Kesadaran berpastoral
Judul di atas merupakan hasil refleksi dan pemikiran yang spontan ketika membaca dan menanggapi diskusi di milist Unindo bahwa kini telah merebak dimana mana Pastoral Berbasis Data. Pastoral berbasis data itu mulai menggairahkan keuskupan – keuskupan untuk dipelajari bersama. Suatu metode berpastoral yang bagus dan telah berkembang cukup lama namun metode tersebut belumlah usang. Mengapa berbasis data? Karena kadang ditemukan para pastor bekerja berdasarkan asumsinya, seleranya dan tidak berdasarkan pada data dan fakta. Akibatnya pastor paroki berganti maka bergantilah cara berpastoral di paroki itu.
Maka metode pastoral berbasis data patut dipelajari dan dipraktekkan di tiap-tiap keuskupan. Tapi di atas semua metode, kita harus memiliki konsep yang sama tentang apa itu berpastoral? Dengan demikian kita memiliki dasar pijakan yang sama. Ada pandangan bahwa berpastoral itu persoalan rohani – relijius sehingga tidaklah perlu menggunakan pelbagai metode karena itu ranahnya kuasa ilahi. Biarlah Roh Tuhan menuntun pastor dan umat-Nya dalam berpastoral. Tetapi ada yang beranggapan lain. Berpastoral bukan saja urusan rohani tapi juga manusiawi. Maka kini telah digunakan ilmu sekular untuk membantu berpastoral seperti manajemen dan kepemimpinan bahkan teori ekonomi sebagai alat bantu dalam berpastoral.
Pastoral memang kompleks bukanlah soal data-fakta atau menggunakan data-fakta tetapi lebih pada suatu karya kegembalaan (memimpin) umat Allah melalui bidang-bidang karya Gereja seperti: berliturgi, berjemaat, bersaksi, pelayanan dan pewartaan (3b dan 2p). Maka kesadaran berpastoral merupakan kesaadaran berjemaat sebagai umat beriman, dimana pastor sebagai imam-Nya yang dipilih oleh Allah melalui Uskup bertugas melaksanakan penggembalaan umat beriman di tempat tertentu. Dari tugas pokok inilah muncul kata reksa pastoral. Kata reksa menyangkut kebijakan pastoral, baik itu kebijakan keuskupan maupun paroki. Reksa berarti suatu putusan strategi, suatu pilihan taktis atas dasar diskresi yang mendalam tentang tugas sebagai seorang gembala umat. Seorang Pastor paroki menjalankan tugas reksa pastoralnya karena mendapat mandat/kewenangan dari Uskup untuk menggembalakan umat-Nya di wilayah tertentu (bdk. Kan 515 § 1). Di sini jabatan pastor paroki berkaitan erat dengan pelayanan jiwa-jiwa (dimensi ilahi). Karena itulah, jabatan pastor paroki sangat kuat dan bersifat tetap. “Parroci vero in sua quisque paroecia era gaudet stabilitate in officio, quam animarum bonum requirat” (bdk CD, 31). Oleh karena jabatan pastor paroki bersifat tetap (dengan jangka waktu tertentu) dengan umat yang stabil, serta terorial yang tertentu maka kedudukan pastor paroki begitu kuat. Kedudukan yang kuat dapat menimbulkan efek positif dan juga bisa negatif. Efek negatif manakala pastor paroki tidak melayani dengan baik dan berpastoral sesuai dengan seleranya maka umat akan menjadi korbannya (when the power absolutly, it tends to corrupt). Efek positif jika pastor paroki melayani umat-Nya dengan baik, maka buah-buah pelayanan akan tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan umat beriman. Maka kesadaran berpastoral tidaklah sulit mulailah mendengarkan umat, memahami keprihatinan umat, belajar dan bekerja bersama umat.
Dua dimensi Ilahi dan Insani
Dari pemahaman di atas berpastoral adalah karya kegembalaan yang mengandung 2 unsur yakni unsur ilahi dan insani. Ilahi karena karya pastoral menyangkut urusan rohani tetapi juga insani karena pastoral berurusan juga dengan kehidupan konkrit manusia (duniawi). Dalam reksa pastoral paroki secara yuridis memang kewenangan dimiliki oleh Pastor sebagai representasi Uskup di wilayah itu. Sehingga muncul pandangan bahwa karya pastoral hanya milik pastor. Pemikiran semacam itu hendaknya ditinggalkan karena di dalam ajaran dan aturan Gereja telah terjadi perubahan makna tentang karya pastoral. Meskipun demikian tidaklah dipungkiri bahwa kenyataan masih ada pastor masih berperan sentral mengatur semua karya pastoral tanpa melibatkan kaum awam. Berdasarkan Undang Undang Gereja (KHK 1983), umat beriman berkat sakramen pembaptisan ikut ambil bagian di dalam tugas kepemimpinan umat beriman (bdk. Kan 204). Meskipun di dalam Gereja Katolik kuasa kepemimpinan diberikan kepada orang yang tertahbis. “Menurut norma ketentuan hukum yang mampu mengemban kuasa kepemimpinan yang oleh penetapan ilahi ada didalam Gereja ialah mereka yang telah menerima tahbisan suci” (bdk. Kan 1008). Tapi dalam pelaksanaan kuasa tersebut, orang orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam kerjasama menurut norma hukum. Kata kunci dapat dilibatkan dan kerjasama (bdk. Kan 129). Jadi kaum awam beriman sebagai umat Allah memiliki kewajiban untuk terlibat aktif dalam karya pastoral Gereja. Untuk dapat memahami umat beriman yang kita layani maka perlu memahami karakter umat dengan analisis sosial.
Analisis Sosial memahami karakter umat
Memahami karakter umat, bagaimana caranya? Karakter berasal dari kata Karasso (Yunani) artinya cetak biru, format dasar. Karakter melekat dalam diri orang dan masyarakat. Misalnya dalam tradisi Yahudi: Laut memiliki karakter yang bebas, luas tidak dapat dikuasai oleh manusia. Manusia tidak dapat ikut campur membentuknya bahkan mengintervensinya. Karakter masyarakat (umat) dimengerti sebagai suatu percampuran berbagai nilai kebajikan yang dihayati dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu dan telah bertahun tahun digunakan sebagai norma kehidupan bersama (format dasar hidup umat). Karakter tumbuh sebagai sesuatu yang diberi (given) dan sekaligus sutau proses yang dikehendaki (willed). Dalam ilmu sosial untuk memahami karakter umat (masyarakat) secara baik perlu adanya penelitian sosial.
Penelitian sosial dalam konteks pastoral adalah membuat analisa sosial paroki dan masyarakat sekitarnya. Bentuk analisis sosial berawal dari data dan fakta yang ada. Mulai dari data jumlah umat beriman, penduduk, jenis pekerjaan, mata pencaharian masyarakat-umat, persoalan konkrit umat, hubungan dan kerjasama umat dan masyarakat sekitar. Tujuan dari analisi sosial ini adalah untuk mendapatkan peta gambar besar masyarakat dan gambar kecil paroki dimana seorang pastor berkarya. Di dalam pemetaan melalui analisa sosial itu kita dapat melihat dan membaca tentang:
•1. Sejarah paroki dan kaitannya dengan masyarakat sekitar:
Sejarah adalah kumpulan ide-gagasan dan kejadian hidup yang menjadi jejak-jejak peristiwa yang dapat dituturkan-diceritakan kepada orang lain (his-story). Dalam hidup menggereja sebuah paroki tidak bisa lepas dari suatu sejarah yang dapat diceritakan turun temurun kepada umat. Sejarah paroki dibuat untuk melihat gambaran besar dan luas kehidupan umat beriman dari awal hingga terbentuknya sebuah paroki. Pemahaman historis umat paroki bagi seorang pastor paroki sangatlah penting, karena di sanalah kita bisa mengetahui seluk beluk, jatuh bangun, suka duka hidup umat dan aneka macam peristiwanya.
•2. Budaya umat beriman dalam konteks masyarakat luas:
Kebudayaan adalah hasil karya olah akal dan budi-daya manusia yang menjadikan pedoman hidup bersama, suatu habitus. Kebudayaan di sini dimaksudkan adalah bahasa, tradisi, kebiasaan, perilaku yang dilakukan oleh umat katolik dan masyarakat sekitar. Budaya menyangkut pula adat dan agama asli masyarakat setempat. Dalam pelayanan pastoral perlu dipahami adat dan agama asli teritorial paroki terbentuk yang sudah hidup dan dihidupi masyarakat sekitar. Budaya adalah gerak nafas hidup harian yang tidak terpisahkan dengan hidup sehari-hari umat.
•3. Mentalitas dan penghayatan nilai-nilai hidup umat beriman (masyarakat):
Mentalitas dan penghayatan nilai merupakan bagian dari kebudayaan. Saya angkat karena pastoral berbasiskan karakter tidak lain juga berbasiskan pada nilai-nilai yang dihayati oleh umat. Dalam konteks pastoral dimaksudkan adalah nilai-nilai yang mendasari dan memotivasi orang untuk hidup bersama di dalam satu wilayah teritorial. Seperti: gotong royong, toleransi, tolong menolong, budaya berbagi dengan sesama, persaudaraan dan kekerabatan dalam suka-duka, dan lain sebagainya.
•4. Profil paroki dimana seorang pastor akan berkarya:
Profil adalah gambar atau wajah yang mencerminkan sesuatu atau pribadi orang. Profil paroki dimaksudkan agar kita dapat mengenal wajah-gambar dari paroki itu sendiri. Sebuah medan pastoral yang dapat dibaca secara cepat dan dapat diketahui seluk beluk paroki yang bersangkutan. Di dalam profil dapat dibaca: identitas umum paroki, sejarah ringkas paroki, data umat paroki, jumlah baptisan, krisma, perkawinan, kematian. Profil menampilkan juga kemampuan ekonomi umat, matapencaharian, kerohanian umat-spiritualitas kerakyatan dan masyarakat sekitar, bidang karya paroki, susunan kepengurusan dewan hingga program kerja pastoral.
•5. Keprihatinan dan persoalan mendasar umat beriman: keprihatian sebagai persoalan mendasar yang dijumpai umat beriman adalah keadaan konkrit umat yang perlu mendapat perhatian dalam karya pastoral. Maka baiklah untuk mengetahui hal itu digunakan analisa sosial, melalui penelitian yang akurat berdasarkan data yang lengkap dapat dikumpulkan masalah mendasar di dalam kehidupan paroki. Langkah ini perlu didukung dengan data yang tepat dan akurat.
Menentukan kebijakan pastoral berdasarkan karakter umat
Kenyataan bahwa pemahaman tentang paroki (Gereja secara konkrit) tidaklah mudah. Karena itu reksa pastoral tidak bisa dilaksanakan dengan sembarangan tanpa suatu usaha yang teliti dan sungguh-sungguh. Tidak bisa di zaman teknologi modern dengan perkembangan ajaran Gereja para pastor menutup mata dan berpegang teguh pada kemauannya sendiri. Atau menganggap bahwa urusan pastoral ahlinya hanya pastor. Masalah karya pastoral bukanlah hanya ranah privat hirarki melainkan semua umat beriman (bdk. LG, 10; kan 204). Oleh karena itu, menentukan kebijakan pastoral tidak bisa digunakan secara filosofis – teologis (karena pastornya baru menamatkan filsafat teologi di STFT) saja dan menggunakan kewenangan tahbisan bagi kaum klerus. Reksa pastoral haruslah ditinjau dari pelbagai aspek manusiawi sekaligus ilahi. Reksa pastoral perlu membutuhkan lintas kolaborasi antar bidang dan umat beriman khususnya awam dan religius. Semakin banyak orang terlibat dan bidang yang digeluti semakin banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan dan diharapkan pelayanan pastoral mendekati kebutuhan umat Allah dan menjawabi kehendak Allah juga. Di zaman yang semakin modern dan reformis ini maka Gereja perlu belajar dari dunia sekular. Penggunaan IT lewat komputer data base, website, facebook dan twitter dapat membantu mengenal umat beriman secara lebih dekat dan faktual. Data yang memberikan informasi hendaknya dikumpulkan dan diolah menjadi sebuah informasi serta harus dirangkum menjadi formasi karya pelayanan pastoral umat. Itulah yang sekarang ini amat ramai dibicarakan di dalam karya pastoral berbasiskan data (The Pastoral Care base on data). Namun kadang pemahaman atas Pastoral berbasiskan data sebatas hanya pada pengumpulan data dan tidak berlanjut pada pengambilan keputusan dalam reksa pastoral paroki. Apa itu data base?
“A database is a system intended to organize, store, and retrieve large amounts of data easily. It consists of an organized collection of data for one or more uses, typically in digital form. One way of classifying databases involves the type of their contents, for example: bibliographic, document-text, statistical. Digital databases are managed using database management systems, which store database contents, allowing data creation and maintenance, and search and other access”.
Jadi data base atau berbasiskan data dimaksudkan penggunaan komponen komputer untuk mennyimpan data, mengolah data, mengklasifikasi, mengorganisir ke dalam sistem data base di komputer sehingga memudahkan seorang petugas untuk menemukannya. Komputer bekerja membantu manusia dalam menyimpan, mengolah data tidak memberikan “advise” petunjuk sebagai jalan keluar. Misalnya database berupa statistik, sensus, klasifikasi data. Saya yakin bahwa pastoral tidak berhenti pada statistik hasil sensus, atau klasifikasi data melainkan pada kebijakan, tindakan pastoral.
Maka saya mengusulkan bukan hanya data melainkan mengenal dan memahami karakter umat yang kita layani. Itulah jawaban yang tepat. Pelayanan pastoral kuncinya ada di dalam diri umat yang kita layani. Bukan pada melulu data atau pada pastornya tapi lebih fokus pada umat yang memiliki domisili tetap. Pastor bisa berganti tetapi umat tetap berada di paroki itu. Jadi umat dengan karakternya menjadi dasar pijakan untuk mengambil kebijakan pastoral (reksa pastoral).
