Beranda ESSAY Kemah di Cibubur, Romantisme Seorang Pramuka

Kemah di Cibubur, Romantisme Seorang Pramuka

0
Kemah di Cibubur, Romantisme Seorang Pramuka
Dokpri

MIRIFICA.NET – Seorang siswa saya tiba-tiba nyeletuk di Whatsapp. Miris juga ketika membaca pesan itu. “Pak, Jakarta PSBB lagi. Covid makin parah. Kita bisa beneran nggak jadi kemah?”  tanya siswa yang dulu tidak suka berpramuka itu. Dia mulai semakin semangat berpramuka sejak mengikuti kemah bersama di tingkat Keuskupan. Berikutnya, Cibubur menjadi tujuan yang terus dia bicarakan hampir setiap hari.

Jari-jemari saya mulai membalas pesannya, tetapi urung terkirim. Rasanya memberi tahu jawaban sebenarnya dari pernyataan itu, cukup menyakitkan. Seharusya pada 29 Juni – 6 Juli 2020, Tim Kerja Kepramukaan-Majelis Nasional Pendidikan Katolik (TKK-MNPK) mengadakan Pekan Kekerabatan (PK) XII di Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Pramuka (Buperta) Cibubur. Rencananya hampir seluruh keuskupan di Indonesia akan mengirimkan perwakilan. Kami yang dari Keuskupan Banjarmasin juga sudah mengatur segala kesiapan sejak tahun 2019. Regu yang akan diberangkatkan ke Cibubur juga sudah dilatih oleh tiap sekolah. Kami –para pembina, lebih senang menyebut pekan kekerabatan ini dengan ‘kemah di Cibubur’. Frase yang kami buat agar anak memiliki ketertarikan berpramuka.

Siswa saya itu pasti kecewa kalau dia tahu kemah di Cibubur belum memiliki kepastian hingga kini. Awal pandemi melanda, PK XII TKK-MNPK diundur sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Antara jadi diadakan atau tidak. Meski, ketika melihat kondisi Covid-19 yang korbannya terus bertambah, kemungkinan acara itu akan batal. Seandainya diundur pun, baru akan diadakan di tahun 2021 atau malah tahun 2022. Siswa saya yang begitu bermimpi ke Cibubur itu sudah lulus SMP. Dari segi usia dia tidak akan bisa lagi mengikuti pekan kekerabatan di tingkat penggalang.

Pramuka, Gembala, Pandemi, dirumah aja, Essay, Gerakan Solidaritas, Gereja Katolik Indonesia, hasil bumi, Indonesia, Jaga jarak, katekese, katolik, PSBB, KAJ, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, Lawan Covid-19, pewartaan, Saling Peduli, stay at home
Dokpri

Dulu ketika remaja, Cibubur juga menjadi mimpi saya. Rasanya berkemah di sana merupakan sebuah kebanggaan. Apalagi dengan label jambore nasional. Sekalipun rebahan di pondok di tepi ladang, digigit nyamuk-nyamuk hutan dan memancing ikan di sawah lebih mengasyikkan, Cibubur adalah satu di antara destinasi perkemahan yang terkenal di antara Pramuka. Menginjakkan kaki di Cibubur bagi seorang Pramuka akan membawa cerita indah bertahun setelahnya. Cibubur memang bukan tempat yang sempurna, banyak kekurangan di sana-sini, tapi mereka yang pulang dari sana akan memiliki cerita indah yang bisa dibagikan kepada teman. Bahkan, ketika dewasa para pramuka itu membagikan cerita ini kepada anak-anak mereka. Harapannya,  anak-anak mereka juga bisa sampai ke Cibubur.

Sebetulnya, Cibubur hanyalah tentang romantisme tempat, sama seperti Benteng Rotterdam di Makassar atau Pulau Brown Sea –tempat Lord Robert Baden Powell berkemah pertama kali– yang lebih bernafaskan kepramukaan. Romantisme di Cibubur seolah tak akan pernah luntur, bukan melulu karena tempatnya saja. Romantisme tempat itu mungkin akan menguap seiring waktu. Justru momen bertemu dengan para pramuka se-Indonesia itu adalah romantisme sesungguhnya. Jadi, meski bukan Cibubur, kerinduan berpramuka itu tumbuh dalam hati segenap generasi penerus bangsa yang sudah mengenal kepramukaan. Biasanya, akan ada Jambore Nasional yang dilaksanakan oleh Kwarnas Gerakan Pramuka, entah di Cibubur atau di bumi perkemahan lain. Kesempatan untuk mengikuti Jambore Nasional tentu tidak mudah. Karena para pramuka akan bersaing di tingkat kecamatan (Kwartir), kota/kabupaten (Kwarcab) dan di tingkat propinsi (Kwarda). Mereka yang diberangkatkan tentu adalah pramuka yang sudah siap dari segi teknis dan individu. Jika tidak memiliki kecakapan yang cukup, seorang Pramuka belum tentu bisa mencapai mimpi berkemah dalam pertemuan di tingkat nasional.

