MIRIFICA.NET – Mendengarkan dengan hati merupakan jalan untuk bertumbuh dalam kesempurnaan kasih. Demikian disampaikan Ignatius Kardinal Suharyo dalam homili saat Perayaan Ekaristi merayakan Hari Minggu Komunikasi Sosial Sedunia ke-56 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (29/05/2022).
Ungkapan Kardinal ini merupakan kesimpulan atas apa yang disampaikan Paus Fransiskus saat Bapa Suci memberi contoh bagaimana kita dapat berjalan menuju kesempurnaan kasih yang menjadi panggilan semua orang.
Paus, kata Kardinal, mengisahkan sepenggal cerita tentang seorang ibu yang saat pulang ke rumah sudah lelah, namun tetap mau mendengarkan mimpi dan harapan salah seorang anaknya. Dalam keadaan lelah, ibu itu duduk, mendengarkan dengan penuh perhatian dan kasih.
“Lalu Paus mengatakan, ini merupakan satu langkah maju menuju kesempurnaan kasih, kesempurnaan kesucian, kesempurnaan hidup kristiani,”ujar Kardinal menegaskan.
Kardinal memberi contoh kisah lain dalam Injil Lukas tentang seorang penabur. “Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang yang setelah mendengar firman menyimpannya dalam hati dengan baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan,”kata Kardinal. Perumpamaan itu, jelas Kardinal, memberi pesan agar kita menjadi pendengar firman yang baik. Caranya dengan mendengar dengan hati, menyimpannya dalam hati dan mengusahakan hidup yang berbuah berkat firman itu.
Neng, Ning, Nung
Dinamika mendengarkan firman dengan hati, dalam Bahasa Jawa, kata Kardinal, terungkap dalam tiga kata Bahasa Jawa, yakni neng, ning, dan nung.
Neng, jelas Kardinal, berarti meneng atau diam. Ketika diam, semua pengalaman hidup mengendap. Saat mengendang, batin, mata, dan telinga menjadi wening atau bening. “Kita mampu melihat realitas dengan jernih, tidak kabur atau bias. Itulah arti kata kedua (ning),”ujar Kardinal.
Saat batin bening, lanjut Kardinal, kita dapat mendengarkan kehendak Allah. Itulah arti kata ketiga, nung. “Singkatan dari dunung yang dapat kita artikan sebagai kehendak Allah,”ujar Kardinal.
Membaca Kegelisahan Sosial
Dengan mendengarkan melalui hati, kata Kardinal, kita akan mampu membaca kegelisahan sosial yang selalu menyertai hidup manusia sepanjang zaman. Dalam kegelisahan itulah kehendak Allah dinyatakan, kata Kardinal.
Kegelisahan itu, menurut Kardinal, diungkapkan oleh Yesus dalam satu kalimat pendek dalam bagian doa-Nya yang tertulis dalam Injil, bunyinya : “…memang dunia tidak mengenal Engkau”. Kata dunia, menurut Kardinal, mewakili kenyataan hidup. Ditandai dengan permusuhan, konflik, kebencian, ketidakadilan, keserakahan dan semua watak manusia yang memisah-misahkan, meminggirkan, meng-eksklusikan. Dan ini sudah ada sejak awal sejarah manusia. Watak seperti ini, tutur Kardinal, dengan mudah dapat menjadi daya perusak yang semakin dahsyat dengan penyalahgunaan alat-alat komunikasi sosial yang semakin modern.
Kegelisahan itu juga, menurut Ketua Konferensi Waligereja Indonesia ini, tampak dalam berbagai bentuk segregasi sosial yang makin kompleks dipicu berbagai macam kepentingan. Situasi ini, kata Kardinal ditanggapi dengan doa Yesus yang sama yang sampai tiga kali diulang, yakni “supaya kita dan seluruh umat manusia menjadi satu – bahkan sempurna menjadi satu”.
Karena itu, Kardinal mengajak seluruh umat Katolik agar di hari Komunikasi Sosial Sedunia ini saling mendoakan. Agar dapat menjadi pribadi-pribadi yang semakin mampu mendengarkan dengan hati di tengah berbagai tantangan zaman, khususnya di zaman teknologi informasi yang berkembang pesat.
Kardinal juga berharap agar seluruh umat bertumbuh kemampuannya dalam mendengarkan dengan telinga hati. Serta dapat menggunakan teknologi informasi untuk membangun persaudaraan di antara semua umat manusia, bukan sebaliknya.
“Semoga dengan kemampuan yang terus bertumbuh untuk mendengarkan dengan telinga hati, kita siap ditaburkan sebagai benih-benih baik yang menghasilkan buah berlimpah yang dapat menjawab kegelisahan zaman, gereja, dan bangsa kita,”ujar Kardinal berharap.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI