Dalam keseharian dunia Katolik, ditemukan isitilah Katolik Tradisional. Terlebih di lingkungan Vatikan, istilah ini lebih sering didengar. Ketika kebijakan tertentu dari Paus dinilai bertentangan dengan dasar-dasar iman Kristiani (Baca: Katolik), suara kritis kalangan Katolik Tradisional lebih sering terdengar.
Kadang suara kritis itu disertai dengan penilaian tertentu seperti misalnya, Paus disebut sebagai pemimpin pendukung kelompok Katolik liberal. Istilah lain yang turut membelah dunia Katolik. Pembelahan seperti ini kemudian memunculkan faksi-faksi dan tegangan di antara kalangan Katolik tradisional dan Katolik Liberal. Dalam gereja Katolik, dinamika antara kalangan katolik tradisional (konservatisme-red) tampak dalam gagasan saling berlawanan.
Thetradisionalcatholicpriest menyebutkan sekitar 20 hal yang membedakan kalangan Katolik Tradisional dengan kalangan Katolik Liberal. Namun, kami hanya menyebut lima hal pokok sebagai catatan pembanding.
Pertama, orang-orang Katolik tradisional mengakui iman mereka sebagai harta terpendam dari Allah. Kalangan tradisional ini menolak adanya kebenaran di luar gereja Katolik.
Kedua, pengakuan itu disertai dengan praktik “Misa Segala Zaman”, sering disebut juga dengan Misa Latin dan Misa Tridente. Dengan dikeluarkannya Summorum Pontificum, surat apostolik oleh Paus Benediktus XVI, misa latin ini dihidupkan kembali dalam Gereja Katolik. Summorum Pontificum ini memuat aturan-aturan untuk Ritus Latin dalam Gereja Katolik, untuk merayakan misa menurut “tata cara yang dirancang oleh paus Yohanes XXIII pada tahun 1962”, sebuah bentuk yang dikenal sebagai Misa Tridentin. Kalangan Katolik tradisional menyambut dengan sukacita surat apostolik ini.
Ketiga, praktik misa Latin oleh kalangan Katolik tradisional ini berbeda dengan Novus Ordo Mass atau Misa Novus Ordo. Hal ini disebut sebagai perbedaan terbesar antara kalangan katolik tradisional dengan kelompok katolik lainnya. Pada Misa Tridentine hanya ada dua bacaan, satu dari surat Rasul di Perjanjian Baru dan satu lagi dari Injil. Pada Novus Ordo, umumnya pada hari Minggu ada tiga bacaan, ada tambahan bacaan dari Perjanjian Lama. Kedua, pada Misa Tridentine yang digunakan adalah satu siklus bacaan setahun, sedangkan di Novus Ordo, ada tiga jenis siklus bacaan (Tahun A,B,C) yang digilir dalam selang 3 tahun (bdk. Misa Tridentine dan Novus Ordo dalam katolisitas.org).
Keempat, kalangan katolik tradisional sangat terkejut ketika Paus Paulus VI merubah tata cara Misa Romanum setelah Konsili vatikan II (1962-1965). Perubahan dalam liturgi ini disinyalir berawal dari gerakan liturgis di abad ke 19-20, di mana kaum awam didorong untuk ikutserta di dalam perayaan liturgi gereja.
Kelima, kaum katolik tradisional meyakini bahwa kurban Yesus di Kalvari menjadi inti dari perayaan ritus Misa Latin. Penekanan ini membuat pandangan kalangan katolik tradisional berbeda dengan kaum protestan. Jika dalam misa latin, kurban tubuh Kristus (persona chirsti) menjadi pusat perayaan, kaum protestan justru menekankan jemaat.
Keenam, kaum katolik tradisional mempercayai ajaran, praktik dan tradisi yang telah berjalan selama 2000 tahun dalam Gereja katolik. Mereka mempercayai Alkitab sebagai Firman Allah yang berwibawa, otoritas kebenaran sesungguhnya. Mereka juga percaya dan patuh pada hukum-hukum Tuhan yang terkandung dalam ajaran iman Katolik. Mereka percaya adanya surga neraka, api penyucian,malaikat dan iblis. Mereka juga percaya bahwa orang yang tidak mengaku dosanya akan mendapat kutukan kekal.
Di luar prinsip-prinsip tersebut, perbedaan lainnya nampak juga dalam pandangan mengenai relasi gereja dan negara. Kalangan katolik liberal dari awal sangat serius mendukung pemisahan kekuasaan antara gereja dan negara. Hugues Felicite Robert De Lammenais, seorang imam, penulis dan filsus yang kemudian menjadi perintis gerakan liberalisme dalam Gereja Katolik meyakini bahwa persatuan dengan kekuasaan sipil tidak membantu agama. Ia percaya, kebangkitan kembali Katolik terjadi jika Gereja dibebaskan dari ketergantungan pada negara dan aturan-aturannya. Segera Lammenais pun mulai memikirkan perlunya Katolik bersekutu dengan liberalisme.
Segera, Lammenais mulai menyerukan pentingnya kebebasan dan Kekristenan dalam derajat yang sama, termasuk di dalamnya kebebasan agama yang penuh, kebebasan gereja dalam pendidikan, kebebasan pers dan asosiasinya, dan desentralisasi pemerintahan. Seruannya ini menjadi awal dari gerakan liberal dalam gereja Katolik pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Meski didukung oleh banyak tokoh liberal lainnya seperti Jean-Baptiste Henri Lacordaire, Charles Forbes René de Montalembert dan Olympe-Philippe Gerbet, Uskup Perpignan, gerakan ini mendapat ditentang oleh para uskup Perancis dan pemerintah.
Tidak hanya di Prancis. Perlawanan terhadap gerakan liberalisme di Prancis datang juga dari Paus di Roma. Pada 15 Agustus 1832, Paus Gregorius XVI mempublikasikan ensiklik Mirari vos. Paus Gregorius bahakn menyebut gagasan Lammenais sebagai gagasan-gagasan setan. Menariknya, alasan yang dikemukakan Paus sangat kental dengan pandangan katolik tradisional, terutama doktrin mengenai kebebasan beribadah. Paus menyebut bahwa model ini bertentangan dengan ajaran Gereja (bdk. David Edison, Katolik: Liberal atau Konservatif? dalam https://www.kompasiana.com)
Riak sebagai akibat pertentangan prinisip dan gagasan antara kalangan tradisional dan kalangan liberal dalam gereja katolik ini bahkan masih berlanjut hingga. Teranyar yaitu ketika Paus Fransiskus mengatakan bahwa ateis sekalipun harus berbuat baik, sebab meski tak percaya dengan eksistensi Tuhan, ateis tetap mendapat kemurahan dan rahmat dari Tuhan. Hal yang tak bisa diterima di kalangan katolik tradisional. Meski demikian, gereja Katolik selalu menyikapinya dengan kehati-hatian. Melihat realitas dan perubahan sebagai sebuah keniscayaan. Tetapi juga tetap memperhatikan agar perubahan itu tidak keluar dari jalur pengajaran iman dan tradisi Gereja Katolik, sesuatu yang membuat Gereja Katolik eksis hingga kini setelah melewati 2000 tahun lebih perjalanan sejarahnya.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.