Jumat Agung,
Sebuah Memoria Passionis
RD. Rikardus Jehaut
Ketika peristiwa sengsara dan kematian Yesus coba direfleksikan secara serius dalam pelukan keheningan Jumat Agung, pertanyaan seputar motivasi atau alasan dibalik penyaliban-Nya yang dramatis dan mengerikan itu menyeruak ke permukaan, ibarat nyala api yang membakar kesadaran. Pada ranah teologis, jawaban atas pertanyaan ini, dari satu sisi, senantiasa dipertautkan dengan misteri iman akan Allah yang berpihak, Allah yang berbela rasa, Allah yang berkehendak menebus dosa manusia dengan meniti via dolorosa, kendati secara manusiawi Ia sendiri merasakan beratnya memikul palang penghinaan, sakitnya didera, diolok-olok dan diludahi di sepanjang perjalanan menuju tempat eksekusi paling brutal di puncak Kalvari. Lebih dari sekedar imaginasi teologis, penyaliban Yesus adalah bukti nyata dari solidaritas kasih Allah yang tanpa batas kepada manusia yang berdosa.
Dari sisi lain, jika diterima bahwa teologi, seperti yang dikatakan JB Metz, tidak lain merupakan diskursus tentang Allah dan secara politis berarti sebuah memoria passionis, kenangan akan penderitaan Yesus, di mana penderitaan manusia merupakan kategori fundamentalnya, maka dari perspektif teologi politik, peristiwa sengsara dan penyaliban Yesus bukan hanya merupakan peristiwa agama belaka melainkan sarat dengan muatan politis. Barangkali terlalu berani kalau dikatakan bahwa peristiwa Yesus adalah peristiwa politis yang berlangsung dalam gelanggang sejarah dengan kondisi sosial politik tertentu yang meruncing pada peristiwa salib. Dan peristiwa itu sendiri dipandang sebagai hasil dari sebuah skenario politik paling kotor yang dirancang oleh otoritas politik Imperium Romanum yang dengan sengaja membiarkan Yesus dihukum mati demi memenuhi tuntutan serta desakan para demonstran haus darah walaupun setelah melewati proses penyelidikan yang panjang Yesus sebetulnya tidak bersalah dan karena itu sepantasnya tidak dihukum, apalagi dihukum sampai mati di salib. Hukuman yang keji itu dijatuhkan bukan karena Yesus tidak sanggup memberikan jawaban atas pertanyaan quid est veritas-nya Pilatus, melainkan sebagai akibat dari keputusan yang tidak fair dari penguasa politik totaliter serta otoritarian yang berselingkuh dengan para elite agama. Yesus di mata penguasa Romawi dan para pemimpin agama Yahudi adalah seorang provokator kelas kakap yang mengganggu ketentraman sosial politik dan keagamaan dengan pewartaan-Nya, dan karena itu Ia pantas di hukum mati.
Telaah para ahli atas ajaran dan pelayanan Yesus dewasa ini, khususnya dalam pelbagai studi kritis mengenai historical Jesus menyimpulkan bahwa sesungguhnya Yesus memang melakukan perlawanan yang substansial bukan hanya terhadap praktek keagamaan ritualistik-formalistik yang sangat menekankan ritus dan upacara lahiriah melainkan juga terhadap struktur-struktur sosial-politik yang eksploitatif dan represif yang menempatkan segelintir elit masyarakat pada posisi sebagai penindas dan penghisap mayoritas rakyat termasuk mendiskriminasikan kaum perempuan dan orang-orang yang dianggap pendosa berat yang tidak taat pada aturan-aturan formal keagamaan. Mengapa Yesus harus menerima perlakuan yang tak berprikemanusiaan dan tidak adil seperti itu? Dalam keseluruhan struktur politik, pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah dimaksudkan untuk menghancurkan struktur politik kekuasaan tradisional yang tidak mengakui Allah sebagai pengasal kekuasaan politik. Melawan kekuasaan kekaisaran Romawi, Yesus menegaskan bahwa kekuasaan yang mereka miliki itu selalu mengandung dimensi transenden, berasal dari Allah. Tanda-tanda lahirah kekuasaan Allah memang tidak terlihat namun harus dimohonkan kepada Allah sendiri „datanglah kerajaanMu“, supaya kehendak Allah itu benar-benar terjadi di tengah Israel sebagaimana di surga adanya (Mt, 6:10). Jadi, doa yang diajarkan Yesus ini pertama-tama adalah doa permohonan yang bersifat politis agar Kerajaan Allah menjadi nyata dibumi, supaya orang-orang lapar dan miskin memperoleh kehidupan yang layak dan agar mereka yang de iure sebetulnya tidak bersalah harus dibebaskan. Motivasi Yesus mengajar doa yang bersifat politis ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat waktu itu yang sangat menderita di bawah kekuasan Romawi.
