Pengantar
Hoax atau berita palsu menghiasi wajah media-media massa kini. Keberadaan hoax memang menyita perhatian kita karena hoax mampu menggerakan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu yang cenderung anarkis. facebook, twitter, whatsapp adalah segelintir media yang paling sering dipakai untuk menyebarkan hoax ke banyak orang. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya masyarakat kita yang juga menjadi pengguna aktif akun media sosial tersebut.
Akan tetapi, ada satu hal yang perlu diangkat di sini, yakni tentang keberadaan para jurnalis berita. Sekarang ini, yang bernama jurnalis itu tidak lagi terbatas pada orang-orang yang bekerja di kantor-kantor berita dan yang sehari-harian berkeliling daerah mencari berita. Jurnalis masa kini tidak demikian. Makna jurnalis telah mengalami generalisasi (perluasan makna), yang mana siapa saja bisa menjadi jurnalis. Kondisi ini berbahaya, mengingat kita sebagai konsumen berita kebingungan untuk membedakan mana berita benar, mana berita bohong.
Tulisan ini akan merupakan tanggapan penulis atas pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial ke-52. Hal yang menarik perhatian penulis adalah Paus mengajak semua pendengar pesan ini untuk mempromosikan jurnalisme perdamaian. Jurnalisme perdamaian, mau tidak mau, harus menjadi habitus.
Hoax: Pengaduk Emosi
Hoax merupakan berita bohong, peristiwa yang dilebih-lebihkan atau dihilangkan bagian tertentu, tulisan dan teks tidak sesuai dengan gambar, judul tidak sesuai dengan isi berita, peristiwa lama direproduksi untuk mendukung isu yang sedang ramai dan dibuat seolah-olah itu peristiwa saat ini, dan foto peristiwa lain diubah untuk mendukung isu yang sedang ramai.
Paus Fransiskus menulis bahwa hoax memiliki dua keektifian dalam dirinya, yakni pertama kemampuannya meniru berita yang nyata, sehingga menjadi masuk akal, dan kedua berita yang salah tetapi dapat dipercayai itu “suka menyalahkan” karena merebut perhatian orang. Kedua keektifan dari pembuatan dan penyebaran hoax ini memiliki esensi untuk mengaduk emosi pembaca. Yang dimaksud dengan “mengaduk emosi” adalah hoax berhasil membuat pembacanya masuk dalam emosi ciptaan hoax. Dalam hal ini, pembaca digiring masuk mengikuti logika berpikir hoax, yang tidak lain adalah pembuat hoax itu. Hannah Arendt, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Haryatmoko, SJ, mengatakan bahwa kebohongan itu memikat karena si pembohong menggunakan harapan dan logika yang dibohongi.
Hoax pada dirinya sendiri memang berbahaya. Disebut demikian karena kebenaran tidak mendapat tempat dalam pemberitaan itu, sebab yang dipentingkan adalah memuaskan hasrat para penikmat berita. Keberadaan hoax yang masif dalam dunia keseharian kita saat ini sebenarnya merupakan sebuah manipulasi fakta dan kebenaran. Fakta dan kebenaran dirangkai sedemikian rupa sehingga menjadi berita yang seakan betul-betul mewakili apa yang diharapkan pembacanya. Buruknya lagi, fakta dan kebenaran itu dibuang jauh-jauh tanpa jejak dengan maksud agar pembaca tidak mengetahui realitas yang sebenarnya.
Paus menggambarkan betapa berbahayanya hoax itu seperti sosok ular dalam Kejadian. Pergerakan ular yang membahayakan itu dikatakan sebagai “taktik ular”: ular mencoba menyamarkan dirinya untuk menyerang kapapun dan di manapu. 3 Ular berhasil menyembunyikan sekaligus memodifikasi kebenaran yang telah Allah berikan kepada perempuan. Ular menempatkan dirinya seolah-olah memiliki pengetahuan seperti Allah. Kebenaran itu direproduksi menjadi kebenaran milik ular yang seakan-akan kebenaran itu berasal dari Allah. Kelicikan ular yang membahayakan itu pada akhirnya mengarahkan dan memprovokasi perempuan untuk mengikuti logika berpikir ular yang penuh intrik dan lalu membawa manusia jatuh dalam dosa.
Berita-berita hoax tidak pantas berada dalam jagat jurnalisme. Pengkabaran dengan media seharusnya memuat kabar-kabar yang mampu mengedukasi masyarakat, dan bukan sebaliknya mengaduk-aduk emosi masyarakat. Keberadaannya yang mengaduk-aduk emosi masyarakat hanya merusak keberasamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hoax pada akhirnya merusak persaudaraan. Oleh karena itu, untuk mengembalikan kehidupan bersama yang lebih baik, kita perlu berkomitmen menjadikan diri masing-masing sebagai jurnalis perdamaian yang memuat berita-berita kebenaran.
Jurnalisme Perdamaian: Sebuah Habitus Pembawa Kabar Kebenaran
Data dan fakta yang benar merupakan dua elemen berita yang sangat esensial bagi seorang jurnalis ketika menyampaikan sebuah berita. Dua elemen esensial ini yang, menurut hemat penulis, menunjang benar tidaknya sebuah berita. Isi berita yang tidak menyertakan data dan fakta sebenarnya perlu dipertanyakan kebenaran yang terkandung dalam berita tersebut. Ini penting dibuat untuk menangkal hoax yang sering memanipulasi data dan fakta sebenarnya.
Gereja melalui ajaran Konsili Vatikan II, dekrit Inter Mirifica (IM) mengakui bahwa ada dua hal yang bisa terjadi bila manusia menggunakan media komunikasi, yakni kemanfaatannya bila digunakan dengan tepat, dan kerugiannya bila menyalahgunakannya secara tidak tepat (IM art. 2). Untuk itu, Para Bapak Konsili senantiasa mendesak para pemakai media ini mutlak wajib berpegang teguh pada prioritas tata moral yang objektif (IM art. 6). Maksudnya ialah setiap orang (termasuk para jurnalis) yang bersentuhan langsung dengan media-media komunikasi haruslah menciptakan suatu keberlangsungan hidup yang baik, entah untuk dirinya sendiri maupun untuk hidup bersama melalui berita yang ia sebarkan.
Dengan demikian, Paus Fransiskus mempromosikan jurnalisme perdamaian. Dalam arti, meminjam Pierre Bourdieu, jurnalisme perdamaian ini haruslah merupakan sebuah habitus baru. Habitus baru ini melahirkan suatu pembiasaan diri. Bagi Bourdieu, habitus merupakan kondisi di mana sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk, artinya sebagai prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara obyektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan akan aturan-aturan, dan, secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen. Itu artinya habitus membentuk seseorang pada suatu cara hidup yang konstruktif entah untuk kebaikan dirinya maupun orang lain. Dalam arti bahwa, pembiasaan diri untuk melakukan sesuatu yang bernilai baik akan membawa orang yang mempraktikan kebaikan itu dengan sendirinya tanpa sadar melakukan praktik kebaikan itu secara terus menerus.
Menciptakan habitus yang baru dalam dunia jurnalisme menjadi hal yang sangat penting. Jurnalisme perdamaian adalah habitus. Ini pula dapat menjadi secuil solusi meredam hoax yang marak beredar. Maksud dari habitus dalam jurnalisme adalah menciptakan sebuah pembiasaan untuk menulis dan menyebarkan berita-berita dengan data dan fakta yang sebenarnya, yang tidak menindas, memojokkan dan mendiskriminasi orang lain. Paus mengharapkan suatu jurnalisme yang benar dan bertentangan dengan kebohongan, slogan-slogan retoris, dan headline (judul berita) yang sensasional.7 Maka, seorang jurnalis harus dibiasakan untuk menulis data dan fakta dan benar. Repetisi penulisan berita dengan mengacu pada data dan fakta yang benar merupakan hal yang penting dalam menciptakan habitus jurnalisme perdamaian. Jadi, orang terbiasa untuk menulis berita yang benar.
Berita yang benar lahir dari habitus jurnalisme perdamaian. Berita yang terbit haruslah yang real tanpa opini miring yang muncul dari kepercayaan jurnalis sendiri ataupun mengikuti gerak suara mayoritas, suara dominasi, maupun suara mereka yang memiliki banyak uang. Dalam arti ini, seorang jurnalis haruslah pribadi yang independen dengan berpijak pada kebernaran. Data dan fakta lapangan yang benar haruslah tertulis dengan benar di atas kertas maupun di papan maya, yang pada intinya konsumen harus menikmati berita yang benar.
Penutup
Menulis berita dengan data dan fakta yang benar adalah kewajiban seorang jurnalis. Karena menulis berita adalah sebuah misi. Bagaimanapun, hoax hanya bisa dilumpuhkan bila semakin banyak orang yang mau berhasrat untuk menulis data dan fakta yang benar. Semakin banyak orang yang mau menulis berita yang benar, semakin kecil pula kesempatan hoax untuk tersebar ke pembaca berita. Kemunculan hoax sebenarnya berawal dari hasrat untuk menjatuhkan orang lain lewat berita-berita palsu. Oleh karena itu, para jurnalis, dan kita semua para penyebar berita, didesak untuk bersatu padu membangun habitus jurnalisme perdamaian sebagai upaya pertama yang harus diperjuangkan bersama, dan harus tertanam dalam diri setiap jurnalis. Karena kebenaran yang terwarta dalam berita akan memerdekakan orang lain dari belenggu kebodohan dan kepalsuan hidup!
Penulis: Mario F. C. Putra, Universitas Sanata Dharma Jogjakarta.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.