SEPERTI dikutip dari Evangelii Nuntiandi artikel 71 yang secara khusus bicara tentang keluarga dan evangelisasi, keluarga dipandang sebagai pihak yang menerima evangelisasi dan sekaligus yang melakukan evangelisasi.
“Di dalam suatu keluarga yang sadar akan perutusan tadi, semua anggota melakukan evangelisasi dan menerima evangelisasi. Namun tekanan utama artikel ini adalah keluarga melakukan evangelisasi, karena keluarga juga Gereja. Di sini paus mengambil konsep Gereja Rumahtangga (ecclesia domestica) dari St. Yohanes Krysostomus, yang juga sudah digunakan oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium 11. Itu berarti, keluarga, seperti halnya Gereja, harus merupakan suatu tempat di mana Injil diteruskan dan darimana Injil bercahaya (EN 71).”ujar Dosen Filafat di Seminari Tinggi St. Michael, Penfui-Kupang Dr. Norbertus Jegalus dalam seminar puncak Pekan Komunikasi Sosial Nasional – Konferensi Waligereja Indonesia (PKSN-KWI) di Aula Lux ex Oriente, Katedral Sorong, Papua, Sabtu (16/5/2015).
Karena keluarga itu terdiri dari orangtua dan anak-anak, maka evangelisasi itu dilakukan dalam komunikasi dua arah timbal balik. Jadi, tidak hanya orangtua melakukan evangelisasi kepada anak-anak melainkan juga sebaliknya anak-anak dapat mengkomunikasikan Injil kepada orangtua mereka.
“Orangtua tidak hanya mengomunikasikan Injil kepada anak-anak mereka, tapi dari anak-anak mereka orangtua sendiri dapat menerima Injil yang sama, seperti yang dihayati secara mendalam oleh mereka. Dalam kerangka inilah kita dapat menamai keluarga sebagai sekolah atau lembanga vangelisasi (EN 71).”papar Norbertus.
Kalau orangtua mengomunikasikan Injil kepada anak-anak mereka, tidak sulit dimengerti, karena orangtua memiliki kemampuan secara verbal-intelektual untuk mengajarkan pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada anak-anak mereka.
Namun, bahwa anak-anak juga mengomunikasikan Injil kepada orangtua mereka, ini baru. Di sinilah aspek baru muncul yakni Injil tentang Yesus dan Injil dari Yesus. Anak-anak, termasuk yang belum mengalami pendidikan formal di sekolah alias belum bisa baca-tulis, memang tidak dapat melakukan evangelisasi dalam arti Injil tentang Yesus, namun mereka dapat dengan tegas mengajarkan Injil dari Yesus melalui sikap hidup mereka sebagai anak, seperti: kesaksian tentang hidup jujur, hidup setia, hidup saling menghormati, hidup mencintai orangtua, hidup doa, hidup membahagiakan orangtua. Ajaran kristiani tentang kejujuran, kesetiaan, doa, dan cinta, semuanya itu dilakukan oleh anak-anak. Di sini Injil perkataan memang tidak dilakukan oleh mereka, namun Injil perbuatan sangat jelas dilakukan oleh mereka.
Sementara orangtua dapat melakukan evangelisasi dalam dua wujud, yakni melalui perkataan dan perbuatan. Mereka bisa mengajarkan pengetahuan agama Katolik dan doa-doa Gereja kepada anak-anak, sambil meyakinkan mereka dengan cara hidup yang betul-betul kristiani. “Jangan sampai terjadi, orangtua hanya mempunyai kemampuan untuk “ Injil tentang Yesus” namun lemah dalam “Injil dari Yesus”. Kalau ini yang terjadi, maka keluarga Katolik tidak dapat menjadi “sekolah” evangelisasi,”jelas Norbertus.
Oangtua sebagai evangelisator dengan memperlihatkan cintakasih mereka kepada anak-anak mereka bukan saja sejak dini melainkan sejak masih dalam kandungan. Dan kepada anak-anak yang telah lahir, mereka harus memperlihatkan cintakasih itu melalui kata dan perbuatan.
Mereka menyampaikan kepada anak-anak mereka hubungan yang tulus dan nyata tentang Tuhan Allah dalam cinta, kesetiaan, doa, dan ketaatan. Dengan cara ini orangtua mendorong kesucian anak-anak mereka dan melatih hati mereka untuk peka terhadap suara Tuhan, yang memanggil mereka setiap orang untuk mengikutiNya. Dengan demikian, keluarga dapat menjadi tempat istimewa bagi perjumpaan karunia kasih.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI