Beranda KWI Kardinal Tagle: Berani Mulai dari Hal Kecil untuk Kaum Kecil

Kardinal Tagle: Berani Mulai dari Hal Kecil untuk Kaum Kecil

Kardinal Tagle bersama OMK

JAKARTA – Tantangan mendesak untuk melindungi rumah kita bersama mencakup kepedulian untuk menyatukan seluruh keluarga manusia guna mencari suatu pengembangan lestari dan integral, karena kita tahu bahwa segala hal bisa berubah. (“Laudato Si”, 13). Kepedulian untuk menjaga rumah bersama seperti yang diamanatkan oleh Paus Fransiskus itu pulalah yang disampaikan oleh Luis Kardinal Antonio Tagle, Uskup Agung Manila sekaligus Presiden Caritas International, dalam sebuah dialog yang mengupas Ensiklik “Laudato Si” di hadapan para koordinator JPIC tarekat-tarekat religius di Jakarta dan Bandung. Dialog selama lebih kurang satu setengah jam di Ruang Pertemuan KWI, Jl. Cikini II/10 itu pada Rabu (19/8) berlangsung cukup seru karena Kardinal Tagle memberikan contoh-contoh konkret yang telah dilakukan di Manila.

Menurut Kardinal Tagle dalam kupasannya tentang “Laudato Si”, Paus Fransiskus telah mengambil model refleksi yang sering dipakai di Amerika Latin dan Asia untuk menjelaskan gagasan-gagasan pokok dalam merawat dan memelihara bumi, rumah bersama, kita ini yang diuraikan dalam 6 bab. Metode itu adalah: see – judge – act – celebrate. See dituliskannya dalam bab pertama, sedangkan judge diuraikan dalam bab II dan III, act dalam bab IV dan V, sementara celebrate menjadi penutup dalam bab VI.

Metode yang dipakai Paus Fransiskus: See judge actcelebrate.

1. See

Dalam bab pertama Paus membeberkan situasi dunia dan melihat riset-riset ilmiah tentang apa yang telah terjadi, misalnya: polusi, sampah, pencemaran lingkungan, limbah, budaya membuang yang menyebabkan seluruh populasi dunia menderita. Penderitaan itu tercermin dari kurangnya air minum, musnahnya keragaman hayati, menurunnya kualitas hidup manusia, kesenjangan yang makin melebar antara si kaya dan si miskin dan banyak hal lain lagi.

2. Judge

Sementara itu bab II menguraikan penilaian Paus dengan menggunakan Injil Penciptaan. Sebagai umat Kristiani penilaian ini dilakukan berdasarkan kebijakan dan tradisi Kristiani yang kita miliki walaupun Paus juga percaya pada pendekatan interdispliner untuk melakukan penilaian. Dalam Injil penciptaan ini Paus mengingatkan bahwa bumi yang kita diami adalah anugerah Allah, maka kita pun harus memeliharanya sebagai sebuah anugerah, bukan untuk menguasainya apalagi merusaknya.

Ekologi ini juga mencakup pembebasan orang-orang miskin dari kemiskinan dan perbudakan. Penciptaan dan pembebasan harus seiring sejalan. Karena setiap makhluk yang tercipta pasti memiliki tujuan, kita semua saling berhubungan. Oleh sebab itu, harta benda bumi juga milik semua makhluk ciptaan, bukan hanya diperuntukkan bagi manusia saja. Kita bukan pencipta, maka itu semua diperuntukkan bagi kesejahteraan umum, untuk disharingkan dan untuk pembebasan.

Paus Fransiskus melanjutkan dalam bab III tentang akar krisis ekologis. Akarnya berasal dari manusia. Salah satu akar tersebut adalah dominasi teknologi di mana kita hidup sekarang ini. Ilmu dan teknologi dapat melakukan banyak hal dan tidak ada yang dapat menghentikannya. Akibatnya, terjadi konsumsi maupun produksi tanpa batas, tiadanya tanggung jawab untuk melindungi kehidupan terutama yang paling lemah dan paling miskin. Manusia berlagak mampu menguasai hukum, melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.

3. Act

Melihat ketamakan dan kerakusan manusia dalam mengekspoitasi alam semesta, Paus mengingatkan perlunya suatu ekologi integral pada bab IV. Ekonomi, sosial, manusia, kepedulian lingkungan harus ditangani bersama-sama karena masing-masing mempengaruhi satu sama lain.

Ekologi integral ini mencakup pula:
– Ekologi budaya
Dalam ekologi budaya harus diperhatikan suku-suku asli yang menyangga habitat leluhur mereka. Jangan sampai keberadaan mereka tergerus kerakusan manusia yang ingin mengeksploitasi tanah.
– Ekologi hidup sehari-hari
Perlu diperhatikan dan diusahakan adanya perumahan-perumahan yang ramah lingkungan, taman-taman, ruang terbuka hijau untuk tempat bermain anak-anak, transportasi yang aman dan bersih, moralitas dan etika dalam menata dan mengembangkan kota-kota serta pusat-pusat pengembangan.
– Solidaritas untuk kesejahteraan umum
Solidaritas ntuk kesejahteraan umum adalah keberpihakan kepada orang-orang miskin. Pengabaian atau penelantaran pada mereka bisa mendatangkan malapetaka lain.
– Keadilan di antara generasi (untuk generasi mendatang)
Kita juga harus memikirkan keberlangsungan hidup generasi mendatang. Keputusan yang kita buat pada saat ini menentukan kualitas generasi mendatang, misalnya: dalam hal makanan, gaya hidup, teknologi, dan seterusnya.

Sementara itu dalam bab V Paus memberikan beberapa usulan yang bisa dibuat bersama untuk menata rumah kita bersama ini, yakni antara lain:
a. Para pembuat kebijakan lokal maupun internasional perlu mengkaji ulang hal-hal yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan bisnis.
b. Para pengusaha perlu memperhatikan visi dan misi mereka dalam berbisnis dan menghindari upaya-upaya mencari laba saja; diperlukan moralitas bukan hanya keuntungan bisnis semata.
c. Para pemangku kepentingan harus jujur dan transparan dalam pengambilan keputusan, bahkan jika itu akan membawa akibat yang merugikan.
d. Ilmu dan agama harus berjalan seiring sejalan.

4. Celebrate

Sebagai penutup dalam bab VI, Paus ingin mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk bersama-sama merayakan keagungan anugerah Allah bagi kita melalui pendidikan dan spiritualitas ekologis. Ada beberapa hal penting yang diusulkan Paus yang bisa dilakukan dalam hidup sehari-hari: gaya hidup baru dengan metode R3 (reuse, reduce, recycle), kemurahan hati (mau berbagi tidak hanya meminta), rasa terima kasih, keugaharian. Hal-hal itu merupakan sikap hidup sehari-hari untuk memutuskan rantai kekerasan, keegoisan dan ekspoitasi pada sesama makhluk hidup. Kita diharapkan bisa merayakan keindahan aneka tanaman, makhluk-makhluk hidup yang lain yang ada di sekitar kita dan berterima kasih atas keberadaan mereka.

Dalam dunia yang penuh ketergesaan ini, Paus mengharapkan umatnya untuk memperlambat hidup, untuk beristirahat sejenak dan mengambil jeda dari rutinitas sehari-hari sehingga dengan demikian alam dan lingkungan pun ikut beristirahat untuk memulihkan dirinya sendiri. Kita perlu memberi waktu bagi ciptaan untuk beristirahat.

Ketika ditanya bagaimana gagasan-gagasan bernas Paus Fransiskus itu bisa dilakukan dalam situasi Indonesia, Kardinal Tagle memberikan beberapa poin berikut ini:
1. Perlunya bekerja sama dengan komisi HAK karena mereka pasti memiliki jaringan antaragama.
2. Perlu ditegaskan bahwa seruan Paus ini bukan hanya menyangkut kepentingan umat Kristiani, melainkan seluruh umat manusia yang menghuni bumi yang satu.
3. Mencari tokoh-tokoh kunci untuk diajak berdiskusi dan memahami maksud seruan Paus dan menyebarkannya bagi umat mereka.
4. Menerjemahkan atau membahasakan kembali gagasan-gagasan pokok agar bisa lebih dipahami oleh komunitas/kelompok sasaran.
5. Mengajak para profesional atau pengusaha yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan secara lembut dan perlahan agar mereka akhirnya mengikuti saran-saran Paus.

Kardinal Tagle sendiri sudah memulainya di Filipina. Beberapa hal telah dilakukannya untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Paus Fransiskus yang tertuang dalam “Laudato Si” ini, antara lain: mengajak para ahli hukum untuk membuat peraturan-peraturan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan umum, mendekati para pengusaha yang memiliki kepedulian lingkungan untuk merefleksikan kembali tentang visi dan misi bisnis mereka dan mempertanyakan apakah sudah memberikan perhatian pada kesejahteraan tenaga kerja serta barang-barang produksinya lebih ramah lingkungan, mengajak tarekat-tarekat untuk memfungsikan kebun-kebun mereka untuk bercocok tanam supaya dapat menghasilkan makanan organik, memakai barang-barang R3 dalam perayaan-perayaan di Gereja.

Gebrakan yang pernah dilakukan dan berhasil adalah pondo nang pinoy (dana untuk Filipina) di paroki-paroki se-Keuskupan Agung Manila. Umat diminta menyisihkan 25 sen peso setiap hari. Ini adalah recehan terkecil di Filipina sehingga setiap orang dapat berpartisipasi. Menurut penuturannya, dalam 10 tahun berhasil mengumpulkan dana sebanyak 200 juta peso. Uang yang terkumpul ini dipergunakan untuk menambah nutrisi anak-anak sekolah, terutama mereka yang kurang mampu; membuat perumahan bagi orang-orang miskin; memberikan beasiswa bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin supaya bisa melanjutkan pendidikan mereka; dan memberikan pekerjaan bagi para penganggur.

Kardinal Tagle sudah memulai menularkan “virus” Laudato Si’ di Manila, pertanyaan untuk kita semua: apakah kita juga berani mulai mengumpulkan recehan 100 rupiah yang sering kita sia-siakan dan kita buang untuk dikumpulkan di tiap-tiap paroki. Perbuatan kecil bagi yang “terkecil” akan berbuah limpah bila itu dilakukan bersama-sama dan dalam kebersamaan. Mari! (B. Harini/Dokpen KWI)

 

Kredit Foto: Kardinal Tagle bersama para koordinator JPIC tarekat religius Jakarta dan Bandung