KHABAR duka pagi ini datang dari Ende. Dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Ende, diberitakan Pastor John Dami Mukese, SVD telah menghembuskan nafas terakhirnya. Pastor sastrawan itu meninggal sekitar pkl. 02.15 WITA. Sosoknya kini telah tiada, tapi karya-karyanya akan tetap hidup.
JDM, begitu ia biasa menulis namanya di akhir setiap karya-karya puisinya. Di lingkup sastra NTT, nama Pastor John bukanlah nama kemarin sore. Sebagaimana ditulis Yohanes Sehandi dalam “Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT”, nama dan pengaruh karya-karya sastra JDM sudah mulai dikenal dan dirasakan sejak tahun 1979. Bersama dengan sejumlah nama besar lainnya seperti Yosef Pati Wenge (1978); Mikhael B. Beding (1978, 1979, 1980, 1981); Nico Ladjadjawa (1978, 1980); Edu Mikhael Dosi (1978, 1979, 1980); Yohanes Don Bosco Blikololong (1978, 1980, 1981, 1982); Willis C. Naoe (1978, 1979); David Siwa Balla (1978); (12); J Marthen ML. Duan (1979); Valens Sili Tupen (1979); (15) Bernard Tukan (1978, 1980); Kleden Suban Simon (1979, 1981, 1982); Kornelis Hugo Parera (1980); Osy Bataona (1980, 1981, 198); Paulus Lete Boro (1981, 1982, 1983); dan Umbu Landu Paranggi (1982), Pastor John mencurahkan seluruh pikiran dan jiwa puitisnya dengan berkarya di dunia sastra.
Pria kelahiran Menggol, Benteng Jawa, Manggarai Timur, Flores, NTT, 24 Maret 1950, itu pun disebut sebagai representasi sastrawan kawasan Timur Indonesia. Ia adalah perlawanan dari Chairil Anwar di Barat Indonesia. JDM termasuk penyair kedua dari generasi “Majalah Dian” yang berhasil menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Doa-doa Semesta yang diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah Ende, Cetakan ke-1 1983, cetakan ke-2 1989). Karya-karya puisi ini yang kemudian melejitkan nama JDM hingga ke tingkat nasional. Pada tahun 1980-an, ia menulis sebuah puisi panjang dengan judul “Doa-Doa Semesta” (ditulis dalam 20 bait) dan dimuat di Majalah Horison 1983.
Selain menulis puisi, mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Dian, itu juga aktif mengisi kolom opini di sejumlah media online lokal di NTT. Salah satunya adalah “Mengubah Penjara Menjadi Panggung Kemerdekaan”, dipublikasikan di provinsisvdende.weebly.com.
Kepergian Pastor John tentu saja merupakan sebuah kehilangan bagi dunia sastra NTT khusunya dan Indonesia pada umumnya. Namun gairah sastra yang telah ditorehkan melalui karya-karya puisinya akan terus dikenang dan diapresiasi para pencinta dunia sastra. Selamat jalan Pastor John!
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.