam (Bdk. Kongregasi Sakramen dan Ibadat Ilahi, Rituale De Exorcismis et supplicationibus quibusdam, dalam “Notitiae” 35, 1999, hlm. 137-150). Dokumen ini disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 1 Oktober 1998 dan dipromulgasikan pada tanggal 22 November 1998. De Excorcismis adalah buah refleksi yang mendalam atas ketetapan Vatikan II dan Kodeks 1983. Dokumen ini menetapkan tata cara liturgis yang baru menyangkut eksorsisme. Meskipun ritual baru ini menggantikan apa yang ditemukan dalam Rituale Romanum Paus Paulus V tahun 1614, dengan revisi kecil pada tahun 1925 dan 1952, Uskup Diosesan boleh mengajukan petisi kepada Kongregasi Ibadat dan Sakramen untuk mengizinkan penggunaan ritus lama.
Prenotanda dari ritus baru ini menyimpulkan dengan sangat jelas berbagai norma yang mengatur eksorsisme. Kanon 1172, par. 2 menegaskan bahwa Ordinaris Lokas dapat memberikan izin hanya kepada imam untuk mengadakan eksorsisme. Ordinaris Lokal harus memberikan izinan yang khusus dan jelas. Prenotanda menyatakan bahwa seturut aturan, hanya uskup diosesan yang dapat memberikan izinan tersebut dan bukan Ordinaris lain. Prenotanda juga menegaskan secara eksplisit bahwa izinan tersebut hanya diberikan kepada imam yang memiliki piety, knowledge, prudence dan integrity of life. Prenotanda menambahkan bahwa imam tersebut harus menjalankan persiapan khusus untuk menjadi eksorsis (Bdk. Prenotanda n. 13). Kendatipun Kitab Hukum Kanonik mampun Prenotanda berbicara tentang imam sebagai eksorsista, tampak jelas bahwa dari konteks hal itu tidak mengecualikan para uskup.
Sikap hati-hati dan bijaksana mendominasi pernyataan dalam Prenotanda. Dalam kasus yang disebut kerasukan setan, seorang eksorsis pertama-tama harus melatih hal-hal yang diperlukan dan hati-hati serta bijaksana. Pada tempat pertama, ia tidak boleh terlalu cepat percaya seseorang yang tertimpa penyakit, khususnya penyakit mental, adalah korban kerasukan setan. Demikian juga, ia seharusnya tidak segera percaya bahwa kerasukan terjadi segera setelah seseorang menegaskan bahwa dia dengan cara yang khusus dicobai oleh iblis, ditinggalkan, atau sungguh-sungguh disiksa, oleh karena orang dapat tertipu oleh imaginasi mereka sendiri. Ia juga tidak boleh disesatkan oleh tipu muslihat yang digunakan iblis untuk mengelabui manusia bahwasanya yang kerasukan setan tidak harus menjalani eksorsisme oleh karena penderitaan yang dialaminya disebabkan oleh penyakit fisik tertentu yang membutuhkan perawatan medis. Di samping itu, seorang eksorsis harus mengunakan setiap sarana untuk menyelidiki secara akurat entakah pernyataan orang yang menjadi korban siksaan iblis adalah sungguh-sungguh benar (Bdk. Prenotanda n. 14). Untuk itu, seorang eksorsis harus sesegera mungkin berkonsultasi dengan para ahli di bidang spiritual dan, sesuai dengan kebutuhan, juga ahli di bidang kesehatan dan psikologi yang memiliki awareness terkait hal-hal spiritual (Bdk. Prenotanda, n. 17).