Kritik pedas Yesus juga dialamatkan kepada para pemuka agama yang hidup munafik dengan mengandalkan aturan-aturan keagamaan yang rigid dan dipaksakan secara formal tanpa substansi moral-spiritual. Konflik terbuka dengan para pemuka agama semakin menajam ketika mereka melihat bahwa rakyat kebanyakan mulai berbondong-bondong datang mendengarkan ajaran Yesus dan menerima pelayanan-Nya dan hal ini menjadi ancaman serius terhadap otoritas dan kewibawaan mereka sebagai pemimpin religius sekaligus menggoyahkan status quo mereka yang korup. Bagi para pemuka agama Yahudi, kehadiran dan pewartaan Yesus sungguh membahayakan posisi mereka di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Yesus harus disingkirkan. Para pengarang Injil merekam keseluruhan peristiwa ini dengan alur kisah yang menarik sekaligus menegangkan, mulai dari persekongkolan untuk menangkap Yesus, plot untuk membunuh-Nya (Mt, 26, 3-4), operasi militer besar-besaran (Yoh, 18:12) terhadap-Nya dan kedua belas murid-Nya, hingga kematian-Nya di salib.
Bagi Gereja, peristiwa penyaliban Yesus menjadi kesempatan penuh rahmat untuk mengintrospeksi diri. Hal itu berarti bahwa sebagai pengikut Dia yang Tersalib itu, masing-masing pribadi perlu bertanya diri sejauh mana iman kristiani sungguh-sungguh dihayati secara benar dalam hidup keseharian lewat komitmen sosial politik untuk membebaskan sesama yang miskin dan tertindas. Hal ini penting untuk dipertanyakan mengingat bahwa Allah tidak hanya dijumpai atau dialami melalui meditasi dan kontemplasi yang kusuk atau askese yang keras. Allah dapat dijumpai dalam wajah mereka yang tertindas dan menderita di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Membebaskan sesama yang berada dalam situasi dan kondisi yang inhuman merupakan manifestasi dari cinta terhadap sesama dan cinta terhadap Allah. Hal ini penting untuk disadari mengingat bahwa iman yang tidak memiliki daya dinamis secara sosial akan jatuh ke dalam verbalisme atau sentimentalitas yang tidak menyelamatkan. Keterlibatan umat beriman dalam mengatasi pelbagai persoalan kemasyarakatan membuka peluang bagi apa yang dinamakan oleh Jon Sobrino dengan kekudusan politis (political holiness) sebagai buah dari praksis pembebasan terhadap sesama yang menderita.
Secara institusional, peristiwa ini menyuguhkan sebuah pelajaran politis yang kaya dan menjadi sumber kehidupan yang sakral di ruang publik. Sebagai institusi sosial, Gereja ipso facto merupakan faktor politik. Gereja dipanggil untuk memperlihatkan dirinya sebagai instrumen salutis lewat partisipasinya dalam pelbagai upaya sadar dan bertanggungjawab dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran dan tidak berpuas diri dalam praktek keagamaan formal-ritualistik. Secara konkrit hal itu berarti bahwa di tengah meluasnya tuntutan perlakuan yang lebih adil terhadap rakyat lapisan bawah dalam gerak pembangunan serta terjaminannya keragaman kepentingan masyarakat luas dalam orkestra kehidupan sosial politik dan keagamaan sebagai cermin belum jernihnya elaborasi teoretis nilai-nilai fundamental kemanusian, demokrasi dan kemapanan kehidupan sebuah negara, Gereja harus tampil di garda terdepan membunyikan alarm kepedulian kritis profetiknya.
