Keberpihakan Universal Gereja

( Sisi lain tulisan dari Edu Dosi )

Gabriel Adur SVD

  Heboh. Mungkin kata yang tepat tentang kehadiran 12 Uskup pada misa syukur pernikahan  pasangan Melisa Kristi Kristian dengan Narsis Nararya Ciputra (06 Februar 2016). Alasannya: Kehadiran para Uskup dianggap menciptakan sensasi. Dilihat sebagai sesuatu yang sangat berlebihan. Bahkan lebih jauh kebanyakan melihatnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan misi gereja: Keberpihakan pada orang-orang miskin. Tidak berpadanan dengan wajah gereja kaum miskin.

Pro-Kontra pun  menyebar begitu cepat di berbagai Media. Bahkan di akun-akun Facebook teman-teman Pastor  berita ini diperdebatkan. Secara umum kebanyakan mengecam kehadiran para Gembala umat dari 12 Keuskupan. Ada juga yang sangat  santai dan cukup bijak meladeni berita aktual ini.

Tulisan ini tidak bermaksud mengecam atau juga membela kehadiran para uskup. Penulis mengajak para pembaca untuk melihat sisi lain kehadiran mereka.  Bagi penulis ada dua hal mendasar yang menjadi acuan: 1). Gereja Kristus, bukan hanya gereja kaum miskin. Gereja untuk Semua.  Gereja orang miskin dan kaya. Dengannya,  keberpihakan kita pada kaum miskin, tidak berarti menelantarkan orang-orang kaya. 2). Kehadiran ke-12 Uskup tidak bisa kita tautkan dengan istiliah kapitalisme Gereja. Tidak bisa hanya dipandang dari sudut nominal-uang. 

Gereja: Communio Umat Kristiani

Yesus mengumandangkan “berbahagialah orang-orang miskin“, tetapi Yesus tidak mengatakan  bahwa “ berbahagialah kemiskinan“. ( Gutierez, Theologis Pembebasan).

Sabda Tuhan Yesus mengingatkan semua orang akan posisi dari orang-orang miskin yang lemah, tak berdaya, menjadi voice of voiceless (Suara yang tak bersuara, karena sering suara mereka tidak didengarkan) dalam masyarakat. 

Mengacu pada pada situasi orang miskin, sang Thelog Pembebasan mengajak  untuk solider dengan orang miskin. Solidaritas melawan berbagai struktur kemiskinan dan bentuk kemiskinan yang tidak berprikemanusiaan. 

Di sini Gutierres membedakan antara kemiskisn Real-Material/, kemiskinan volunter dan kemiskinan spiritual.  Kemiskinan material yang riil, kekurangan akan pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia: Pangan, sandang, papan, kesehatan dan finansial. Juga kekurangan pelayanan public, diskriminasi gender dan  minimnya emansipasi. Situasi sosial yang menjadi sangat berbahaya bagi orang-orang miskin. Kemiskinan spiritual, membahasakan kekurangan iman akan Tuhan yang menjadi bagian dari hidup manusia. 

Sedangkan kemiskinan voluntri dilihatnya sebagai bentuk ajakan untuk hidup bersama dan menjadi bagian dari keberpihakan dan pilihan Gereja untuk hidup bersama orang-orang miskin. Di sini juga, Gereja diharapkan mampu melawan berbagai bentuk dan sistem yang menekan orang-orang miskin.

Membebaskan kaum miskin dan orang-orang kecil, kaum marginal menjadi sebuah perjuangan yang belum pernah selesai dalam Gereja. Perjuangan butuh sebuah kerjasama yang humanis dengan mereka yang mampu menciptakan  pembebasan. Upaya pembebasan Sosial  dari belenggu hidup dan sistem sosial yang memasung dan mengancam eksistensi mereka, merupakan sebuah keberpihakan Gereja pula yang memiliki peran sosial dan religios dalam mencerdaskan kehidupan sosial, bermasyarakat dan bernegara. 

