Beranda BERITA Ke-Bunglon-an Teknologi Komunikasi

Ke-Bunglon-an Teknologi Komunikasi

Fakta

Komunikasi adalah salah satu aspek antropologis hakiki manusia. Komunikasi menentukan dan membentuk cara berada manusia. Sejak berada, manusia sudah membawa kemampuan dasar komunikasi alamiah seperti menangis dan memproduksi simbol tertentu. Bahkan membisu juga merupakan bagian dari komunikasi. Kemampuan komunikasi manusia memiliki banyak ragam. Secara umum, orang biasanya mengklasifikasikan kemampuan komunikasi manusia sebagai lisan dan tulisan. Komunikasi lisan bisa berupa berbicara, berteriak, berdiam, menangis, tertawa, dan aneka komunikasi simbolik lain. Sementara itu, komunikasi tulisan berupa menulis, menggambar, dan beragam cara lain.

Kebutuhan komunikasi sangat penting untuk membangun hidup bersama yang damai dan sejahtera ketika peradaban manusia memasuksi fase pluralitas kompleks. Sejak awal peradaban manusia, kebutuhan ini sebenarnya sudah terasa meskipun belum terdesak kepentingan jarak jauh. Namun, kebutuhan komunikasi jarak jauh mulai menjadi urgen ketika negara-negara Eropa (terutama Spanyol dan Portugal) berupaya mengeksplorasi dunia untuk kepentingan ekonomi dan ilmu pengetahuan sekitar abad 14-16. Luasnya dunia di satu sisi dan kebutuhan mendapat informasi yang cepat memaksa para ilmuwan untuk memikirkan dan menciptakan sarana komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan ini. Kemunculan revolusi media komunikasi, mulai dari media cetak hingga sekarang internet, dilatari kebutuhan di atas. Inovasi teknologi komunikasi merupakan jawaban terhadap hasrat manusia atas relasi, komunikasi, dan pengetahuan, atau ekstensi hasrat kita untuk hidup bersama dan untuk memperoleh pengetahuan (Spadaro, 2014:2).

Menjelang akhir abad 20, para ahli sudah merasa dan membuktikan bahwa teknologi komunikasi dan teknologi pada umumnya bukan sekadar sarana. Alan Kyrbi menegaskan bahwa sejak tahun 1990-an, paradigma dunia bukan lagi postmodernisme, melainkan digimodernisme (2009). Pola berpikir dan perilaku, relasi dan interaksi manusia sudah didikte logika teknologi. Pierre Lèvy bahkan mengatakan bahwa “dunia manusia secara definitif adalah teknologis” (2001:3). Teknologi bukan alien dari dunia lain. Teknologi lahir dari dan tumbuh bersama manusia. Menurut Antonio Spadaro, teknologi sudah merambat masuk ke dalam sekat-sekat antropologis kita. Dunia digital telah mempenetrasi dunia harian kita dan mengubah cara kita berelasi. Batas antara tubuh kita dan perangkat teknologi hampir tidak kelihatan. Teknologi komunikasi digital mengubah cara berpikir kita dan cara kita memandang dunia (2014:3-4). Fakta ini menyingkapkan satu kodrat manusia yang selama ini terpendam. Manusia bukan hanya mahkluk yang berkomunikasi, melainkan juga mahkluk teknologis. Sejak zaman batu, manusia purba sudah mengenal teknologi sederhana seperti pahatan batu dan tulang untuk berburu. Perpaduan kodrat komunikatif dan teknologis ini terartikulasikan dengan menakjubkan sejak awal abad 21.

Mengamati masifnya produksi sarana teknologi komunikasi dan keuntungannya, serta berlandaskan refleksi yang mendalam atas warisan wahyu dan iman Gereja, Paus Benediktus XVI di dalam enskiliknya Deus Caritas Est memandang teknologi sebagai rahmat untuk manusia (2009: 70, 77). Teknologi bukan malapetaka bagi umat manusia. Teknologi adalah berkat dari Allah. Paus menanggapi positif pengaruh teknologi, terutama komunikasi digital, yang mengubah cara berpikir dan relasi manusia. Karena itu, menurut Benediktus XVI, cara kita beriman dan mengomunikasikan iman pun harus dipertimbangkan kembali menurut paradigma teknologi (Spadaro, 2014:9).