Kolegialitas dan partisipatif
Seperti yang telah saya katakan diatas bahwa karya pastoral hendaknya melibatkan kaum awam dalam semangat kerjasama. Kunci keberhasilan karya pastoral selain keterlibatan dan kerjasama adalah kolegialitas dan partisipatif. Pemikiran ini diperkuat dan didukung oleh Apostolicam Actuositatem, no. 10: karya pastoral paroki terwujud dengan adanya kerja sama serta kebersamaan merasul baik dari para klerus (pastor) maupun kaum awam. Maka perlu adanya tindakan perubahan cara pikir dan cara kerja kita sebagai pastor bahwa berpastoral berarti bekerjsama, melibatkan orang lain, memberikan orang untuk berpartisipatif dalam semangat kolegaialitas umabt beriman membangun Gereja. Senada dengan itu PP Yohanes Paulus II dalam Ecclesia in Asia no 25 menegaskan bahwa dalam setiap keuskupan, paroki, merupakan tempat khas umat beriman berkumpul saling berbagi dan bertumbuh dalam iman, menghidupi misteri komunitas gerejawi dan ambilbagian dalam tugas perutusan Gereja. Tidak seorangpun diabaikan untuk berbagi iman dalam hidup dan perutusan Gereja karena berbeda latar belakang sosial, ekonomi, politik dan budaya serta pendidikan. karena setiap pengikut Kristus memiliki rahmat untuk berbagi dalam komunitas.
Contoh Pastoral berbasiskan karakter umat (Paroki Palasari)
Palasari menurut tuturan para misionaris berasal dari kata Pala (artinya hutan) dan Sari (artinya ragi). Palasari berarti hutan ragi. Palasari secara deskriptid berarti tempat dimana hutan tumbuh akan memberikan kenikmatan dan keharuman umat beriman yang tinggal di wilayah itu. Para misionaris berharap agar umat beriman di Palasari dapat menjadi ragi kerajaan Allah yang membawa kenikmatan dan kebahagiaan bagi masyarakat sekitar (bdk. Mat. 13: 33). Umat Paroki Palasari berasal dari transmigrasi lokal umat katolik Tuka Dalung Denpasar di tahun 1936. Sekitar 30 orang mereka membuka lahan hutan di Bali bagian Barat. Dari sisi historis umat paroki Palasari dibentuk dari kekerabatan umat Tuka yang hijrah ke Palasari. Umat paroki Palasari saling berkomunikasi dengan bahasa daerah: Bali, tradisi dan adat kebalian mereka sangat kuat bahkan umat telah membentuk desa adat Palasari dengan segala awig-awignya. Kekerabatan umat Palasari sangat kuat karena mereka bagaikan satu keluarga besar dari Tuka yang sudah lama saling mengenal. Maka memahami karakter umat paroki Palasari harus belajar tentang: historisitas umat, profil paroki, nilai-nilai kehidupan yang dihidupi umat dengan kebudayaannya, serta mengetahui persoalan hidup konkrit umat. Untuk itu penempatan pastor paroki oleh Uskup hendaknya memerhatikan karakter umat Paroki. Pada akhir tulisan ini dapatlah dinyatakan bahwa Pastoral Paroki di Palasari hendaknya memerhatikan karakter umat dan masyarakat sekitar. Memerhatikan karakter umat Paroki Palasari maka usulan saya reksa pastoral Paroki berdasarkan pada prinsip 3 K: kegembalaan yang baik (Pastor bonus) berkeliling mengunjungi umat terdiri dari satu desa seluruhnya katolik sangat mudah terjangkau, kekerabatan dan hidup menggereja berdasarkan nilai-nilai kebudayaan setempat.
Buku – buku yang sebaiknya dibaca:
1.Bonicelli. G. (ed) La Parrocchia Communita di Uomini per gli altri, edizione Dehonine, Roma 1981,
2.A Borras, La Parrocchia diritto canonico e prospettive pastorali, edizione Dehoniane Bologna 1997,
3.L. Chiapetta, Il Manuale del Parroco, commento giuridico pastorale, edizione Dehoniane Roma 1997,
4.Richard M. Gula S.S, Etika Pastoral, Kanisius Yogyakarta 2009,
5.Krispurwana Cahyadi SJ, Pastoral Gereja, Kanisius Yogyakarta 2009,
6.Gusti Bagus Kusumawanta, Paroki dalam perspektif sejarah, hukum dan pastoral, Nusatama Yogyakarta, 2000.
7.St. Suratman Gitowiratmo-Francis Purwanto, Relevansi Pelayanan Pastoral Gereja Keuskupan Agung Semarang, Kanisius Yogyakarta 2010.
8.George A. Aschenbrenner, Quickening the Fire in Our Midst (mengobarkan cinta Tuhan di tengah umat), terjemahan Sint Paul Kentungan, Kanisius Yogyakarta 2011.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.