MIRIFICA.NET – Tahun 1963 Philip L. Graham, pemimpin Harian Washington Post, dalam pertemuannya dengan para koresponden luar negeri harian Washington Post di London mengatakan : “Journalism is the first rough draft of history.” (Jurnalisme adalah draf kasar pertama dari sejarah). Kisah ini diceritakan kepada saya tahun 1984 oleh Yasuo Kusano, wartawan senior dan Kepala Biro Harian Jepang Mainichi Shimbun di Jakarta, pada hari pertama saya bekerja di kantor harian tersebut di Jl. Cendana Jakarta Pusat, yang letaknya berhadapan dengan kediaman Presiden Soeharto. Tampaknya dengan cerita itu Kusano-san ingin menanamkan dalam diri saya rasa bangga menjadi seorang jurnalis.
***
Cerita 35 tahun lalu itu kembali terkenang saat saya membaca Pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sedunia ke-54 tahun 2020: “Hidup Menjadi Cerita.” Pesan Tuhan kepada Nabi Musa:” Supaya engkau dapat menceritakan kepada anak cucumu agar kamu mengetahui, bahwa Akulah Tuhan!” (Kel 10:2) adalah pesan Tuhan untuk kita semua, khususnya untuk para jurnalis dan mereka yang bergerak di bidang komunikasi sosial.
Menarik sekali apa yang disampaikan Paus Fransiskus bahwa sandang atau tekstil dan cerita atau teks berasal dari akar kata Latin yang sama yaitu “texere” yang artinya menenun. Untuk hidup, manusia memang tidak hanya membutuhkan makanan atau pangan, pakaian atau sandang tetapi juga informasi atau cerita. Dan dewasa ini, justru di tengah banjirnya arus informasi, terasa sekali bahwa manusia membutuhkan informasi dan cerita yang benar.
***
Awal September 2012 beredar di berbagai media sosial sebuah film yang berjudul “Innocence of Muslims” yang menyulut kemarahan banyak orang, khususnya umat Islam di seluruh dunia. Film ini secara vulgar melakukan pelecehan dan pencemaran terhadap Nabi Muhammad dan Agama Islam. Hari Senin, 10 September 2012, TV One dalam program pagi “Apakabar Indonesia” mentayangkan berita tentang film pendek tersebut dan reaksi umat Islam di beberapa negara. Mereka marah terhadap Amerika, negara tempat film itu diproduksi dan mereka marah juga kepada Pendeta Terry Jones dikabarkan mendukung produksi film tersebut. Setelah menyaksikan berita tersebut, saya langsung mencari klip film tersebut di YouTube. Astaga, film itu benar-benar menjijikan dan diproduksi secara amatiran. Wajar kalau umat Islam marah besar. Sayangnya, berita di TV tidak menjelaskan siapa produser dan sutradara dari film tersebut? Apa benar didukung oleh Gereja Kristen? Bagaimana pendapat pemerintah da rakyat Amerika tentang film itu?
Setelah program “Apakabar Indonesia” berakhir , saya langsung menghubungi host sekaligus produser eksekutif program TV tersebut, yang juga seorang teman lama saya. Saya sampaikan keprihatinan saya atas film “Innocence of Muslims” dan pandangan saya bahwa TV perlu memberitakan lebih banyak tentang latar belakang produser dan sutradara film tersebut. Menurut saya perlu juga diliput dan diberitakan apakah film tersebut mewakili pandangan rakyat dan pemerintah Amerika. Saya lalu menawarkan kesediaan saya meminta wartawan VOA di Amerika untuk melakukan peliputan yang lebih mendalam tentang film tersebut. Produser eksekutif TV One dengan gembira menerima tawaran saya. “Paling lambat Kamis (13/9) depan kami sudah kirim paket beritanya,” janji saya. Dalam hati saya cemas, jika tidak ada informasi yang lebih banyak dan benar tentang film tersebut, niscaya akan ada unjuk rasa besar-besaran di Jakarta dan banyak kota di Indonesia.
Hari itu juga saya menelpon kantor saya di Washington DC dan meminta mereka membuat paket berita tentang film tersebut. Syukurlah, Rabu (12/9) malam, kami bisa mengirim paket berita ke TV One untuk disiarkan pada “Apakabar Indonesia” Kamis pagi dan berbagai program berita lainnya sampai hari Jumat (14/9). Dari liputan di lapangan, ternyata sutradara dan produser film pendek tersebut adalah mantan narapidana kasus narkoba dan bahwa film tersebut mendapat kecaman baik dari rakyat, Gereja maupun Pemerintah Amerika. Beberapa pemeran film pendek tersebut malah mengaku merasa dibohongi oleh sutradara.
Kemudian kita tahu bahwa unjuk rasa di berbagai negara atas film pendek tersebut menyebabkan 50 orang tewas ( terbanyak di Pakistan sejumlah 23 orang meninggal) dan 695 orang luka-luka. Di Indonesia juga terjadi unjuk rasa tapi tidak sebesar di negara lain dan tercatat hanya satu orang luka ringan.
***
Hoax atau berita palsu sudah ada sejak manusia pertama diciptakan. Seperti diungkapkan Paus Fransiskus, godaan ular kepada manusia pertama (Kej 3:4) hingga sekarang terus dibisikkan oleh para penyebar hoax agar tujuan mereka tercapai. Bahkan dewasa ini banyak orang yang dibayar utk melakukan penyebaran hoax atau pemlintiran fakta (spin doctor). Bagaimana peran jurnalis menghadapi situasi ini?
Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku “The Elements of Journalism” menulis: “Journalism is a storytelling with a purpose”. Dan tujuan jurnalisme adalah memberikan informasi yang benar agar orang bisa melakukan keputusan yang baik. Karena itu, tak heran kalau mewajibkan pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran, dan intisari jurnalisme adalah melakukan verifikasi benar tidaknya informasi yang berkembang.
Dalam era digital ini, ketika bersliweran begitu banyak informasi yang sering saling bertentangan, seorang jurnalis yang baik akan melakukan verifikasi atas bebagai informasi tersebut dengan turun ke lapangan, melakukan riset dan serangkaian wawancara atas narasumber yang kompeten. Tujuannya adalah agar warga masyarakat yang membaca, mendengar dan menonton laporannya memiliki informasi yang benar untuk mengambil sikap atau tindakan. Cerita dan informasi yang benar tidak hanya mencerahkan tetapi mendorong orang untuk bertindak benar.
Seorang jurnalis yang baik adalah pewarta kebenaran. Jika hoax menimbulkan pertikaian, merugikan bahkan membinasakan, maka cerita yang benar mencerahkan dan menyelamatkan.
***
Betapa miripnya peran dan tugas seorang jurnalis dan seorang pewarta dalam Gereja. Keduanya harus memiliki kemampuan menuturkan cerita (storytelling) yang relevan sehingga memukau dan menggugah warga dan umat untuk terlibat menyebarkan cerita yang benar dan juga melakukan tindakan dan perbuatan yang benar.
Agar bisa efektif menjangkau banyak orang, baik jurnalis maupun pewarta Gereja harus mampu dan piawai menggunakan teknologi dan media yang kini digunakan oleh sebahagian besar warga masyarakat yaitu teknologi digital dan mobile serta berbagai media sosial. Sebab menurut publikasi terakhir Hoot Suite dan We are Social, pada akhir 2019 di Indonesia terdapat 150 juta pengguna aktif media sosial, dan tiga media sosial terbesar adalah Facebook, YouTube dan WhatsApp. Sedangkan jumlah pelanggan seluler di Indonesia berjumlah 355,5 juta atau 133% dari jumlah penduduk Indonesia (banyak orang memiliki lebih dari satu telpon seluler).
Jadi, kunci sukses seorang jurnalis dan pewarta adalah: cerita yang benar, kemampuan storytelling yang baik dan ketrampilan menggunakan teknologi dan media yang tepat.*****
Frans Padak Demon
Jurnalis yang pernah bekerja sebagai Direktur VOA Indonesia (2004-2016), Perwakilan dan Wartawan NHK TV & Radio (1988-1997); Produser Eksekutif Metro TV (1999-2004), Wartawan Harian Mainichi Shimbun, Sankei Shimbun, Redaktur Harian Jurnal EKUIN, Prioritas, Merdeka, Perspektif dan Majalah Infobank.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.