Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama

Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama

Pendahuluan

            Gereja Katolik sangat menaruh perhatian kepada kerukunan hidup antar umat beragama. Hal itu dapat kita baca dalam dokumen – dokumen Gereja secara khusus dalam Konsili Vatikan II. Dokumen Pernyataan tentang hubungan Gereja dengan Agama – Agama bukan Kristen (Nostrae Aetate) menyatakan pada pendahuluan bahwa: “Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi. Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir yakni Allah, yang yang menyelenggarkan”. Selain dari pada itu dokumen pernyataan tentang kebebasan beragama (Dignitatis Humanae), no. 6: “Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat diganggu-gugat. Maka kuasa sipil wajib melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara berhasil-guna menanggung perlindungan kebebasan beragama semua warga negara dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan dan mengembangkan hidup keagamaan”. Demikian juga dalamKHK 1983, kan. 748, ditegaskan bahwa: “Semua orang wajib mencari kebenaran dalam hal-hal yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya, dan berdasarkan hukum Ilahi mereka wajib dan berhak memeluk dan memelihara kebenaran yang mereka kenal”. Selain itu, “tak seorang pun boleh memaksa orang untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya”. Bagaimana relevansinya kanon ini dalam membangun kerukunan hidup antar umat beragama?Dalam alam kebebasan itu manusia dapat menentukan imannya berdasarkan hati nuraninya yang bebas dari segala paksaan dan tekanan. Semua usaha manusia dalam mencari Allah yang diimaninya akan terwujud sebuah perdamaian jika diiringi dengan praktek hidup sehari-hari dalam dialog antar umat beragama. Gereja Katolik menawarkan sebuah spiritualitas dialogal yang berlandasan pada persaudaraan dalam peziarahan iman menuju persatuan dengan Allah.

1. Spiritualitas Dialogal

Spiritualitas dialogal adalah gerakan manusia dalam membangun kerukunan yang sejati antar umat beragama di dunia. Gereja Katolik mengajak semua umat beragama di dunia untuk membangun kerukunan antar umat beragama melalui spiritualitas dialogal. Apakah Spiritualitas dialogal itu? Spiritualitas dialogaladalah sebuah gerakan religius umat beriman dengan mengosongkan dirinya untuk dipenuhi dengan Roh ilahi dan melihat realitas hidup di sekitarnya untuk berdialog secara integral dan transformatif dengan sesama umat beriman lainnya menuju kedamaian dan kerukunan hidup yang sesungguhnya.

2. Beberapa pokok Spiritualitas dialogal antar iman

2.1. Spiritualitas dialogal, suatu bentuk hidup yang didasarkan kepada Roh Tuhan, suatu ikatan relasi kasih antara manusia dengan Allah. Dasar Spiritualitas dialogal itu didasarkan pada kisah penciptaan sendiri (bdk. Kej. 1: 1-3) dan peristiwa penjelmaan-Inkarnasi dalam diri Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjadi daging (Yoh. 1:1-3: 14), dan sebagai anugerah Paskah-Nya mencurahkan Roh-Nya atas para murid-Nya. Itulah landasan biblis bagi spiritualitas dialogal yang bermuara pada bersatunya manusia dari segala bangsa dengan Allah yang disebut dengan “Manunggaling kawula Gusti”.

2.2. Spiritualitas dialogal, membutuhkan suatu penyadaran diri manusia bahwa kita diciptakan oleh Allah dengan Roh-Nya sesuai dengan gambaran dan rupa Allah sendiri dimana akhir perjalanan hidup manusia adalah persatuan Roh manusia dengan Allah itu sendiri (persatuan Atman dengan Paraatman dalam Hindhuisme). Lebih jauh dari pada itu, cinta kasih Allah kepada manusia tercurah melimpah dalam seluruh ciptaan alam semesta di dunia kosmos. Keselarasan satu kosmos itulah yang dalam dunia ketimuran menjadi akar dari seluruh kebersamaan hidup manusia di dunia, yang menurut tradisi kristiani sebagai kelimpahan cinta ilahi. Kelimpahan cinta ilahi itu memuncak dalam peristiwa Inkarnasi dari Allah yang menjadi manusia, dalam diri Yesus. Dengan pernyataan ini pula, manusia diajak untuk menjaga keselarasan alam semesta (lingkungan) dengan yang ilahi.

2.3. Oleh karena itulah umat beriman sejati menyadari tanggungjawab yang mendesak untuk sekali lagi membangkitkan sikap tanggap sasmita: mendengarkan suara alam beserta misterinya. Umat beriman di manapun diundang untuk bertemu hati dalam keheningan dan cintakasih akan alam semesta, untuk menerima tata tertib karya Allah dan serasinya alam, untuk menandingi daya-daya destruktif yang menghancurkan lingkungan. Harmoni dengan alam semesta menghidupkan harmoni dalam hati dan menjalinkan harmoni antarpribadi sesama manusia.

2.4. Spritualitas dialogal pada intinya adalah Spiritualitas yang menciptakanhubungan/ikatan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah. Maka spiritualitas dialogal mengungkapkan jawaban manusia terhadap panggilan Allah, terhadap sapaan ilahi dengan perantaraan Sang Sabda. Dalam dialog yang berlandaskan pada penciptaan itulah seluruh umat manusia atas kekuatan Roh Allah bergerak mendekati Allah satu-satunya.

 

2.5. Spiritualitas dialogal membutuhkan sikap dasar hati yang terbuka. Sikap yang demikian itu memmerlukan model kenosis (pengosongan diri), suatu kesadaran tak berdaya, pemurnian tiada hentinya dari kecenderungan pemusatan diri, egoisme, bertumbuh terbuka dalam dialog dengan umat beriman lainnya. Pada intinya kenosis terwujudkan dalam kematian menuju kebangkitan, mati bagi dirinya sendiri untuk memasuki hidup baru dalam kepenuhan hidup.

 

2.6. Spiritualitas dialogal bersifat komuniter, berpusatkan pada ekaristi, saat semua umat beriman sadar dan sengaja menghayati “anamnesis”, yakni kenangan akan Yesus Kristus beserta misteri PaskahNya, hidup dalam Gereja dan berkarya melalui Gereja.

 

2.7. Spiritualitas dialogal bersifat integral transformatif: merubah hidup orang beriman melalui sharing pengalaman hidup religius guna mengentaskan keterpurukan krisis total menuju Indonesia baru. Dalam pergulatan demi transformasi itu meminta semua umat beriman bersikap sabar dan rendah hati. Tiap peserta dialog harus mencoba mengakukan pada dirinya sedapat mungkin intuisi dan pengalaman sesama digunakan untuk mencoba mengungkapkan dan mengkomunikasikan pengalaman religiusnya.

2.8. Berkat bimbingan Roh Tuhan, semua umat beriman diajak berdialog  berjalan bersama mencari kebenaran. Setiap peserta dialog antar umat beriman saling berbagai pengalaman religius kehidupan sehari-hari, saling memperkaya dan saling meneguhkan satu sama lain dalam membangun dunia yang rukun, damai dan sejahtera di bumi Indonesia.

 

3. Buah Spiritualitas dialogal  antar umat beriman

3.1.  Iman peserta mengalami pengayaan lewat sharing-kesaksian peserta dialog. Dengan itu pula iman peserta diperluas dengan peluang untuk saling mendengarkan, menghalau segala praduga yang sudah mengakar, memperlebar pengertian yang sempit.

3.2. Iman peserta dijernihkan berkat perjumpaan antar umat beriman untuk merevisi asumsi, pandangan yang keliru antar umat beragama. Meninggalkan masa lampau yakni pengalaman yang buruk dalam membangun kerukunan hidup beragama, saling mengampuni dan memulai babak baru yang makin baik menuju kerukunan yang sejati.

3.3. Iman peserta diperdalam dengan saling mengenal dan menghargai berdasarkan landasan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh oleh sikap dan perilaku kelompok ekstrim.

3.4.      Spiritualitas dialog yang sejati dan mendalam akan merubah sikap hidup kita antar umat beriman dari dialog antar iman (interreligious dialogue – interfaith dialogue) menuju pertobatan (metanoia). Semua perserta dialog antar umat beriman menjadi tanda pertobatan yang mengantar umat manusia kepada Allah.

Penutup

Sebagai penutup dari tulisan ini, perlu kiranya menjabarkan Spiritualitas dialogal secara konkrit dalam situasi pluri-agama dan pluri-kepercayaan/kebatinan. Beberapa pokok pikiran tentang hal itu adalah sebagai berikut:

  1. Kita hendaknya menyadari bahwa umat beragama dan umat kepercayaan/kebatinan lain adalah rekan-rekan seperjalanan dalam ziarah menuju Allah.
  2. Oleh karena itu merupakan kewajiban kita untuk menggalang kerekanan – kekerabatan – persaudaraan (menyama braya) antar umat beragama dan umat kepercayaan/kebatinan yang ada di dalam masyarakat Indonesia, sebagai model bagi hubungan sosial.
  3. Kekerabatan – persaudaraan (menyama braya) itu akan menghasilkan kerukunan sebagai prinsip hubungan sosial.
  4. Menjaga moralitas hidup yang baik, yang ditandai dengan kebenaran, kebaikan, keadilan, kejujuran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai insani luhur dalam menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hidup kemasyarakatan.
  5. Mengusahakan kesejahteraan umum (bonum commune), yang adil makmur dan merata, terutama dalam opsi mengutamakan rakyat miskin dan tersingkir. Itulah Spiritualitas transformatif, merombak hidup umat beriman sendiri semakin menyerupai diri Allah, melahirkan umat manusia yang baru dipenuhi cinta kasih.

D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr