Pasutri Fransiskus Saragih- Nurti Manurung: “Lumpur pun bisa diubah jadi mutiara”
MESKI latar belakang pendidikan mereka hanya sebatas Sekolah Guru Pendidikan (SPG), pandangan dan harapan mereka tetap membumbung tinggi. Didukung oleh kemauan yang kuat dan disiplin tinggi, pasangan suami isteri Katolik yang dianugerahi empat putera ini sanggup menghantar tiga putera mereka menjadi pastor. Mereka adalah pasutri Fransiskus Saragi dan Nurti Manurung.
Berbagi kisah perjalanan hidup mereka di hadapan para Uskup, para Imam dan 369 peserta SAGKI, Selasa (3/9), Pasutri Fransiskus dan Nurti datang ditemani kedua putera mereka yang telah dithabiskan menjadi imam Katolik, yakni Ivan Saragi, OFM.Cap dan Fernandus Saragih. Satu putera mereka yang telah dithabiskan menjadi imam namun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan imamatnya, tidak bisa hadir di acara talkshow testimony sukacita keluarga Katolik SAGKI 2015.
Mundurnya salah satu putera mereka dari panggilan imamatnya diakui Fransiskus sangat menyedihkan bagi seluruh anggota keluarga. Berbagai cibiran dan sinisme datang bertubi-tubi dari orang-orang di sekitar keluarga Fransiskus. “Katanya sukses, tapi malah salah satu anak mereka yang telah dithabiskan malah keluar,” ujar Fransiskus mengulang kembali sinisme dari orang-orang di sekitarnya.
Walau sempat terpukul dengan peristiwa mundurnya salah satu putera mereka yang telah dithabiskan menjadi imam dan cemohan dari orang-orang sekitranya, pasutri Fransiskus dan Nurti tetap sabar dan menyerahkan peristiwa itu pada penyelenggaraan Tuhan.”Justru di dalam penderitaan seperti itu, saya dan Nurti terus berusaha untuk tetap bahagia.”
“Jadi lumpur, penderitaan yang kami terima, kami ubah menjadi mutiara kebahagiaan,” tegas Fransiskus.
Sederhana dan Kompak
Fransiskus tamat dari Sekolah Pendidikan Guru tahun 1971. Berselang tiga tahun kemudian, yakni tahun 1974, Nurti Manurung pun tamat dari sekolah yang sama. Perkenalan keduanya yang sudah berlangsung sejak di bangku SPG berlanjut pada keputusan untuk sehidup-semati. Pada masa-masa awal pernikahan, Fransiskus dan Nurti tinggal di sebuah rumah bambu dekat perkebunan di pinggiran sungai. Di rumah sederhana ini, sebelum akhirnya mereka pindah ke rumah yang dibangun BPPTN Sumatera Utara, Fransiskus dan Nurti menanamkan nilai-nilai kekatolikan kepada anak-anak. Jujur dan berdisiplin,berdoa bersama sebelum dan sesudah makan, bekerja bersama-sama dan rekreasi bersama selalu diusahakan oleh keluarga Fransiskus. Bahkan ada jadwal harian yang dibuat agar anak-anak tahu pasti apa yang harus dilakukan setiap hari.
Tinggal di rumah berukuran kecil dan sederhana dengan rutinitas harian yang terjadwal, demikian Fransiskus, “tidak kalah sibuk dan ramainya seperti orang-orang yang tinggal di kota metropolitan Jakarta. Betapa tidak. Saat bangun dari tidur pagi hingga kembali tidur malam, Fransiskus, Nurti dan anak-anak sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
Pastor Ivan mengakui, kesederhanaan dan disiplin yang ditanamkan kedua orang tua mereka sejak awal sangat bermanfaat bagi perjalanan hidupnya, baik di rumah, di sekolah dan terlebih di tempat ia berkarya sebagai seorang imam. Ivan yang kini berkarya di sebuah paroki di dekat danau Toba, Samosir masih ingat bagaimana kedua orang tuanya melatih dan mendidiknya agar hidup terarah dengan bekerja dan berdoa sesuai jadwal harian yang telah dibuat.
“Kebetulan waktu SD, bapa saya ini jadi guru saya, di sekolah pun bersama dengan murid-murid lainnya, saya didik dan dibina untuk taat pada aturan sekolah, bapa saya tidak mau malu kalau anaknya langar aturan sekolah,” ujar Ivan mengenang kembali perjalanannya saat di sekolah dasar.
Orang tua, lanjut Ivan, merupakan pilar utama yang menopang dan menjadikan dirinya berjuang hingga dapat dithabiskan menjadi imam Kapusin. Tapi seperti diakui oleh ayah Ivan, Fransiskus, perjalanan imamat anaknya tidak semulus sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya. Pengalaman yang paling menantang bagi pria 59 tahun itu adalah saat ivan pulang ke rumah dan meminta pertimbangan bahkan keputusan. Apakah Ivan mau dithabiskan jadi imam atau mundur saja. Saat itu, Fransiskus benar-benar dilematis. Selain karena, dalam adat Batak itu anak laki-laki pertama menjadi symbol dalam keluarga, Fransiskus sebenarnya tidak punya pertimbangan apalagi satu keputusan yang dapat disampaikan ke Ivan. “Sekarang kamu jawab Bapak, kamu mau lanjut atau mau putuskan untuk keluar,” ujar Fransiskus dengan suara pelan sambil melihat dan menunduk ke Pastor Ivan yang duduk di sebelah kanannya.
“Waktu itu, Ivan hanya menjawab, kalau demikian bapak sudah menyerahkan saya untuk dipanggil dan dipilih Tuhan,” tukas Fransiskus.
Ibarat buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, kebiasaan yang sama akhrinya diturunkan pula ke anak-anak lainnya. Adalah Fernandus Saragi, putera kedua dari pasutri Fransiskus dan Nurti Manurung punya pengalaman dan kebiasaan hidup yang tidak jauh berbeda dengan abangnya, Ivan. Romo Fernandus yang saat ini bertugas di Kantor Kuria Keuskupan Agung Medan, bahkan memaknai secara lebih dan berbeda kebiasaan hidup yang telah ditanamkan oleh orang tuanya. “Semua kebiasaan yang ditanamkan dalam diri saya harus saya akui, itu semua telah menjadi kewajiban dalam hidup dan kerja saya,” ujar Fernandus menanggapi pertanyaan dari moderator talkshow testimony keluarga, Romo Edy Purwanto.
Terus Mendukung
Perjalanan Pastor Ivan dan Romo Fernandus masih panjang. Dengan usia imamat yang masih relatif mudah, 8 tahun untuk Pastor Ivan dan 5 Tahun untuk Romo Fernandus, tentu membutuhkan dukungan yang kuat dari keluarga. Fransiskus dan Ny. Nurti pun sadar, kedua putera mereka sungguh membutuhkan dukungan baik dari keluarga, para imam, suster dan umat di tempat kedua putera mereka berkarya.
Ibu Nurti yang kini berusia 68 tahun mengungkapkan, “kami selalu mendukung anak-anak kami dalam doa-doa kami supaya mereka tetap bertahan dalam panggilan dan karyanya.” Selain itu, di setiap tanggal thabisan kedua putera mereka, keluarga ini selalu mengundang pastor, suster dan tetangga untuk berkumpul bersama, berdoa dan bersyukur atas perjalanan hidup dan perjalanan imamat yang telah dilalui.
Editor: John Laba Wujon
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.