Sidang Tahunan KWI 2004 mengangkat permasalahan fundamental yang dihadapi bangsa ini. KWI merumuskannya dalam persoalan kehancuran “keadaban publik” (public civility). Masalah yang dihadapi bangsa ini bukanlah sekitar masalah moral perorangan bahwa orang hidup baik, melainkan bagaimana dengan mengusahakannya sekaligus diciptakan iklim, lingkungan, dan suasana yang kondusif bagi kesejahteraan hidup bersama .
Mewabahnya praktek-praktek ke-tuna-adaban publik (public incivility) dalam kehidupan bersama (shared life) disebabkan karena tiga poros (axis) yang menyangganya tidak melakukan mematuhi aturan main yang sehat serta tidak menjalankan fungsi kontrol-silang sebagaimana mestinya.
Ketiga poros kekuatan itu adalah negara, pasar, dan masyarakat warga.. Negara yang terwujud dalam badan-badan publik (public agencies) seperti lembaga legislative, eksekutip, dan yudikatif dan aparat-aparatnya. Kekuatan dan kekuasaan badan-badan publik itu berasal dari pelimpahan wewenang sah oleh rakyat melalui proses demokrasi, seperti pemilihan umum. Tugasnya yang utama menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan bersama (bonum commune). Seorang berada dalam poros ini setiap berhubungan dengan badan publik, seperti mendapatkan KTP di kantor kelurahan.
Poros kedua adalah sector ekonomi atau komunitas bisnis. Komunitas ini muncul dalam aktivitas transaksi jual-beli barang dan jasa yang tumbuh karena adanya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Fairness menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini. Pembeli mendapatkan barang atau jasa senilai dengan uang yang dikeluarkannya. Penjual mendapatkab keuntungan yang masuk akal dalam transaksi spontan tersebut.
Poros ketiga adalah masyarakat warga (civil society) yang nampak dalam lingkaran komunitas dan paguyuban dalam masyarakat. Komunitas ada kalau ada saling percaya mempercayai bahwa tata hidup masyarakat akan dihormati oleh setiap warganya. Seorang berjalan di trotoar yakin bahwa tidak akan ditabrak sepeda motor, karena semua orang tahu dan mematuhi aturan bahwa trotoar diperuntukkan pejalan kaki.
Telah berkepanjangan bangsa ini mengalami bagaimana poros negara dan poros sector ekonomi selingkuh. Akibatnya kepentingan wargalah yang dikorbankan. Fenomen koruptip ini tumbuh pesat dalam ketiga poros kekuatan yang sama-sama mengelola ruang publik. Itulah sumber ke-tuna-adaban bangsa ini.
KWI meniupkan trompet “Keadaban Publik Harus Kembali di Bumi Pertiwi.” Keadaban di ruang Publik itu harus menjadi tabiat, watak, dan karakter baru bangsa kita. KWI melontarkan istilah “habitus” untuk menggambarkan tabiat, watak, dan karakter bangsa kita ini. Habitus diterangkan sebagai gugus insting, baik individual maupun kolektip, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak, dan cara berelasi seseorang atau kelompok.
Habitus adalah suatu prinsip yang mendorong ke tindakan (principium importans ordinem ad actum). Hanya kalau keadaban publik menjadi tabiat baru, banga ini akan mampu keluar dari kemelut dan kemerosotan moral dalam segala bidang kehidupan.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.