Di suatu malam, aku dan Paolo (seorang pastor muda dari Vietnam) menceritakan sejarah panggilan kami masing-masing sebagai imam. Betapa terkejutnya aku mendengar kisah panggilan sahabatku ini, yang bisa membuat aku haru biru.
“Dalam perjalananku menuju sebuah desa terpencil di tepi hutan, di tengah jalan setapak kulihat seorang anak laki-laki berusia kira-kira 5 tahun, telanjang tanpa mengenakan sehelai pakaian pun di tubuhnya.
Dia sedang berjalan mengendap-endap perlahan, sambil matanya tertuju pada sesuatu, serius sekali. Tiba-tiba anak itu menggandeng tanganku, tanpa berkata apapun, bahkan tanpa menoleh ke arahku. Bocah cilik itu menuntunku perlahan-lahan ke sebuah pohon tinggi besar.
Lalu anak itu menunjuk ke atas, lagi-lagi tanpa suara dari mulutnya. Ketika kuikuti arah telunjuknya, kulihat seekor burung yang sangat indah warnanya dan sangat langka. Baru kutahu ternyata bocah ini dengan cerdiknya mau menunjukan padaku seekor burung yang sangat indah tanpa membuat burung itu terbang karena suara kami.
Kutatap mata anak itu….
Ya matanya, matanya yang memancarkan sejuta kekuatan yang membuat aku “jatuh cinta” untuk pertama kali kepadanya.”
Begitulah Paolo menceritakan kembali bagaimana ia dipungut oleh seorang pastor tua sejak ia masih kecil. Paolo sendiri sebetulnya sudah tidak ingat sama sekali peristiwa perjumpaan pertamanya dengan “tuannya” (begitu ia menyebutnya), yaitu seorang pastor tua yang bernama Romo Petrus. Cerita itu didengarnya di hari pentahbisannya, dari mulut Romo Petrus sendiri yang berkali-kali dengan bangganya menceritakan kepada teman-temannya bagaimana dia memilih Paolo menjadi anak angkatnya.
Paolo berasal dari keluarga petani miskin di sebuah desa terpencil bernama Vinh di Vietnam Utara. Nyaris tidak mengenali sosok ayahnya, karena dia sudah menjadi anak yatim sejak berumur 4 tahun. Ibunya terpaksa menanggung 8 orang anak yang masih kecil-kecil kala itu hanya dengan mengandalkan hasil pertanian dari sawahnya yang tidak cukup besar.
Ada kebiasaan sejak lama di Vietnam di mana setiap pastor tua memilih seorang anak laki-laki untuk tinggal bersamanya kemudian tanpa memaksa, mengarahkan anak itu untuk menjadi seorang pastor kelak (mungkin di Indonesia, seperti “nyantrik”). Maka tidak heran Paolo sudah diambil dari tengah keluarganya sejak umur 12 tahun. Anak yatim ini harus tinggal di pastoran tempat tuannya tinggal.
Kerja bocah 12 tahun ini sehari-hari dimulai sejak jam 4 pagi, di mana dia harus mengepel lantai pastoran dan gereja, lalu membunyikan lonceng gereja (yang sangat besar untuk ukuran seorang anak kecil) untuk mengundang umat lainnya mengikuti Misa pagi. Membuka pintu gereja, menyiapkan alat-alat Misa, mengatur semua kebutuhan tuannya, sampai memasak untuk makan mereka, itu semua menjadi sebagian kecil dari “job desk” bocah ini. Di hari minggu, di mana anak-anak seumurannya pergi ke Gereja dengan digandeng orang tua mereka, bermain-main kesana kemari, Paolo kecil harus siap sedia di sakristi dan setelah misa selesai dia harus mengajar sekolah Bina Iman dan para katekumen.
Bukan cuma bertugas sebagai pelayan sang tuannya saja, Paolo kecil juga dididik keras tentang hidup doa yang teratur. Pernah suatu kali dia diminta tuannya untuk mendoakan sepanjang malam seorang pastor yang baru saja meninggal. Dari situ ia mulai berpikir untuk pertama kalinya, betapa hebatnya seorang pastor itu, bahkan sampai meninggalpun masih terus didoakan oleh banyak orang.
Berkali-kali juga dia menemukan uang, entah di gereja, di halaman atau di pastoran ketika ia sedang bersih-bersih. Bocah polos ini selalu mengambil uang itu lalu menyerahkannya kepada tuannya. Tanpa sadar sebenarnya bocah kecil ini sedang diuji oleh tuannya tentang arti sebuah kejujuran.
Pernah suatu kali, bocah kecil ini bertugas membersihkan altar tetapi karena masih anak-anak, dia melakukan tugas itu sambil bermain-main. Perbuatannya itu dilihat oleh tuannya. Romo Petrus tanpa marah, memanggil bocah kecil ini ke ruang kerjanya. Di situ Romo Petrus membacakan kisah Imam Eli dalam kitab Nabi Samuel dari Perjanjian Lama, di mana imam Eli mati mendadak karena anaknya berbuat dosa kepada Allah. Dari kisah itu Romo Petrus mau mengajarkan bahwa dirinya bisa mati mendadak bila ia tidak bisa mendidik anaknya dengan baik untuk menghormati Allah. Sejak saat itu ikatan batin Paolo kecil dengan tuannya semakin kuat.
Perlahan-lahan Paolo kecil mulai menyadari bukan main besarnya harapan tuannya itu kepada dirinya. Dan juga betapa terpesona dirinya pada sosok Tuhan Yesus yang selalu diperkenalkan oleh tuannya yang begitu ia kagumi. Ketika Paolo muda mengikuti tes masuk seminari, siang malam tuannya itu berdoa tanpa henti. Karena dari 204 anak muda yang mendaftar, hanya 20 anak saja yang akan diterima. Karena terpaksa Seminari tidak mampu menanggung lebih dari 20 anak karena keterbatasan biaya.
Tak bisa kubayangkan betapa bahagianya Romo Petrus ketika melihat sosok bocah kecil telanjang yang dipungutnya di jalan setapak di suatu desa terpencil, kini berjalan menuju altar di hari pentahbisannya dengan jubah putihnya. Tak mampu juga kubayangkan pula betapa sedihnya Paolo ketika ditengah-tengah studinya di Roma, ia harus menerima kenyataan pahit karena tuannya itu meninggal dunia secara mendadak.
Dari kisah Paolo kita bisa belajar banyak hal, bahwa tidak ada panggilan yang spontan sifatnya. Semua adalah rencana mulia Tuhan yang menjadi indah pada waktunya. Sejarah panggilan seorang imam bisa menjadi bukti nyata tentang cara Tuhan memilih orang yang dikehendakiNya dengan cara-caraNya yang ajaib. Tidak ada sesuatupun yang kebetulan di luar rencanaNya, asal kita mampu melihat setiap peristiwa lebih dalam dan dalam lagi.
Ilustrasi dari quoteko.com
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.