Rekan-Rekan sekalian!

Barusan saya bertanya mengenai beberapa perkara tafsir dengan Oom Hans. Ia tak keberatan korespondensi kami ikut dibaca para peminat ruang ini. Ada pembicaraan menyangkut hubungan antara Yoh 13:1 yakni perihal mengasihi “sampai pada kesudahannya” (eis telos) dengan Yoh 19:30 “sudah selesai” (tetelestai). Juga ada sedikit ulasan tentang Yes 52:13-53:12 yang ikut dibacakan dalam liturgi Jumat Agung. Salam, A. Gianto
Oom Hans yang baik!

Apa Oom dan Oma Miryam baik-baik saja di tempat. Ini nih, saya sedang menyiapkan komentar sana sini mengenai perkara yang Oom tulis dan yang kami bacakan pada hari Jumat Suci. Menurut Injil Yohanes, berkatalah Yesus, “Sudah selesai!” (Yoh 19:30). Kata seorang rekan di bumi sini, ini ungkapan rasa lega, penderitaan sudah lewat, rampunglah karya keselamatannya. Tapi saya kok malah kagak sreg dengan uraian seperti itu. Rasanya kok kayak tontonan, layar turun, tamat, selesai, kukut. Oom kan gunain ungkapan Yunani, “tetelestai”, yang saya ngerti dari kata “telos”, yaitu akhir yang merangkum perjalanan dari awal, yang memberi arti pada semua yang telah dijalani. Rasa-rasanya Yesus kan mau mengatakan sudah terlaksana sampai utuh. Kayak versi Latin yang cespleng “consummatum est” dua m itu. Ingat-ingat dulu ketika kami masih suka omong Latin, consummatum itu kan dari consummare, dus con + summa, “merangkum semua jadi utuh”, dan bukan dari consumere satu m, “menghabiskan” (makanan/waktu/duit), yang ada hubungannya dengan konsumsi. Untuk consummare, cosummatum, yang bener orang Jakarta bilang “udah kecapai”, kalau di Jawa ya “wis klakon”. Oom gimana?

Ada lagi soal lain. Kalau betul, hendak digarisbawahi gagasan bahwa Yesus itu kurban Paskah yang diterima Yang Di Atas sana sehingga benar-benar menjadi silih bagi dosanya umat manusia. Karena itu Oom memakai urut-uruatan kronologi peristiwa secara lain, yaitu penyaliban terjadi sebelum Paskah, berbeda dengan Mark dkk. yang menaruh Paskah pada perjamuan malam terakhir. Iya kan? Saya sudah pernah katakan di sebuah milis bahwa perjamuan terakhir di mana Yesus membasuh kaki murid-murid itu bukan perjamuan Paskah, melainkan sebelumnya.

Pada awal perjamuan itu disebutkan bahwa Yesus mengasihi orang-orangnya yang di dunia ini dan betul mengasihi “eis telos”, sampai pada kesudahannya (Yoh 13:1). Ini sepertinya antisipasi atau padahan bagi kata-kata Yesus “tetelestai”, sudah terlaksana, yang diucapkannya pada saat terakhir di salib? Jadi kedua ayat itu saling menjelaskan. Ia mengasihi orang-orangnya sampai terlaksana sesuatu yang mengubah arah hidup mereka, dan hidupnya sendiri, begitu kan? Tolong dikomentarin.

Salam hangat,

Gus

PS:Ada teman yang tanya mana nomer HP-nya Oom, mau nunut kirim SMS buat Oma Miryam seperti ini 2UBOK4ever, 😉 + :-)). Kawan-kawan itu sih sekarang genggamannya hape dan bukan lagi rosario.______________

Dear Gus, Peace!

You’re absolutely right. The truth is, when he uttered “tetelestai” (Yoh 19:30), Jesus was trying to say, “Here I am, I’ve done everything to the end, now take it all, Father!” The Indonesian version “Sudahselesai” – “It’s over” – doesn’t sound quite right, I agree. Why not try “Sudahterlaksana / terpenuhi” or something to that effectAs I said, the word “tetelestai” was spoken by Jesus to his Father. But we overheard it. It teaches much about him, about God, about what love means, the thing he dwelt on during that supper – at first I thought he was just being odd. But then this “consummatumest” is the key to all that. The penny drops! Glad to hear you see the connection between sudahterlaksana/“tetelestai” and “eistelos” said about his act during the last supper (Yoh 13:1). Yes, on that background, his death on the cross gives a fuller sense to what “loving one’s own who are in the world (=still under the threat of darkness, evil power)” means. He accompanies them, and us, in our darkest moment.We can be sure now that we won’t be abandoned by the one sent by the Father to bring us back to Him, the Source of Light.

As for your second question, yes, Jesus is the true Paschal lamb. Not that the Almighty likes blood gushing out of this man, by no means! The point is, his blood acts like the lamb’s blood mentioned in Exodus 12:13. So when Jesus died on the cross in that sense, the Almighty took him and cast out darkness for good. That’s the light of His Word. Did you get it? You’re the exegete.

By the way, don’t try to reconcile my chronology of the passion with Mark’s story and all that jazz. The washing of the feet, about which those three young men know nothing, is the preface to the true Passover meal, the sacrifice of the Lamb of God on the cross, not to the last supper. Jesus shares his origin and destiny so that we can become sons and daughters of the Almighty. I read your note on the washing of the feet; I sort of like the idea of taking part in Jesus’ “sangkanparan”. See, I am no stranger to your cultural heritage.