Masalah

Kemajuan pesat teknologi dan media komunikasi tentu merupakan indikator bahwa masyarakat dunia menyambut baik kehadiran teknologi sebagai ‘rahmat’. Teknologi media komunikasi memiliki andil besar dalam menanjakkan kemaslahatan hidup umat manusia. Teknologi secara antropologis merupakan perpanjangan tubuh manusia. Media komunikasi digital menghilangkan kemustahilan komunikasi jarak jauh. Keluasan dunia tidak menjadi penghalang lagi bagi kita untuk berelasi. Di hadapan teknologi, dunia tidak lebih dari satu kampung kecil. Meskipun demikian, di balik efek positif ini teknologi membungkus pula bangkai kehancuran. Industri teknologi yang memproduksi senjata pemusnah masal bertumbuh subur di banyak negara. Negara- negara adidaya menggunakan senjata untuk menghancurkan warga negara-negara kecil. Media sosial rupanya juga memiliki dampat negatif seperti menciptakan keretakan rumah tangga. Media sosial bisa juga menjadi sarana untuk menyebarkan kebencian dan menciptakan permusuhan. Ranah privasi dan publik tidak memiliki demarkasi yang jelas. Alhasil, tidak ada lagi ruang kesakralan bagi manusia. Tidak sedikit masalah yang ditimbulkan teknologi dan media komunikasi. Kita bahkan tidak sanggup untuk menghitung korban yang berjatuhan akibat gempuran teknologi.

Menggeliatnya libido membunuh teknologi menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya rahmat, melainkan juga bencana. Teknologi itu seperti bunglon. Ia berubah wujud sewaktu-waktu ketika berada di tangan dan konteks yang berbeda. Mengapa demikian? Teknologi itu ideologis sejak diciptakan. Teknologi modern tidak diciptakan hanya untuk kesenangan semu. Produsen teknologi memiliki kepentingan di balik teknologi yang ia ciptakan. Karena itu, teknologi tidak netral. Teknologi secara ontologis bersifat otoriter-represif. Teknologi merupakan produk kulminasi Metafisika Barat yang lama di dalam sejarah peradaban manusia mendominasi cara pengejawantahan realitas. Bahayanya, prosedur teknologi saintifik dalam mengungkapkan kenyataan (bring into appearances) adalah pembingkaian (enfraiming). Teknologi sebagai pembingkaian di satu sisi menyingkapkan realitas (physis), tetapi di sisi lain, ia juga memotong atau menutupi realitas. Hanya realitas yang menenuhi kriteria teknologi (kalkulabilitas, reproduksi, instrumental, dll) yang bisa dibuka selubungnya, sedangkan hal lain yang tidak bisa dimasukkan ke dalam bingkai teknologi dibungkam. Teknologi dengan demikian sudah merepresi dan memangkas kenyataan. Teknologi tidak hanya membuka kenyataan untuk kita, tetapi juga menyembunyikan dan bahkan ‘membunuh’ kenyataan untuk manusia.

Lama di dalam sejarah paradigma teknologis-metafisis ini menguasai dan mendikte lapisan epistemik manusia. Apapun yang dihasilkan teknologi diterima masyarakat sebagai kemajuan positif. Semua produk teknologi diapresiasi tanpa kewaspadaan kritis. Akibatnya, kita bisa menyaksikan sendiri di dalam holocaust Nazisme, Perang Dunia I dan II, Perang Dingin, Gonisida di beberapa negara, krisis ekologis berkepanjangan, Perang Timur Tengah yang masih berlangsung, dan yang terbaru perang dagang antara negara-negara berkuasa.