Menurut praktik yang diakui, hal-hal berikut ini dianggap sebagai tanda-tanda dari adanya diabolical possession, yakni ucapan yang diperluas dalam bahasa yang tidak dikenal, atau kemampuan untuk memahami ucapan seperti itu; kekuatan untuk mengungkapkan apa yang jauh dan tersembunyi; kekuatan fisik yang ditampilkan melebihi kemampuan manusia biasa pada umumnya. Tanda-tanda ini dapat memberikan beberapa indikasi. Namun mengingat bahwa tanda-tanda semacam ini tidak serta merta dianggap sebagai yang berasal dari yang jahat, maka perhatian harus diberikan kepada faktor-faktor lain, terutama bidang moral dan spiritual, yang dapat dengan cara berbeda menjadi bukti adanya intrusi setan. Sebagai contoh, penolakan yang keras terhadap Allah, Nama Yesus yang suci, Perawan Maria Yang Terberkati dan Para Orang Kudus, Firman Allah, hal-hal suci, upacara-upacara suci (khususnya yang bersifat sakramental) dan gambar-gambar suci. Seorang eksorsista dituntut untuk mempertimbangan semua hal ini secara cermat mengingat bahwa semua tanda berhubungan dengan iman dan perjuangan spiritual dalam kehidupan Kristen. Hal ini penting karena memang, the Evil One, di atas segalanya, adalah musuh Allah dan musuh semua orang yang menyatukan umat beriman kepada karya penyelamatan Allah (bdk. Prenotanda, n. 16)
Di dalam dokumen tersebut juga dibuat perbedaan antara eksorsisme sederhana dan eksorsisme mulia-publik dan menekankan kejayaan kuasa Kristus atas penyakit dan atas setiap bentuk kejahatan. Kuasa itu diserahkan kepada para rasul dan para pengganti mereka. Oleh karena itu, eksorsisme harus dilaksanakan oleh imam yang ditentukan secara khusus oleh Uskup dan tidak dapat dipisahkan dari pewartaan Sabda Allah. Dokumen itu juga menegaskan kembali bahwa otoritas yang berhak memberikan izinan bagi seorang imam untuk melakukan eksorsisme adalah Uskup Diosesan: “qui pro norma Episcopus ipse diocesanus erit” (Prenotanda n.13). Implikasi yuridisnya adalah bahwa Vikaris Jendral dan Vikaris Episkopal tidak memiliki wewenang untuk memberikan izinan kepada seorang imam untuk melakukan eksorsisme publik kecuali ada mandat khusus yang diberikan oleh Uskup Diosesan untuk melakukan hal tersebut.
Dokumen ini juga menegaskan bahwa seorang imam yang diangkat sebagai eksorsis, baik untuk jabatan yang tetap atau untuk kasus tertentu saja (ad actum) harus melakukan tugasnya dibawah otoritas yang diberikan oleh Uskup Diosesan dan tunduk kepada keputusannya dalam kasus yang paling sulit (bdk. Prenotanda, n. 18).
Selain itu, ditegaskan pula bahwa seorang eksorsis harus menghindari all publicity and segala sesuatu yang berbau sensationalism. Berkaitan dengan hal ini, di satu sisi, sikap bijaksana menuntut bahwa ia menghadirkan beberapa saksi yang dipilih dengan cermat dan dapat dipercaya, yang harus menjaga kehati-hatian dengan tidak menyebarluaskan informasi terkait eksorsisme yang telah dilakukan. Dan sisi lain, ia harus mampu dengan satu dan lain cara untuk tidak memberikan kesempatan kepada media apapun untuk meliput atau menyebarluaskan berita terkait eksorsisme yang telah dilakukan (bdk. Prenotanda, n. 19).
Instructio ”Ardens Felicitatis”
Pada tanggal 14 September 2000, Kongregasi bagi Doktrin Iman mengeluarkan instruksi Ardens Felicitatis yang berbicara tentang doa kepada Allah untuk memperoleh penyembuhan dari penyakit (Bdk. Kongregasi bagi Doktrin Iman, Instructio“Ardens Felicitatis” de orationibus ad obtinendam a Deo sanationem», dalam “Notitiae” 37 (2001) hlm. 20-34). Instruksi ini memberikan beberapa penegasan antara lain bahwa pelayanan pengusiran setan harus dilakukan sub stricta dependentia, dibawah ketergantungan yang erat dengan Uskup Diosesan (Bdk. Ardens Felicitatis, Art. 8, §1).
Juga ditekankan bahwa doa penyembuhan dari rumusan ritual eksorsisme harus dibedakan, baik dalam perayaan untuk memperoleh kesembuhan publik atau pribadi (Bdk. Ardens Felicitatis, Art.§2). Di samping itu, Instruksi ini juga melarang keras memasukkan doa-doa ritual eksorsisme dalam perayaan Ekaristi, sakramen dan doa offisi (Art. §3)
Penutup
Eksorsisme publik yang dijalankan oleh Gereja bukanlah sebuah ilmu magis melainkan sebuah real battle melawan iblis. Setan dan semua roh jahat lain serta kegiatanya memiliki kekuatan destruktif yang dapat membuat seseorang kerasukan dan menarik manusia keluar dari jalan keselamatan yang ditawarkan Allah. Setan menipu dan mengacaukan manusia dengan berbagai cara termasuk menyalahgunakan kebaikan-kebaikan superfisial, namun hal ini tidak perlu mengherankan kita sebab iblis pun dapat menyabar sebagai malaikat Terang (bdk. 2Kor 11,14). Dalam hubungan dengan kasus kerasukan, roh jahat yang beraksi bukanlah roh sembarangan, melainkan sungguh-sungguh iblis lebih besar dari kita dan dengan demikian memiliki kekuatan lebih kuat dari pada kekuatan manusiawi biasa. Di sisi lain, kita percaya bahwa kekuatan diabolikal, sekuat apapun itu, dapat dipatahkan dengan kuasa Kristus.
Gereja adalah mempelai Kristus, dan oleh Dia juga maka Gereja diberi kekuatan ilahi melalui diri para pelayannya. Melalui eksorsisme publik tampak hubungan yang erat antara Kristus dan Gereja-Nya. Berbeda dengan doa pembebasan roh, yang merupakan permohonan kepada Allah agar melindungi manusia dan membebaskannya dari iblis dan kejahatannya, dan hal ini dapat didoakan oleh semua umat beriman, eksorsisme publik merupakan sebuah terapi langsung dan khusus pada kerasukan iblis. Di dalamnya sebuah perintah yang terus menerus, yang disampaikan atas nama Allah pada iblis, agar berhenti melakukan aktivitas di sebuah tempat, pada orang atau hal tertentu. Perintah ini adalah sebuah komando untuk mengusir iblis diatas nama Yesus Kristus: “Dalam nama Yesus Kristus, aku memerintahkan kamu untuk keluar dari dia” (Kis 16,18). Kepada iblis, kita tidak boleh meminta apa-apa, melainkan memerintahkannya untuk keluar, meninggalkan tempatnya dan menyerahkannya kepada Kristus.
Dan dalam Gereja Katolik eksorsisme publik dijalankan menurut tata cara yang ditentukan dalam ritus pengusiran setan. Dan hal tersebut hanya dapat dijalankan secara legitim oleh imam eksorsis yang karena kesalehan, pengetahuan, kebijaksanaan, integritas hidup dan kelayakannya, mendapat izinan secara khusus dari Uskup Diosesan. Izinan itu diperlukan karena tata cara pengusiran setan dilakukan in an authoritative manner, artinya dijalankan dengan persetujuan pimpinan wilayah Gereja Lokal dimana orang yang kerasukan setan itu berada dan dalam ketergantungan erat dengan Uskup Diosesan. Izinan juga diperlukan karena sebelum eksorsisme dilakukan, harus ada kepastian bahwa sekarang ini Gereja sedang berhadapan dengan sebuah kasus obyektif kerasukan setan dan bukan kasus penyakit yang berasal dari kelemahan psikologis, depresi, dan lain sebagainya.
Sambil bersyukur bahwa dalam Gereja ada eksorsisme, sebagai umat beriman kita perlu waspada untuk tidak jatuh pada dua ekstrim yang sama-sama berbahaya ketika kita dihadapkan dengan kekuatan iblis: menyepak jauh-jauh dari tempurung kepala terkait keber-ada-annya atau membangun rasionalisasi praduga yang mengabaikan secara apriori segala bentuk intervensi iblis di dunia. Sikap hati-hati dan bijaksana sangat dituntut. Di atas segalanya mencegah pengaruh iblis merasuki diri kita dengan membentengi diri dengan kehidupan rohani yang kuat lewat doa, tanda salib, pendarasan nama Yesus, dan terutama penerimaan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi dan Tobat.
Kredit Foto: http://www.filmweb.pl/film/
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.