Dalam prakteknya, apa yang menjadi ideal yang dicita-citakan itu tidaklah mudah untuk dihayati. Tanpa mengabaikan pelbagai usaha personal yang positif dari masing-masing pribadi kristiani untuk keluar dari jerat penghayatan spiritualitas hidup menggereja yang isolatif-asosial serta upaya institusional Gereja selama ini untuk secara ad intra membebaskan diri dari praktek keagamaan yang terlalu menekankan hal-hal ritual dan formal serta pelbagai kontribusi positif ad extra dalam mewujudkan misi sosial-kemanusiaan Allah yang membebaskan dan memberdayakan lewat perjuangan melawan pelbagai bentuk ketidakadilan dan kemiskinan struktural sebagai akibat dari sistem politik yang korup dan menindas, barangkali perlu untuk mengakui secara jujur bahwa secara institusional, khususnya, Gereja harus berani untuk keluar dari comfort zone yang antara lain tampak dalam sikap diam dan mencari aman lantaran takut dengan risiko dan konsekuensi politis serta sosial dan karena itu lebih cenderung untuk bersikap hati-hati dengan berlindung dibalik argumen klasik yang sudah kedaluarsa terkait dikotomi antara yang suci versus sekular, agama versus politik, Gereja versus dunia. Namun dalam kehati-hatian itu Gereja seringkali jatuh dalam tindakan-tindakan pasif yang bersifat permisif-kompromistis. Hal ini pada gilirannya akan membawa dampak negatif terhadap kredibilitas Gereja sebagai kekuatan moral transformatif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Peristiwa penyaliban Tuhan hendaknya memantik kesadaran baru yang tercerahkan bahwasanya Gereja tidak dapat mengambil jalan lain selain jalan penderitaan yang dilalui oleh Yesus sendiri. Warta keselamatan yang disampaikan Yesus pada zamannya sering mengundang konflik dengan kekuasaan publik pada zaman itu. Tidak mudah memang. Ada banyak tantangan di sana sini. Namun apa pun situasinya, Gereja harus berani bersuara dan tidak bersembunyi dibalik kehalusan tutur kata. Dan refleksi teologis Gereja, hemat saya, tidak boleh mengurangi tugasnya untuk membangkitkan kesadaran pada proses kehidupan masyarakat sebagai kelanjutan antara kata-kata Yesus dengan realitas sosio-politik. Sebuah refleksi kritis rasional yang senantiasa memberikan awasan bahwa Injil memiliki relevansi politis, yaitu atas dasar wawasan iman bahwa keselamatan yang diwartakan itu tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menghapus pelbagai bentuk alienasi sosial-politis dan keagamaan.
Itu berarti bahwa keterlibatan sosial dalam membangun sebuah kehidupan yang lebih adil dan manusiawi merupakan suatu keharusan sine qua non bagi Gereja. Gereja tidak mungkin merayakan kebangkitan-Nya yang mulia di hari Paska tanpa mengingat penderitaan dan kematian-Nya di salib demi orang-orang miskin, tertindas dan berdosa yang terdepak ke pinggiran oleh struktur-struktur sosial-politik yang tidak adil dan pelbagai aturan dan praktek keagamaan yang ritualistik-formalistik yang mencekik. Ingatan seperti ini kiranya menjadi daya dorong untuk terus berjuang memproklamasikan keselamatan yang melibatkan upaya untuk memberikan muatan etis pada lakon politik yang sedang dipentaskan, mengambil sikap keberpihakan yang jelas dan melawan segala bentuk pembodohan, pemiskinan, penindasan dan ketidakadilan sosial-politik dan ekonomi. Tentu saja tanpa harus tergoda apalagi terlibat atau terjebak dalam permainan politik praktis yang sarat kepentingan dan seringkali kejam dan barbarik itu.
Kredit Foto: http://www.fraternitiesop.com/
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.