(Sekedar merenungi Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke 42, 4 Mei 2008)
Oleh : P. Agus Alfons Duka, SVD
Pada tahun 2007, para koordinator komunikasi sosial (KomSos) keuskupan seluruh Indonesia mengadakan lokakarya komunikasi sosial di tiga wilayah gerejani berbeda. Untuk wilayah Sumatra di Batam pada bulan Juli 2007, untuk wilayah Kalimantan, Jawa dan Nusa Tenggara di Bali pada bulan Agustus 2007 dan wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua di Makassar pada Oktober 2007. Disamping mengulas topik tentang komunikasi dan kebudayaan, para ‘pemuka’ komunikasi keuskupan seluruh Indonesia itu sepakat untuk menjadikan hari komunikasi sosial sedunia sebagai moment refleksi dan aksi komunikasi sosial di seluruh keuskupan. Pernyataan bersama ini diinspirasi oleh kenyataan bahwa seringkali peringatan hari komunikasi sosial itu diabaikan di tingkat keuskupan dan paroki pada hari yang ditetapkan oleh gereja. Ada rupa-rupa alasan yang diberikan, mulai dari infrastruktur keuskupan seperti tak ada koordinator KomSos keuskupan dan paroki, para uskup yang sudah mempunyai agenda liturgi lain, sampai kepada hal-hal teknis seperti material liturgi hari komunikasi sosial (bahan liturgi dan pesan Bapa Suci) yang terlambat tiba di keuskupan dan paroki, dll. Apapun alasannya, kita sudah bisa berkesimpulan bahwa ‘hari komunikasi sosial sedunia’ belum mendapat tempat yang semestinya di kalangan umat katolik di Indonesia, di lembaga-lembaga hidup religius dan di kalangan komunitas media komunikasi.
Dekrit Inter Mirifica, dokumen Konsili Vatikan II yang membahas Komunikasi Sosial secara tegas menandaskan bahwa Hari Komunikasi sosial Sedunia itu dirayakan di semua keuskupan di dunia. Dan dalam peringatan itu, sekurang-kurangnya ada tiga unsur yang perlu diberikan perhatian khusus yakni pendidikan-pembinaan komunikasi sosial, doa bagi kemajuan komunikasi sosial dan kolekte hari komunikasi sosial untuk karya komunikasi di keuskupan. Dan, ini merupakan satu-satunya perayaan dunia yang diserukan oleh Konsili Vatikan II. Maka semenjak tahun 1967 untuk pertama kali dirayakan Hari Komunikasi sosial sedunia dengan tema perdana adalah ‘Gereja dan Komunikasi Sosial”.
Untuk merayakan Hari Komunikasi Sosial Sedunia yang ke-42 tahun 2008, Paus Benediktus XVI mengeluarkan pesan komunikasi dengan tema “Media Komunikasi: Antara Pengacuan Diri dan Pelayanan. Mencari kebenaran untuk berbagi dengan orang lain.” Bapa Suci dalam pesan komunikasi itu antara lain menekankan pentingnya etika komunikasi karena menurutnya, komunikasi sejatinya bukan sekadar persoalan piranti (tools), tetapi menyangkut relasi manusia, pergulatannya dan dinamika sosialnya (matra antropologis). Maka pemanfaatan media komunikasi hendaknya terarah kepada penghargaan akan martabat manusia yang sering kali dilecehkan baik secara manifes (terang-terangan) maupun secara latens (terkelabui)
Dari keseluruhan pesan Bapa Suci untuk hari komunikasi sosial sedunia ke-42 tahun 2008, terlihat bahwa kecemasan terhadap penggunaan yang keliru terhadap media komunikasi masih sangat mendominasi isi pesan. Bahwa sebagai anugerah Allah, media telah banyak memberikan sumbangsih bagi dunia seperti kampanye pemberantasan buta huruf, memungkinkan sirkulasi informasi dan gagasana secara leluasa khususnya gagasan-gagasan kesetiakwanan, HAM dan keadilan sosial. Namun, menurut pengamatan Paus Benediktus XVI, media kini sedang berubah menjadi sistem yang bertujuan mendorong manusia untuk menyerah kepada aliran materialisme ekonomi dan relativisme etika. (Bdk Pesan 2008, no 5). Persoalan inilah yang akhirnya mengantar sri Paus untuk mengatakan bahwa media komunikasi tengah berada di persimpangan jalan, antara mempromosikan kepentingan diri sendiri dan melayani umat manusia.
Narasi Media
Banyak orang mengharapkan bahwa media komunikasi harus menampilkan dan menyampaikan informasi dan peristiwa sesuai dengan realitas. Tetapi apa sebenarnya realitas itu? Mungkin yang diharapkan bahwa realitas empiris harus nampak ‘warna aslinya’ dalam media. Hal itu tidak akan mungkin karena semua realitas empirik, kalau sudah ditayangkan atau diceritakan melalui media massa (narasi mediatik) maka realitas itu telah direkonstruksi sesuai dengan ekosistem (logika) tiap-tiap media. Dengan demikian, informasi juga diproduksi ulang (reproduksi) menjadi realitasnya sendiri walaupun realitas media diproduksi sepenuhnya berdasarkan realitas empiris. Fakta dan peristiwa dalam realitas empiris memiliki keutuhan dan kerangka-kerangka. Pada saat dimediakan (proses teknis), media hanya mampu mengambil potongan-potongan peristiwa dari suatu peristiwa yang utuh dan berkerangka dan mencerabut atau melepasnya dari kerangka keseluruhan yang mengitarinya. Rekaman itu kemudian diedit, diolah, dibacakan ulang seturut ‘kaca mata’ dari yang berkepentingan dan diungkapkan sesuai dengan kekhasan tiap-tiap media. Maka apa yang sebelumnya menjadi realitas (fakta dan peristiwa) empiris kini menjadi realitas (fakta dan peristiwa) representasi. Pertanyaan kita, dimana kita mencari dan menemukan kebenaran?
Seruan Gereja: Info-Etika
Paus Benediktus XVI dalam pesan komunikasi tahun 2008 menandaskan tentang pentingnya etika komunikasi yang disebut sebagai ‘info-etika’ dalam mencari kebenaran itu. Menurut hemat saya, etika komunikasi (info-etika) dalam perspektif ini pertama-tama harus dimengerti sebagai upaya memperkecil jarak dan kesenjangan antara realitas (fakta dan peristiwa) empiris dan realitas (fakta dan peristiwa) mediatik. Dan tanggungjawab utama terletak pada pihak produsen informasi seperti pemilik dan pegiat media, produser, presenter, editor, reporter, sales promotion girls, dll.
Pada pihak lain, mencari kebenaran bukan cuma tugas produsen media. Para konsumen media pun harus melibatkan diri dalam proses ini. Dari sisi tilik komunikasi, semakin orang mengonsumsi hanya satu media, semakin besar ia menjadi fanatik. Dan pada saat manusia menjadi fanatik dengan informasi satu media, maka ia akan menjadi rabun untuk melihat kebenaran dari media yang lain. Pada saat itulah ia menjadi sasaran terpaan media. Olehkarena itu, untuk menghindarkan diri dari manipulasi media, para konsumen media diimbau untuk memperbanyak jenis media yang dikomsumsi (diversifikasi media). Disamping membaca surat kabar, ia juga perlu mendengar siaran radio dan menonton televisi atau berselancar di internet agar ia memiliki daya banding informasi yang cukup tentang sebuah issue untuk selanjutnya dipertimbangkan entah dipercai atau tidak, benar atau keliru.
Pendidikan penyadaran bermedia ( media awareness formation) juga merupakan suatu alternatif yang dipahami sebagai kegiatan mendekonstruksi realitas media. Seperti yang ditandaskan bahwa, realitas media adalah suatu bentuk narasi realitas yang dikonstruksi ulang dengan bahan baku dari peristiwa empiris, maka yang disebut dekonstruksi realitas media adalah usaha untuk membongkar realitas media itu dengan pertanyaan, apa yang berada di belakang tayangan atau pemberitaan itu, siapa yang menjadi sasaran tuju informasi itu dan apa yang diharapkan dari informasi itu?
Kegiatan hari komunikasi sosial sedunia dengan demikian hendaknya tidak hanya dirayakan dalam gereja tetapi juga ditindaklanjuti dalam masyarakat lewat pendidikan dan penyadaran berkomunikasi sosial. Selamat Merayakan Hari Komsos Sedunia.
Penulis, Sekretaris Eksekutif Komisi KomSos
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.