MIRIFICA.NET – Presentasi II pada hari kedua, 19 Agustus 2023 disampaikan oleh Rm BR Agung Prihartana MSF. Dalam presentasinya, Rm. Agung mengungkapkan bahwa pastoral keluarga sudah seharusnya berdasarkan pada kenyataan real di lapangan dan tidak disusun berdasar pada minat atau keyakinan pribadi. Memperhatikan realitas artinya memperhitungkan siapa yang didampingi, bagaimana situasi hidup mereka, tipe kaum muda yang bagaimana?
Dari Family Time ke Screen Time
Sekarang kita sedang beralih dari family time ke screen time yang merubah perilaku, gaya hidup, pemikiran, dll. Hasil survey Kompas, waktu yang digunakan oleh orang indonesia untuk screen time di Indonesia antara 5-10 jam per hari. Kenyataan seperti ini tidak dapat dihindari dalam pendampingan yang kita buat dan kita perlu menghadapinya dengan kreativitas. Generasi yang didampingi adalah generasi milenial. Data BPS mengatakan adanya lonjakan generasi milenial 2020-2023 yang jumlahnya mencapai 14%. Pertanyaannya adalah : apa yang mau dan dapat kita sampaikan kepada generasi milenial?
Data hasil Penelitian Unair menunjukkan adanya dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang menunda perkawinan. Menurut kelompok ini, perkawinan harus disikapi serius, tidak egois, harus menghidupi keluarga, harus dipersiapkan secara serius, sehingga mereka menunda sampai kondisi dan umur mereka cukup. Kelompok kedua adalah kelompok yang menolak perkawinan karena menganggap bahwa perkawinan itu ribet. Dalam kelompok ini, ada kelompok “sorangan”, yaitu mereka yang menolak perkawinan. Situasi dan kondisi orang-orang seperti inilah yang kita dampingi. Kelompok pertama dan kedua adalah mereka sedang meredefinisi perkawinan dan maknanya.
Mengapa perkawinan harus dipersiapkan?
Beberapa alasan disampaikan dalam ajaran Gereja oleh Paus Pius XI dan Paus Yohanes Paulus II. Ketika mereka mengikuti persiapan perkawinan pertanyaan yang sering muncul adalah apakah mereka sungguh-sungguh menyiapkan perkawinan atau sekedar hadir dan mengikuti persiapan perkawinan? Persiapan perkawinan perlu dikelola secara serius dan kesadaran hidup untuk memasuki hidup perkawinan harus diutamakan.
Dalam menanggapi permintaan Vatican akan adanya Sinode Para Uskup, Komisi Keluarga KWI membuat “survey” mengenai kehidupan perkawinan di Indonesia dan memberi resumenya ke Vatikan. Data-data dari berbagai negara masuk dan kemudian digodok dalam Sinode Para Uskup, dan hasil Sinode itu adalah dokumen Amoris Laetitia.
Dalam Amoris Laetitia dan dalam Perjalanan katekumenat Menuju Hidup Perkawinan ditegaskan perlunya pendampingan dalam “masa katekumenat baru” agar panggilan mengasihi dapat dihidupi dalam hidup berkeluarga. Kita dipanggil untuk mewartakan keindahan & kelimpahan rahmat sakramen perkawinan & hidup keluarga.
Katekumenat itu bukan hanya yang perkawinannya berhasil tetapi juga bagi yang gagal atau hanya menikah secara sipil. Termasuk yang mengalami krisis perkawinan dengan berbagai sebab (AL no.87). Contohnya program Retrouvaille Marriage di Filipina dan Singapura yang merupakan program pendampingan bagi pasutri dalam perkawinan yang krisis/berada di ujung tanduk. Persiapan perkawinan yang terlalu dangkal memiliki beberapa efek kerapuhan perkawinan. Kerapuhan perkawinan disebabkan oleh faktor kepribadian dan pemahaman yang terbatas tentang karunia sakramen perkawinan dan panggilan dasar. Yang perlu diangkat secara serius adalah terpisahnya perkawinan dari penghayatan iman. Keterpisahan tersebut membuat iman tidak dihidupi, dieksplisitkan dan dioperasikan dalam hidup berkeluarga sehingga perkawinannya bermasalah. Dalam diskusi, harap perjalanan hidup para katekumenat tersebut ikut didiskusikan. Krisis iman pun dapat menyebabkan krisis perkawinan. Buku Journey of Faith menekankan perlunya persiapan perkawinan sebagai masa katekumenat baru, yang perlu masa untuk berefleksi dan untuk itu membutuhkan waktu. Karenanya perlu dilakukan persiapan jauh, dekat (menjelang) perkawinan.
Pada 2012, Komkel KWI bersama-sama mengolah buku panduan perkawinan untuk dapat menjadi pedoman bagi keuskupan-keuskupan dalam melaksanakan KPP secara efektif dan efisien mengingat bahwa persiapan perkawinan adalah mahkota katekese. Materi katekese dalam persiapan menjelang perkawinan menjadi puncak katekese iman Katolik. Yang perlu dibangun dalam katekese persiapan perkawinan dekat adalah nuansa kairos, atau nuansa berahmat. Persiapan perkawinan harus membawa para calon pengantin untuk dapat menghayati rahmat dan campur tangan Allah dalam mempersiapkan diri memenuhi panggilan hidup mereka.
Katekese dasar bagi persiapan jauh bagi anak-anak harus berisi bagaimana harus menghargai dan peduli kepada orang lain. Kematangan calon-calon pasutri diperlukan agar iman dan religiusitas dapat diturunalihkan dan keluarga dapat menjadi tempat lahirnya para imam dan kaum religius. Perlu memikirkan kursus perkawinan alternatif yang kratif dan fleksibel. *Margaretha & Benny Soetrisno
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.