Karenanya ketika TKK-MNPK mengadakan Pekan Kekerabatan, kesempatan untuk ke Cibubur menjadi lebih besar. Siapa yang akan menyia-nyiakannya, jika tahu bagaimana romantisme yang terjadi ketika berkemah di Cibubur.  Pasalnya, ‘jumlah saingan’ untuk bisa berangkat ke Cibubur lebih sedikit. Penjaringannya hanya lewat Tim Kerja Kepramukaan (TKK) di Keuskupan. Hanya pramuka-pramuka dari sekolah Katolik tingkat SMP (seusia penggalang) yang nanti akan mengikuti PK XII itu. Andai saya pun masih SMP … masih penggalang, bisa ke Cibubur meski hanya dengan kecakapan kepramukaan yang masih biasa dan sederhana.

Pramuka, Gembala, Pandemi, dirumah aja, Essay, Gerakan Solidaritas, Gereja Katolik Indonesia, hasil bumi, Indonesia, Jaga jarak, katekese, katolik, PSBB, KAJ, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, Lawan Covid-19, pewartaan, Saling Peduli, stay at home
Dokpri

Tapi, romantisme berkemah di Cibubur itu coba saya wariskan pada para peserta didik. Bahkan mereka yang tidak mecintai Pramuka. Mungkin bagi mereka yang ada di daerah Pramuka menjadi kebanggaan. Tapi, bagi para pelajar di kota, kebanyakan mereka mengikuti kegiatan pramuka hanya sebagai bagian wajib dari pemenuhan Kurikulum 2013. Dalam kurikulum yang beken disebut K13 itu, para siswa diwajibkan berpramuka. Ada nilai ekstrakurikulernya juga, tapi nilai itu sering jadi pedang bermata dua. Siswa hanya melakukan demi mendapat nilai berupa predikat, bukan nilai-nilai yang terkandung dalam proses mendapatkan sebuah predikat. Misal kerajinan, kesopanan, budi pekerti, kesabaran, toleransi, semangat, percaya diri, dan masih banyak lagi.

Sebetulnya –seperti kebanyakan orang, pelajaran apapun, atau kegiatan apapun akan dicintai jika menarik dan menyenangkan bagi anak. Meski dengan pelajaran eksakta yang sering jadi momok dan ditakuti sekalipun. Apalagi dengan kepramukaan. Konsepnya jelas bahwa pendidikan kepramukaan mengarahkan para pramuka untuk lebih dekat dengan alam, bermain dan belajar dengan banyak hal yang ada di alam.

Kami para pembina yang juga menjadi guru di sekolah. Tidak malah sebaliknya, kami para guru di sekolah yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus lebih bernafaskan pramuka agar para siswa yang berpramuka itu menjadi senang berpramuka. Jadi, bukan sekadar ancaman nilai yang menjadi senjata agar para siswa mengikhlaskan hati untuk ikut berpramuka.

Itulah kenapa, hati saya menjadi miris begitu menyaksikan seorang siswa saja kecewa karena gagal pergi ke Cibubur. Dia bahkan ‘merindukan’ romantisme berkemah di Cibubur sekalipun belum pernah mengalaminya. Semangat yang dia tunjukkan ketika latihan bersama teman-temannya yang lain, menggambarkan kepramukaan yang sudah benar-benar dicintai. Mereka memang belum menjadi pramuka yang benar-benar cakap, masih perlu banyak belajar dan berlatih lagi. Keinginan untuk berpramuka itu saja sudah lebih dari cukup. Biar waktu nanti yang menentukan ke mana arah perahu mereka akan berlayar. Setidaknya nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tri Satya dan Dasa Dharma, kepramukaan itu dapat memberikan pengetahuan dan kemampuan untuk bertahan dalam hidup, bahkan untuk menghidupi kehidupan, menjaga alam ini dan segala isinya, berdamai dengan bumi dan segala ciptaan-Nya. Kepramukaan mengajarkan itu semua kepada setiap pramuka, hanya terkadang seperti pelajaran umum di sekolah, penyampaian materi  yang menyenangkan atau menakutkan, menentukan hasil akhirnya.

Kami para pembina, secara khusus harus berterima kasih kepada MNPK, karena menaruh perhatian pada pendidikan kepramukaan. Sekolah-sekolah katolik menjadi memiliki wadah lain untuk menyalurkan bakat siswa. Ada wadah untuk menciptakan romantisme para pramuka dengan kepramukaan, entah dengan ‘kemah di cibubur’ atau dengan romantisme-romantisme lain, sampai kepramukaan benar-benar dicintai dan dirindukan.

Penulis: Lorensius, Keuskupan Banjarmasin