Dampak negatif teknologi komunikasi tidak sekadar menyasar warga negara maju. Di Indonesia kita menjumpai banyak masalah serupa. Sebut saja kasus Saracen dan trend publikasi hoaks untuk menyebarkan isu-isu SARA yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Masyarakat akhirnya terbuka mata bahwa teknologi itu tidak netral. Teknologi berwajah ganda. Media sosial tidak sekadar alat bantu bagi manusia untuk membangun relasi. Sarana-sarana komunikasi rupanya sarat potensi kehancuran. Teknologi tidak hanya berkontribusi terhadap peradaban manusia, tetapi juga menyumbang kebiadaban.

Teknologi berwajah siluman seperti bunglon (nama ilmiahnya: Bronchocela Jubata), sejenis reptil, yang berkemampuan adaptatif untuk mengubah bentuk kulit dan kemampuan organ tubuh lainnya sesuai konteks habitatnya. Berhadapan dengan kemampuan kebunglonan teknologi dan media komunikasi di atas, apakah teknologi masih merupakan rahmat untuk manusia?

Tawaran solusi

Hakekat teknologi sebagai media komunikasi adalah menyambung kemampuan kodrati komunikasi manusia yang terbatas. Komunikasi adalah bagian integral antropologis manusia. Demikian juga teknologi mengaktualisasikan potensi manusia untuk mentransendensi keterbatasannya. Implikasinya, teknologi (umumnya) dan media komunikasi digital (teknologi dalam artian khusus) bukan bencana untuk manusia. Teknologi komunikasi adalah dan seharusnya baik. Namun, de facto teknologi komunikasi menciptakan banyak masalah untuk warga dunia. Teknologi memajukan peradaban manusia sekaligus mencanggihkan kebiadan, sungguh paradoksal dan ironis. Mungkin benar pernyataan para postmodernis bahwa manusia era postmodern berkarakter hybrid: segala sesuatu yang berkontradiksi dapat berkoeksistensi pada diri dan dunia manusia. Bila demikian, bagaimana kita harus menanggapi kebunglonan teknologi dan media komunikasi yang bersisi positif sekaligus bersisi negatif?

Menghadapi kebunglonan teknologi dan media komunikasi, menurut saya, salah satu cara terbaik adalah mengedukasi masyarakat pengguna sebagai pelaku komunikasi yang kritis. Kekritisan memanfaatkan teknologi komunikasi tidak sekadar terhadap isi atau content informasi, tetapi juga kritis terhadap media yang ditunggangi informasi. Dengan kata lain, masyarakat jangan menjadi konsumen pasif atau pasien yang dibombardir ribuan informasi. Masyarakat harus selektif terhadap media dan informasi yang hendak dikonsumsi. Orang sering menguyah informasi tanpa memeriksa apakah informasi itu mengandung racun atau zat gizi. Bukan hanya informasi yang ditelan begitu saja, media yang diboncengi informasi juga dilahap begitu saja.

Hal pertama yang perlu disadari dalam edukasi masyarakat adalah bahwa media tidak telanjang. Media sudah selalu ideologis, diciptakan sudah dengan tujuan tertentu entah baik entah buruk oleh penciptanya. Namun, media bisa mengalami otonomisasi fungsi seperti otonomisasi teks dalam dunia hermeneutika teks. Itu artinya, tujuan dan motivasi penggunaan media dapat dipelintir dan tergantung pada pengguna. Katakanlah Medsos tertentu diciptakan untuk mengumbar kebencian dan memancing konflik, kita bisa mengambil-alih dan membelokkan fungsinya untuk kepentingan kita menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan. Pihak-pihak yang bermaksud jahat sering lihai memanfaatkan kendaraan Medsos yang bermaksud baik untuk menyebarkan hoaks dan mencetuskan propaganda. Terhadap strategi busuk seperti ini warga masyarakat yang kritis tidak menghindar atau mengalah, tetapi sebaliknya melawan dengan tak henti mengobarkan kebenaran, keadilan, dan kedamaian.

Hal kedua yang harus disasar dalam edukasi warga masyarakat adalah menajamkan fitrah logika untuk mengamati bahwa media teknologi komunikasi itu sarat simulasi dan hiper-riil. Realitas ditransformasi menjadi hyper-realitas. Tidak ada lagi beda antara petanda dan penanda. Baudrillard menunjukkan empat tahap simulasi. Pertama, representasi, yakni ketika citra menjadi cermin suatu realitas seperti pada film dokumenter. Kedua, ideologi yang dipahami ketika citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas. Ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra bermain menjadi penampakannya. Keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas. Ia menyerupai dirinya sendiri (Haryatmoko, 2014:24). Contoh konkret media teknologi komunikasi simulatif adalah berita-berita fiktif bermuatan isu SARA yang dipublikasikan melalui media sosial terpercaya untuk memojokkan pihak tertentu sehingga isi beritanya seolah benar, padahal memiliki agenda tersembunyi. Strategi seperti ini tidak sekadar dimainkan oleh pelaku-pelaku anonim murahan yang pandai menghilangkan jejak. Channel warta berita dan situs- situs berita terpercaya juga tidak terhindar dari berita pesanan karena tekanan politik-sosial atau iming-iming harta dan kekuasaan. Kebunglonan teknologi komunikasi seperti ini dapat diatasi bila masyarakat mengambil jarak kritis terhadap media yang berkarakter manipulatif dan hiper-riil.

Media massa merupakan sarana edukasi warga yang sangat efektif karena mampu membentuk dan menggiring opini publik. Karena itu, hal ketiga yang perlu diperhatikan dalam edukasi warga adalah menghindari dilema palsu media komunikasi: antara mengabdi kebenaran atau mengejar keuntungan finansial untuk kelanggengan eksistensi media massa. Pemilik media masa dan wartawan yang mengontraskan pelayanan terhadap kebenaran informasi dan perhitungan ekonomis atas dasar kelanggengan keberadaan media massa sebenarnya menciptakan dalil fiktif. Eksistensi media massa tidak akan mudah punah hanya karena peliputan dan pemberitaan sungguh menghidangkan kebenaran fakta kepada publik. Bertahannya media-media massa konvensional yang terkenal dan terpercaya di Indonesia selama ini membuktikan bahwa mengabdi kebenaran tidak melemahkan atau menghilangkan minat pembeli. Terkait dengan media massa, hal keempat yang harus diwaspadai warga masyarakat adalah pemberitaan tidak terlepas dari minat dan keluasan perspektif peliput. Wartawan hanya mampu meliput berita berdasarkan sudut pandangnya. Itu artinya, isi informasi selalu sudah mencerabut fakta dari kekayaannya dan fragmentaris. Padahal, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang terisolasi. Fenomen selalu merupakan konstruksi sosial, berjejaring, dan kompleks. Menghadapi bahaya penyempitan informasi dan pemiskinan fakta seperti ini, hal kelima yang dapat ditekankan dalam edukasi warga adalah kerendahan hati dan ketidakpuasan untuk mengklarifikasi kebenaran informasi melalui dialog intersubjektif antar sesama penikmat dan pemerhati berita (Bdk. Popper, 1968: 45). Dialog ini juga bisa dilakukan dengan mengkonfrontasikan pemberitaan satu media dengan media yang lain.

Bila upaya edukasi masyarakat menggunakan kelima strategi di atas, saya yakin warga masyarakat dapat membendung berita palsu dalam pemberitaan media komunikasi dan mendapatkan kebenaran faktual isi pemberitaan. Keberhasilan dalam edukasi masyarakat ini akan menciptakan perdamaian dalam hidup bersama di tengah pluralitas kompleks. Dengan demikian, kita mengembalikan hakekat teknologi dan media komunikasi sebagai rahmat.

Penulis: Anggelius Yoseph Usfal, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta