Berbicara di hadapan peserta workshop public speaking dan presentasi di Pusat Pengembangan Spiritualitas Cinta Alam, Medan (13/8), Errol Jonathans mengungkapkan pentingnya membangun strategi berkomunikasi yang baik, sehingga audiens dapat menerima pesan yang disampaikan.
Ada banyak strategi berkomunikasi yang baik yang bisa dipelajari oleh seorang pembicara atau komunikator. Menurut CEO Suara Surabaya itu, salah satu pendekatan yang perlu dimiliki oleh seorang komunikator ketika berhadapan dengan audiensnya adalah pendekatan demografi dan psikografi. Menurutnya, dengan digunakannya pendekatan demografi materi pembicara disesuaikan dengan faktor perbedaan jender atau seks, perbedaan usia, tingkat pendidikan, status ekonomi sosial dan profesi. “Perbedaan demografi seperti itu, kadang-kadang membuat para Romo sering kesulitan menyesuaikan bahasa kotbah atau renungannya, “ ungkap Errol Jonathans.
Sedangkan pendekatan psikografi, demikian Errol menambahkan, itu lebih berhubungan dengan minat, kebutuhan dan kesenangan. Menurutnya, minat, kesenangan dan kebutuhan seseorang juga bisa diukur. Ia mengatakan, ketika anda sekaliang, peserta workshop ini datang untuk mengikuti pelatihan ini, apa keinginan atau kebutuhan anda yang hendak dicapai, ini bisa dinilai atau diukur,” ujarnya.
Errol melanjutkan, dalam teori komunikasi dikenal pula beberapa istilah seperti pree baby boom suatu generasi yang lahir sebelum tahun 1946, the baby boom 1946-1964 atau kelompok generasi yang lahir setelah perang dunia kedua selesai sekitar tahun 1946-1964. Ada juga generasi X yang lahir sekitar tahun 1965-197sebagai generasi internet, generasi Y yaitu generasi tahun1977-1997, dan generasi z yakni generasi yang lahir 1998 ke atas. Ia mengatakan, masing-masing generasi mempunyai karakter tersendiri. Generasi pree baby boom, misalnya, disebut juga dengan mementingkan kekaryaan dan pekerjaan, konsumsi medianya masih mengandalkan tv dan koran. Generasi ini sering dijengkelkan oleh generasi di bawahnya, generasi yang selalu ingin kembali ke zaman dulu. Atau Gen X disebut juga dengan generasi internet dan penggerak antikorupsi yang berorientasi pada pengembangan toleransi dan memperjuangkan hak asasi manusia.
Sedangkan Gen Y, menurut Errol, merupakan generasi me, semua berpusat pada dirinya, multi keterampilan, pendidikannya sudah lebih baik dan terbiasa dengan teknologi. Generasi Z yaitu generasi teknologi informasi, pintar, bermental juara, paling ahli mobile phone, online di semua gadget, dan berkulutur facebook dan twitter. Peserta pun diyakinkan, apapun generasi seseorang strategi atau pendekatan yang efektif akan memudahakan pesan dapat disampaikan.
Pewartaan bermakna
Ketika berbicara tentang pola pewartaan yang bermakna, Errol mengatakan, pertama-tama pembicara perlu menyamakan terlebih dahulu frame of reference atau pengetahuan dengan audiensnya. Ia mencontohkan, ketika seorang pembicara berhadapan dengan audiens yang lebih muda, knowledge atau pengetahuan yang semestinya digunakan itu seperti apa. “Pesan dapat diterima apabila pengetahuan seorang komunikator dapat disesuaikan dengan pengetahuan atau frame of reference audiensnya,” ujarnya.
Kredit Foto: CEO Suara Surabaya, Errol Jonathans saat memberikan materi workshop Public Speaking dan Presentasi di PPS Cinta Alam ,Sibolangit Medan, Sumatera Utara
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.