Beranda KWI Kesaksian Luar Biasa dari Perjalanan Biasa-Biasa Pasutri Katolik di SAGKI 2015 (1)

Kesaksian Luar Biasa dari Perjalanan Biasa-Biasa Pasutri Katolik di SAGKI 2015 (1)

0
Kesaksian Luar Biasa dari Perjalanan Biasa-Biasa Pasutri Katolik di SAGKI 2015 (1)
Tiga Pasutri Katolik sedang memberi kesaksian sukacita keluarga katolik

TIGA pasangan Suami-Isteri Katolik mendapat kesempatan untuk memberi kesaksian di hadapan peserta Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2015 di Via Renata Puncak, Selasa (2/9). Dengan jujur dan tulus, Vincent- Vonny, pasutri yang berasal dari Keuskupan Agung Makassar, Fransiskus Saragih-Nurti Manurung, Pasutri dari Keuskupan Agung Medan, dan Hugo Taruk –Marlinda Tanti, pasutri dari Keuskupan Banjarmasin berbagi kisah  mereka yang luar biasa. Seperti apakah kesaksian luar biasa dari masing-masing pasutri, berikut kisahnya.

Pasutri Vincent- Vonny: “Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal”

Vonny, begitu ia biasa disapa, mengaku sangat bersyukur ketika ia diberikan oleh Tuhan seorang suami yang sehari-hari bekerja sebagai seorang wirausaha. Bukan  karena ia tahu, seorang wirausaha biasanya mudah sekali mendapat uang dalam jumlah yang besar. Apalagi, saat itu, sang suami yang sangat dicintainya, Vincent, sedang mujur di dunia usahanya. Bukan itu! Vonny tahu, ia sangat mencintai Vincent, suaminya, karena semangat juang sang suami. “Semua yang kami capai saat itu berkat jerih payah, cucuran keringat dan darah yang tidak sedikit,” kata Vonny mengenang kisah hidup bersama suaminya.

Menikah pada tahun 1998, Vonny yang berasal dari Makassar dan Vincent dari Tanah Toraja, mengaku tak bisa merasakan bulan madu perkawinan mereka dengan gembira. Waktu itu, baru setahun usia perkawinan, Vonny yang seorang dokter itu, mendapat surat perintah untuk pindah dan bekera di sebuah tempat yang sangat terisolir di wilayah Sulawesi Tengah. Dengan berat hati, pasutri muda itu terpaksa berpisah dan hidup berjauhan satu sama lain.

Di tempat tugas yang baru, Vonny sungguh merasa jauh dan kadang mengalami kesepian yang luar biasa. Ia merasa ada yang hilang dari hidupnya. Padahal, sebagai seorang dokter tentu hidupnya berkecukupan. Namun, semua itu dirasakannya tidak berarti apa-apa. Hampa! Hambar! Kadang muncul pemberontakan dari dalam dirinya. Ia bahkan bertanya-tanya dalam hati kecilnya, “Tuhan, rencana apa yang sesungguhnya yang sedang Engkau tetapkan kepada saya dan suamiku, Vincent?” Apakah Tuhan sungguh tidak mengerti, bahwa keluarga kami yang masih muda ini perlu dirawat dengan kedekatan di antara kami?”

Bukannya mendapat jawaban yang tepat atas pertanyaan tersebut. Vonny malah mendapat berita tentang kegiatan penggalangan dana pembangunan Gereja oleh umat Katolik di kota Palu. “Ini aneh,” katanya. Waktu itu, Vonny yang sedang mendapat tugas ke kota Palu mendengar, orang-orang Katolik yang ada di kota Palu sedang kesulitan mencari dana untuk pembangunan Gereja. Begitu mendapat berita seperti ini, Vonny langsung tergerak hatinya, dan ia dengan senang hati menyumbangkan sebagian uangnya untuk pembangunan gereja.  Vonny juga menyisihkan sebagian uang dari kerjanya sebagai seorang dokter untuk pembangunan sebuah sekolah Katolik yang dikelola oleh para suster.

Perlahan tapi pasti, Vonny mulai menemukan semangat di tempat kerja yang baru. Ia yang pada awalnya merasa terisolir dan sendirian, kini mulai menikmati suasana dan tempat kerja barunya. Kadang-kadang ibu dua anak itu lupa untuk mengontak suami dan anak-anak di Tanah Toraja. “Saking sibuknya saya, waktu itu saya bahkan tidak tahu kalau usaha budidaya tambak ikan milik suami saya sedang diambang kehancuran, suami saya pun tidak pernah menceritakan masalah usaha budidaya tambak ikan,”

Sampai pada suatu waktu, ketika usaha budidaya tambak ikan milik suaminya benar-benar hancur, saat itu Vonny baru mendengar beritanya.“Ma, usaha tambak ikan milik kita sudah hancur, saya tak lagi punya pekerjaan dan saat ini saya hanya bisa tinggal di rumah saja,” ungkap Vincent kepada Vonny.

Rasa kaget tapi juga sempat marah muncul ketika Vonny mendengar berita tersebut. Ia tidak mengerti, mengapa hal itu bisa terjadi. Tapi, sebuah keputusan justru datang di saat yang tidak tepat. “Saya harus kembali dan tinggal bersama dengan suami dan anak-anak saya,” kenang Vonny.

Keputusan itulah yang mendorong Vonny untuk segera mengajukan surat permohonan pindah dengan alasan tidak bisa tinggal berjauhan dengan keluarga. Namun, tidak mudah bagi Vonny untuk segera mendapat kepastian dari pimpinan dinasnya. Selain karena keterbatasan tenaga dokter di tempat kerjanya, tetapi juga karena Vonny tidak punya ‘orang dalam’ yang dapat membantu mempermudah kepindahannya. Orang-orang di sekitarnya pun mengatakan, jika Vonny akan dipersulit untuk pindah.

“Puji Tuhan, dua hari setelah saya mengajukan surat permohonan tersebut, saya langsung mendapat jawaban dari pimpinan di kantor,” ujar Vonny.

Sang suami, Vincent, ketika mendengar berita kepindahan isterinya, mengaku heran sekali. “Bagaimana mungkin jawaban atas permohonan pindah itu bisa diberikan oleh pimpinan di kantor secepat itu?”

Walau begitu, sebuah pekerjaan berat sudah menanti di hadapan Vonny. Ya, Vonny kembali untuk tinggal bersama dengan sang suami dan harus ikut membantu, menata kembali usaha sang suaminya.

Melewati hari-hari baru dengan kembali berada bersama seluruh anggota keluarga, tidak membuat hati Vonny selalu gembira. Di tengah kehilangan pekerjaan, emosi suaminya sering tidak stabil. Vincent cepat tersinggung dan mudah marah. Minder karena hanya Isterinya yang menghidupi ekonomi keluarga. Dengan sabar, Vonny terus mendampingi suaminya, memberi peneguhan dan kekuatan kepada suaminya agar bangkit kembali.

“Karena saya tahu, Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal,” itulah keyakinan yang dipegang Vonny, sehingga mampu membuat suaminya bersemangat lagi dan memulai usaha baru.

Selanjutnya: Kesaksian Pasutri Fransiskus dan Nurti Manurung

 

Editor: John L. Wujon