Ma Miryam is fine. She was amused by the SMS – a young seraph taught her to read the emoticons. And she dictated her reply: Thanx>:), ;-*. But let’s not talk gibberish. I don’t use a cell phone. She does. But she prefers to keep her number unlisted.

Best,

Hans

_____________

Oom Hans yang baik!

Terima kasih banyak. Mau tanya lagi. Ini kelanjutan dari yang di atas. Ketika lembing ditusukkan, yang keluar dari lambung Yesus ialah darah dan air (Yoh 19:34). Apa sih maksud Oom? Mark dkk. tidak tahu perkara itu. Kemarin saya tanya Luc, dia bilang ah, Oom Hans aneh-aneh saja, paranormal sih. Tolong sampaikan salam buat Oma Miryam begini :-* 4U.

As ever,

Gus

______________

Dear Gus,

Like our ancestors, we imagine blood as the seat of life and water as the force that sustains life. With Jesus’ death on the cross, there came forth life and life-sustaining force – that’s what I was trying to say. I’m no physician like Luc, but I saw more. Didn’t I write somewhere in my chapter 19 that I witnessed all this. I still want to share this truth with all of you. Ugh, it’s two am!

Hans

_______________

TAMBAHAN

Masih ada beberapa soal yang kami bicarakan di beberapa kesempatan lain. Ini ringkasannya. Saya beritahukan kepadanya bahwa dalam liturgi Jumat Agung dibacakan juga Kidung Hamba Tuhan Yes 52:13-53:12. Ada satu hal yang mengusik di situ. Sang hamba itu mengalami penderitaan, dihina, dianggap sama kayak penjahat justru agar mereka yang memperlakukannya dengan kekerasan ini selamat. Tuh disebut dalam 53:4-7 bahwa sang hamba menanggung penyakit kemanusiaan, ia diremukkan karena kejahatan umat manusia, dan ia diam seribu bahasa dan terus menjalaninya. Lebih aneh lagi dikatakan, coba lihat sendiri, hamba itu “dipukul dan ditindas Allah” (53:4) dan “Tuhan berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan” (53:10). Aneh kan? Saya tanyakan apa boleh kita pahami bahwa sang hamba itu “tumbal” bagi kedosaan manusia, kambing hitamnya kebobrokan manusia? Untuk membereskan kemanusiaan Yang Maha Kuasa menimpakan hukuman yang semestinya jatuh kepada orang banyak kepada satu orang ini, hamba Tuhan itu? Menarik, tapi apa beres penalaran ini?

Jawaban Oom Hans menarik. Menurutnya boleh saja pakai teori kambing hitam, malah ia tahu ada pelbagai teori yang mirip-mirip yang sudah pernah dipakai: teori silih, denda, ganti rugi, melunasi hutang. Tetapi apa akan sampai ke pokok yang mau disampaikan Kidung itu sendiri? Begitu tantang Oom Hans. Menurut beliau, bila diamat-amati, yang hendak disampaikan dalam kidung tadi ialah peran sang hamba mendamaikan kembali manusia dengan Yang Ilahi. Malah bisa dikatakan lebih tajam lagi, sang hamba mengajak kemanusiaan mengenali kembali jejak-jejak Yang Ilahi dalam diri sang hamba yang semakin sulit dikenal karena manusia semakin kehilangan kepekaan ke sana. Yang dilakukan hamba itu ialah menunjukkan bahwa keburukan serta kekerasan manusia itu ialah kenyataan yang tidak bisa didiamkan.

Oom Hans menyarankan agar teks kidung tadi dibaca dengan empati, sampai bisa rada ikut berpikir dan merasa seperti penyairnya yang lambat laun menyadari bahwa kebobrokan dalam diri kemanusiaan – yakni penderitaan sang hamba – sebenarnya ialah penderitaan masing-masing kita, hanya kita telah terlalu mengemohi dan melupakannya dan ingin melimpahkan ke pihak lain, mengkambinghitamkannya. Lebih ironi lagi, orang malah menganggap bahwa Yang Maha Kuasa juga berlaku begitu: melimpahkan hukuman yang mestinya dijatuhkan ke umat manusia semuanya hanya kepada hambanya yang setia ini. Ayat 4 dan 10 itu sebaiknya dibaca sebagai pernyataan ironi sehingga orang bisa berpikir, bukan diambilalih sebagai dasar penegasan teologis mengenai kelakuan Yang Ilahi menuntut tumbal. Oom Hans menyarankan agar kidung itu dan tentunya kisah sengsara Yesus hendaknya didalami sebagai penjernihan batin guna mengenali keadaan manusia yang tidak menyadarinya penderitaan yang hakiki: sisi kemanusiaan yang gagal menampilkan kehadiran ilahi, dan hanya kekerasan yang entah dari mana muncul. Sang hamba dalam kidung itu menggugah orang untuk mulai sadar akan ketimpangan ini. Juga penderitaan dan kematian Yesus di kayu salib hendaknya membuat orang berpikir kembali mengenai kemanusiaan sendiri. Bila ini tafsir ini diteruskan, kita memang tidak perlu memakai gagasan tumbal atau kambing hitam dan teori-teori lain yang sifatnya statis, hanya potret kaku dua dimensi. Yang disarankan Oom Hans ialah melatih kepekaan batin mengenali jejak-jejak ilahi dalam kemanusiaan sendiri sejelek, sehina apapun. Dan jejak-jejakNya akan makin terang dan membawa kedekatNya sendiri.

Salam dari Refter Kanisius,

A. Gianto