MIRIFICA.NET – Di sebuah Pusat Pelatihan Pastoral yang luas dan megah milik Keuskupan Agung Bangkok bernama Baan Phu Waan (yang berarti rumah penabur), diadakan Sidang Sinode Tahap Kontinental Asia pada 24 – 27 Februari 2023. Sidang sinode ini diikuti oleh perwakilan dari 29 negara anggota Federasi Konferensi Para Uskup Asia (FABC), yaitu 6 Kardinal, 5 Uskup Agung, 18 Uskup, 28 Imam, 4 Suster, dan 19 Umat Awam yang hadir dan berjalan bersama. Sebuah berkat bagi saya karena bisa menjadi salah satu umat awam yang mewakili suara orang muda dari Indonesia untuk bisa ambil bagian dalam pertemuan ini. Saya bersyukur pula karena bisa ikut bergabung bersama Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC (Ketua KWI), Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, dan Rm. Antonius Steven Lalu mewakili Indonesia.
Proses Sinode sendiri sudah berlangsung dari Oktober 2021, dan diadakan secara berjenjang mulai dari tingkat paroki, keuskupan, nasional, kontinental, hingga universal. Sidang Sinode Tahap Kontinental Asia secara khusus merefleksikan bersama sintesis atas refleksi keuskupan-keuskupan di Asia atas dokumen Vatikan (DCS-Document for Continental Stage), yang merepresentasikan pengalaman kegembiraan, pengalaman berjalan bersama, pengalaman luka, dan panggilan untuk merangkul jalan bagi “gereja yang baru”. Draft dokumen ini akan menjadi materi sinode para uskup di Vatikan pada Oktober 2023 dan Oktober 2024.
Asia, sebagai benua dengan penduduk paling padat, dianugerahi dengan keberagaman budaya, agama, bahasa, dan etnis. Walaupun agama Katolik merupakan minoritas bagi sebagian besar negara di Asia, semangat dan kekayaan masing-masing budaya sungguh membawa sukacita bagi kehidupan gereja. Dan semangat ini sungguh tercerminkan di dalam perjumpaan dengan peserta sinode dari berbagai negara di Asia.
Seluruh peserta sinode dibagi ke dalam 12 kelompok kecil, di mana masing-masing kelompoknya terdiri dari Uskup, Imam, Suster, dan Awam dari negara yang berbeda. Di dalam setiap kelompok terdapat satu moderator yang mengawal jalannya percakapan dan satu sekretaris yang mencatat setiap pembicaraan dan merangkumnya. Dalam kelompok saya sendiri, Mgr. Andrews Thazhath (India) berperan sebagai moderator, dengan anggota Mgr. Matthias RI Iong-Hoon (Korea), Rm. J.B. Suwat Luangsaard (Thailand), Rm. F.A. Akira Takayama (Jepang), Rm. Rico Ayo (Filipina), dan Kochurani Thomas (India). Saya sendiri berperan sebagai sekretaris.
Setiap harinya, pertemuan diawali dengan doa sinode “Adsumus Sancte Spiritus”, doa memohon rahmat Roh Kudus untuk membimbing dan menginspirasi semua delegasi dalam perjalanan sinode ini supaya sungguh mencerminkan suara Asia. Selama dua hari terakhir, para delegasi diajak menapaki perjalanan proses Sinode dengan menggunakan metode 3 langkah yang disebut “Percakapan Rohani”. Tahap pertama, “Taking the floor” (berpangkal dari pengalaman) di mana masing-masing peserta kelompok berbicara selama dua menit tentang pengalaman mereka selama proses sinode; tanpa diskusi atau intervensi, yang kemudian dilanjutkan dengan saat hening selama dua menit untuk mengendapkan dan memberikan ruang bagi Roh Kudus untuk berbicara. Langkah kedua “Making room for others” (memberi ruang untuk orang lain) dimana setiap anggota kelompok berbicara selama dua menit tentang apa yang paling menggema dari apa yang telah dikatakan oleh yang lain; tanpa diskusi atau intervensi dan kemudian dilanjutkan dengan saat hening selama dua menit. Langkah ketiga “Building together” (membangun bersama) di mana terjadi interaksi untuk mengidentifikasi buah dari percakapan.
Dalam pengantarnya, Kardinal Mario Grech (Sekretaris Jenderal Sinode Para Uskup) menekankan berulang kali bahwa sinode merupakan proses perjumpaan, keterlibatan, dan saling mendengarkan. Kerendahan hati untuk mendengarkan menjadi semangat yang mendasari proses sinode ini, sehingga sinode bukan merupakan sebuah survei atau jajak pendapat, tetapi tentang bagaimana umat Allah berkumpul, saling mendengarkan, dan menegaskan kehendak Roh.
Dalam percakapan yang terjadi di dalam pertemuan ini, dibahas beberapa topik utama yang secara dominan menggema di benua Asia, ketegangan yang dominan, serta prioritas utama dari benua Asia yang perlu dibahas dalam sidang sinode pada Oktober 2023. Beberapa topik yang muncul terkait dengan formasi di tingkat keluarga, pentingnya pembinaan kepemimpinan kepada orang muda, serta keterlibatan awam dalam kehidupan menggereja. Selain itu, peserta sidang sinode ini menaruh harapan besar agar gereja dapat menyuarakan suara mereka yang selama ini tersingkirkan dan kurang diperhatikan, serta kaum marjinal yang sulit untuk mempunyai kesempatan berpendapat.
Proses sinode tingkat kontinental ini semakin menguatkan kami akan begitu kayanya Gereja Asia dengan segala anugerah keberagamannya yang ada. Sebuah cara baru dalam bersinode di mana umat awam (secara khusus Orang Muda dan Perempuan) sungguh mendapatkan tempat untuk ambil bagian dalam gereja, menyadarkan bahwa Gereja selalu punya tempat dan ingin menjadi rumah bagi setiap orang, bahkan untuk mereka yang selama ini kurang diperhatikan. Selain itu, sinode merupakan proses yang reflektif, di mana kami diperkenalkan pada spiritualitas discernment (pembedaan roh), dengan harapan supaya hasil akhirnya sungguh bisa mewakili mimpi, harapan, aspirasi, dan rasa sakit yang menggema di Benua Asia. (Joshua Eka Pramudya)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.