Gereja meski mampu menempatkan dirinya secara benar dalam posisi orang-orang miskin agar mengalami dan mengerti situasi hidup-orang-orang miskin. Kemudian berusaha secara konkrit mencari jalan keluar yang menciptakan eksodus bagi orang-orang miskin. Keluar dari kemiskinan yang menhantui hidup.

Keberpihakan Gereja Katolik Indonesia  pada kaum miskin menjadi tanggung jawab orang-orang katolik Indonesia juga. Termasuk orang-orang kaya katolik. Bentuk keberpihakan bersama atau kolektif menjadi alternatif yang mampu menciptakan sebuah solidaritas kristiani yang berlandaskan pada keberpihakan Yesus pada hidup dan situasi hidup umat-Nya.  

Pihak Gereja, mulai dari Hirarki Gereja, Uskup, para Iman , biarawan-biarawati yang berkarya di Indonesis, umat katolik, kaya dan miskin, meski menjadikan option for the poor, keberpihakan pada orang-orang miskin dan situasi riil kehidupan mereka, sebagai sebuah solidaritas dan kepedulian kristiani bersama.  Juga orang-orang miskin meski mampu membantu diri sendiri untuk keluar dari situasi yang mematikan.

Mengacu pada landasan berpikir seperti ini, keberpihakan Gereja pada orang-orang miskin, meski menjadi sebuah undangan untuk semua orang kristen Indonesia untuk memerangi kemiskinan di Indonesia. Selain sebuah sebuah aksi-nyata-profetis Gereja, juga menjadi spirit bagi semau orang kristen untuk selalu memiliki sikap solidaritas kristiani yang nyata. Dengan pemikiran seperti ini, solidaritas kristiani juga bagi orang-orang kristen  Indonesia yang kaya.

Dengan alasan sedalerhana yang juga mungkin dapat diterima ini, keberpihakan Gereja baik Hirarki maupun Umat Kristiani terhadap orang-orang miskin, tidak hanya bernilai fisik-materi tetapi juga keberpihakan iman-spiritual. 

Menempatkan orang-orang miskin sebagai fokus keberpihakan merupakan sesuatu yang selalu dihidupkan dalam perjalanan Gereja. Namun, keberpihakan Gereja pada kaum miskin dan papah tidak berarti memarginalisakan orang-orang kaya. 

Ketika hal ini terjadi, berarti Gereja melupakan Visi-Misi Gereja untuk semua. Keberpihakan Gereja pada orang-orang kaya dan memiliki posisi dan jabatan membawa nilai spiritualitas untuk menyadarkan mereka agar bisa bersikap solider dengan orang-orang miskin. Artinya, Gereja orang-orang miskin meski bukan menjadi halangan bagi orang-orang kaya untuk berpartisipasi melawan berbagai bentuk sistem yang menciptakan kemiskinan struktural yang kejam.

Membela dan mefokuskan orang-orang miskin dalam perjuangan Gereja tidak berarti menistakan orang-orang kaya, namun mengayomi mereka sebagai rekan kerja yang bisa mencari jalan keluarg bersama agar, keberpihakan Gereja menjadi tugas perutusan mereka juga. Sebuah opsi politis Gereja terhadap orang miskin tidak bisa diartikan sebagai sebuah bentuk pengucilan orang-orang kaya dari Gereja. Juga tidak bisa diartikan sebagai bentuk memusuhkan orang-orang kaya. Gereja adalah komunio umat Kristiani baik kaya maupun miskin. 

Tak Langsung ditakar dengan Uang

Dari sudut pandang Visi-Misi dan Keberpihakan Gereja Universal untuk semua orang/umat. Dalam arti tanpa memandang: Kaya-Miskin, kecil, besar, perempuan- laki, tua-muda, hitam-putih, mungkin kita bisa memahami kehadiran para Uskup pada acara pernikahan yang dianggap sebagai sebuah Sensasi Gereja, bukan sebagai sebuah pencipta  sensasi. Lebih buruk lagi kalau dianggap sebagai sebuah bentuk wajah dari Gereja yang kapitalis. Ada berbagai alasanya yang mungkin menjadi pertimbangan sebelum kita lebih jauh menghakimi mereka dengan berbagai bentuk kritikan dan sinisme sosial.

Pertama, secara kekeluargaan dan kekerabatan mereka tentu diundang.  Pertama sebagai keluarga dan sahabat. Juga diundang karena sebagai uskup. Memang, mereka harus mempertimbangkan berbagai konsekuensi mengiakan sebuah undangan dari orang-orang kaya seperti keluarga Ciputra. Penulis percaya bahwa para gembala umat yang hadir dari ke-12 keuskupan sudah mempertimbangkan segala konsekuensinya. 

Dengan itu mereka hadir sebagai bentuk penghargaan atas undangan. Undangan dalam konteks ini juga perlu dilihat sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur dari keluarga yang merayakan pernikahan.  Di sini terjadi sebuah penghargaan yang resiprokal / timbal balik. Hal ini menjadi sebuah bentuk perhatian kegembalaan, para gembala Gereja tersebut  terhadap umatnya. 

Kedua,  kehadiran para uskup mungkin tidak bisa langsung divonis dengan istilah Gereja yang kapitalis dan pro orang-orang kaya. Dengan takaran seperti ini, kita menciptakan hakim bagi diri sendiri. Juga secara psikologis menciptakan alineasi dari orang-orang kaya yang juga menjadi bagian dari Gereja. 

Dalam hal ini, kalau intensi dan tujua para uskup untuk memberikan berkat mereka atas pasangan yang dinikahkan sebagai bagian dari perhatian terhadap umat, maka kehadiran mereka sah-sah saja. Namun, kalau tujuan mereka berlandaskan pemikiran bahwa keluarga Ciputra adalah keluarga kaya.  Dengnnya, sebagai gembala umat mereka menciptakan sebuah pemisahan keberpihakan dalam Gereja. Maka hal tersebut sudah menjadi hakim atas prilaku mereka sendiri. Sikap dan cara pandang seperti itu patut kita kritik. 

Memang tak dapat disangkal pertanyaan-pertanyaan dari berbagai kalangan. Mengapa 12 Uskup hadir dalam pernikahan tersebut? Apa motif di balik kehadiran mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang lugas dan sederhana perlu dijawabi oleh para gembala umat. Khususny ke-12 Uskup yang disebutkan.  Juga memurnikan tugas perutusan mereka sebagai gembala umat di keuskupan-keuskupan yang mereka layani.

Sebagai bagian dari Gereja dan Umat, kita percaya bahwa kehadiran mereka yang menghebohkan situasi Gereja pada masa pra-paskah ini sebagai bentuk pelayanan. Namun, kalau ada motif-motif lain yang tidak sesuai dengan citra visi, misi, dan perutusan Gereja untuk semua, maka perlu mereka jawab.  Dalam arti jika  mereka hadir karena diundang oleh keluarga kaya, maka mereka sudah memiliki bahan refleksi tersendiri dalam masa puasa ini untuk bertobat.

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengingatkan bahwa para uskup dan imam adalah gembala umat. Untuk semua umat. Jangan hanya rajin dan cepat mengatakan ia kalau diundang oleh si kaya. Lalu bergegas menuju ruang perjamuan pesta bersama mereka. Juga cepat mengatakan ia dan rajin juga kalau diundang si papa dan miskin ke gubuk-gubuk mereka.

Yesus adalah Tuhan bagi semua.  Penulis juga kadang ingin menggugatnya, ketika beliau bersama keluarga Kudus, Maria (mungkin Yoseph juga) menghadiri pesta pernikahan di Kanna. Termasuk makan dan minum di rumah Zakheus yang terkenal sebagai koruptor kelas kakap pada zaman Yesus. Namun, penulis yakin, bahwa ini juga bagian dari keberpihakan Yesus pada umatNya.   

 

Penulis Rohaniwan dan pemerhatin masalah politik, tinggal di Steyl Belanda.

Kredit Foto: Pastor Gabriel Adur di tengah umatnya di Steyl Belanda