MIRIFICA.NET – Persoalan yang hendak disoroti di sini berhubungan dengan perkawinan campur, casu quo menyangkut janji pihak katolik untuk membaptis dan mendidik anak dalam Gereja katolik. Bagaimana jika, karena satu dan lain hal, janji ini ternyata tidak terpenuhi oleh pihak katolik setelah perkawinan? Bagaimana pastor paroki sebagai gembala umat membantu suami-istri yang mengalami masalah terkait hal ini demi menjaga keutuhan hidup perkawinan dan keluarga mereka? Upaya yuridis-pastoral seperti apakah yang dapat diambil dalam mengatasi persoalan seperti ini?
Perkawinan Campur
Secara yuridis, istilah perkawinan campur merujuk pada dua jenis perkawinan, yakni perkawinan campur beda gereja (mixta religio) dan perkawinan campur beda agama (disparitas cultus). Perkawinan campur beda gereja adalah perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau komunitas gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katoli. Perkawinan campur beda agama, di lain pihak, adalah perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis, sedangkan pihak lain tidak dibaptis atau menganut agama lain (Islam, Hindu, Budha, Konghucu).
Perkawinan campur beda gereja dapat dilaksanakan jika ada izinan dari otoritas Gereja yang berwenang (KHK, kan. 1124). Jika perkawinan dilangsungkan tanpa izinan, perkawiann tersebut tetap sah, namun secara teknis yuridis tidak halal (ilicit) karena bertentangan dengan authoritative prohibition Gereja. Di lain pihak, perkawinan campur beda agama dapat dilaksanakan jika ada dispensasi dari otoritas Gereja yang berwenang (KHK, kan. 1086). Dispensasi adalah pelonggaran dari daya ikat undang-undang gerejawi dalam kasus tertentu (KHK kan. 85). Tanpa dispensasi, perkawinan tidak sah (null dan void). Mengapa dalam konteks perkawinan campur beda agama dibutuhkan dispensasi dan bukan izinan seperti dalam perkawinan beda agama didasarkan atas pertimbangan bahwa pasangan tersebut tidak mempunyai dasar kesamaan dalam iman dan karena itu perkawinan ini mengandung risiko lebih besar terhadap iman pihak katolik (kehilangan iman), kesulitan dalam memberikan pendidikan iman katolik bagi anak-anak dan kesulitan dalam mewujudkan persekutuan hidup dan cinta di antara mereka. Sebaliknya, dalam konteks perkawinan campur beda gereja, pasangan tersebut sekurang-kurangnya mempunyai pengakuan iman yang sama.
Izinan atau dispensasi dapat diberikan oleh otoritas Gereja jika menurut penilaiannya ada alasan yang wajar dan masuk akal demi kebaikan spiritual umat beriman (KHK kan. 87, §1, 90, §1). Alasan yang wajar dan masuk akal misalnya, kesadaran kedua pasangan akan tanggungjawab mereka yang lahir dari sakramen perkawinan, kebaikan spiritual kedua belah pihak, menghindari bahaya perkawinan invalid secara sipil, convalidasi hubungan yang tidak sah, legitimasi anak yang lahir, adanya harapan besar pertobatan pihak non-katolik, kehamilan. Izinan atau dispensasi dapat diberikan jika pihak katolik, disamping menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman, juga menyatakan janji tertentu.
Janji Pihak Katolik
Kanon 1125, 1° menyatakan bahwa pihak katolik “sinceram promissionem praestet se omnia pro viribus facturam esse, ut universa proles in Ecclesia catholica baptizetur et educetur”, artinya memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik.
Pihak katolik harus memberikan janji yang jujur, artinya dihadapan Allah dan Gereja, yang bersangkutan sungguh-sungguh menghendaki hal tersebut dan menyadari konsekuensinya. Dengan kata lain, tidak ada dusta atau kebohongan dalam hati pada saat mengucapkan janji tersebut. Dengan disposisi batin seperti itu ia akan “berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga”, artinya berkomitmen penuh untuk mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki berbuat apa saja (yang baik) demi memenuhi janji tersebut. Tidak ada prinsip minimalis atau sekedarnya saja.
Janji tersebut berisikan tentang kewajiban untuk membaptis dan mendidik anak dalam Gereja katolik. Janji ini tidak boleh ditafsir sebagai sebuah bentuk arogansi pihak katolik atau melawan kebebasan beragama dan hak orangtua non katolik. Kewajiban untuk membaptis dan mendidik anak secara katolik bersumber dari hukum ilahi. Pihak katolik berkewajiban untuk membaptis semua anaknya (KHK, kan. 867, §1) karena hal ini berguna demi keselamatan jiwa si anak. Dengan dibaptis, ia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak Allah serta digabungkan dengan Gereja (KHK, kan. 849). Ia juga berkewajiban untuk mendidik dalam Gereja katolik. Kewajiban ini berhubungan erat dengan panggilan asli orangtua untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Kewajiban edukatif ini juga merupakan efek perkawinan. Sebagai orangtua mereka memiliki kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural maupun moral dan religius (KHK, kan. 1136).
Janji pihak katolik ini hendaknya diketahui oleh pasangannya yang non-katolik pada waktunya. Jadi, janji ini tidak boleh dibuat secara sepihak atau diam-diam. Ketentuan normatif kan. 1125, 2° sangat jelas menyangkut hal ini: “de his promissionibus a parte catholica faciendis altera pars tempestive certior fiat, adeo ut constet ipsam vere consciam esse promissionis et obligationis partis catholicae”, artinya mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga nyata baginya bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik. Waktu yang tepat untuk memberitahukan hal ini adalah segera setelah pihak katolik menyatakan janji tersebut dan sebelum permohonan izinan atau dispensasi diajukan kepada otoritas gereja yang berwenang. Penting untuk diingat bahwa pihak non-katolik tidak harus menyetujui janji pihak katolik, namun sekurang-kurangnya ia mengetahuinya dan diandaikan bahwa ia tidak menentang janji pihak katolik tersebut (sebab hal ini akan membawa pengaruh terhadap permohonan izinan atau dispensasi !)
Bagaimana Jika Janji Ini Tidak Terpenuhi ?
Dalam praktiknya, kadang-kadang apa yang dijanjikan oleh pihak katolik tidak dapat diwujudkan secara konkrit karena alasan tertentu. Ada kasus di mana pihak non-katolik menentang pembaptisan anak secara katolik, apalagi mendidiknya secara katolik. Ada pula yang menuntut jalan kompromi, sebagian dibaptis secara katolik, sebagian mengikuti agama pihak non-katolik. Sementara di pihak lain, pihak katolik tetap ngotot dan berusaha sekuat tenaga supaya semua anaknya dibaptis dan didik secara katolik sesuai dengan janji yang ia ucapkan sebelum perkawinan namun demi menghindari konflik dan dendam berkepanjangan yang dapat merusak hidup perkawinan dan keluarga, pihak katolik akhirnya menyerah pada kenyataan bahwa anak-anaknya tidak atau belum dapat dibaptis dan didik secara katolik karena kerasnya penolakan pasangannya yang non-katolik. Janjinya sebelum perkawinan untuk membaptis dan mendidik anak secara katolik tidak dapat terpenuhi.
Pertanyaannya adalah apakah pihak katolik dalam hal ini dapat dipersalahkan? Jika tidak, bagaimana hal ini dapat dijelaskan sehingga ia tidak merasa berdosa dihadapan Tuhan dan Gereja? Para gembala umat perlu menjelaskan kepadanya bahwa aturan Gereja hanya menuntut dari dirinya untuk “berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga” agar anak dibaptis dan didik secara katolik. Jika ternyata hal itu tidak terjadi kendati ia telah berusaha dengan sekuat tenaga, maka ia tidak dapat dipersalahkan secara hukum. Gereja tidak menuntut mati-matian agar janji itu terpenuhi at any cost. Bukan hasil yang dituntut Gereja, melainkan usaha dengan sekuat. Sikap Gereja dalam hal ini sangat bijak dan dapat dimengerti karena bagaimana pun pemenuhan janji untuk membaptis dan mendidik anak secara katolik juga sangat bergantung pada banyak faktor, termasuk sikap pasangan yang non-katolik.
Jalan Keluar
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jalan keluar untuk mengatasi persoalan seperti ini? Apakah boleh pastor paroki membaptis anak secara katolik karena toh jika dilakukan tetap valid dan licit sekalipun pihak non-katolik tidak menyetujuinya (KHK, kan. 868, §1)? Jalan keluar seperti ini, dalam situasi dan kondisi tertertu, kurang tepat dan malah kontra produktif. Lalu bagaimana? Ada beberapa kemungkinan jalan keluar yang dapat dilakukan pastor paroki, yakni:
Pertama, mengingatkan pihak non-katolik bahwa sebelum perkawinan, ia telah mengetahui janji pihak katolik tersebut (KHK, kan. 1125) dan karena itu secara moral ia ikut bertanggungjawab dalam upaya pemenuhan janji tersebut atau sekurang-kurangnya tidak menghalanginya. Dengan peringatan seperti ini, diharapkan pihak non-katolik mempertimbangkan kembali sikap penolakannya tersebut. Pihak non-katolik perlu diberi waktu secukupnya untuk merefleksikan sikapnya dengan tenang.
Kedua, jika setelah waktu yang diberikan, pihak non-katolik tetap pada pendiriannya semula (menentang baptisan dan pendidikan anak secara katolik) karena alasan tertentu, maka demi keutuhan hidup perkawinan suami-istri dan keluarga serta menjamin hak dan kebutuhan dasar anak akan pendidikan yang baik dan sehat, maka pastor paroki perlu mengajurkan kepada pihak katolik untuk menunda atau membatalkan pembaptisan anak secara katolik untuk sementara atau meminta keduanya sepakat bahwa pilihan utuk dibaptis atau tidak diserahkan kepada keputusan bebas si anak setelah mencapai usia dewasa. Jika pilihan yang terakhir ini yang diambil maka pastor paroki perlu mengingatkan pihak katolik akan hak dan kewajibannya yang tak tergantikan dan tak dapat dicabut dalam kaitanya dengan pengajaran dan penanaman nilai-nilai kristiani lewat pengajaran dan teladan hidup yang baik serta kasih sayang kepada si anak. Hal ini sangat penting karena sangat mempengaruhi pilihan si anak di kemudian hari untuk dibaptis secara katolik ketika ia sudah dewasa. Jika pada akhirnya ia memilih untuk dibaptis secara katolik, maka keputusannya harus dihormati oleh kedua belah pihak. Jika ia tidak memilih agama apapun, keputusan ini juga harus dihormati karena kita percaya bahwa Allah dapat mengerjakan keselamatan juga diluar sakramen baptis.
Penutup
Pilihan untuk menikah campur bukanlah sebuah pilihan yang ideal karena membawa implikasi religius, moral dan sosial yang sangat besar, khususnya menyangkut keselamatan iman pihak katolik, baptisan serta pendidikan anak-anak. Namun, demi menghormati dan melindungi hak umat beriman untuk menikah, Gereja memberikan izinan atau dispensasi untuk nikah campur jika ada alasan yang wajar dan masuk akal.
Kita bersyukur bahwa ada banyak perkawinan campur yang harmonis dan bertahan sampai sekarang. Di lain pihak, kita tidak dapat menutup mata terhadap problematika yang muncul, khususnya berkaitan dengan baptisan dan pendidikan anak secara katolik. Di sinilah hemat kami, peran penting yang dimainkan oleh pastor paroki. Selama persiapan perkawinan atau pertemuan pribadi, hal-hal yang berkaitan dengan janji pihak katolik harus dibicarakan secara jujur dan terbuka dengan pihak non-katolik dan tidak sekedar formalitas belaka. Sebagai gembala umat, ia perlu mengingatkan mereka untuk mempertimbangkan secara serius segala konsekuensi perkawinan campur sebelum memutuskan untuk menikah. Hal ini penting supaya tidak terjadi persoalan di kemudian hari menyangkut perealisasian janji pihak katolik.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.