“Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia, sebab kata mereka, ‘Ia tidak waras lagi.’” (Mrk 3, 21)
“WARAS” merupakan istilah yang tidak asing dan mudah ditemukan di banyak tempat. Bagian belakang sebuah truk terdapat beberapa tulisan, yakni: “Sing waras ngalah!; Utamakan Sarapan; CRD 48.”
Pada saat menjelang pemilu, terdapat tulisan, “Orang waras pasti tidak golput.” Ada buku yang berjudul, “Waras di zaman edan.” Ada bus dan hotel yang bernama “Sumber Waras.”
Ada juga produk jamu dengan nama, “Seger waras bikin bergairah”, dengan sebuah gambar seorang wanita muda dengan pakaian ala kadarnya.
Orang disebut “waras” kalau dirinya sudah sembuh dari sakit, jasmaninya sudah kuat, tidak ada luka atau penyakit dalam tubuhnya. Seseorang dinyatakan “waras” setelah mendapatkan pengobatan dan perawatan yang cukup. Banyak orang juga rajin minum jamu atau olah raga, agar tetap “waras” dan terhindar dari berbagai macam penyakit.
Kondisi “waras” tentu tidak hanya terbatas pada fisik, tubuh atau jasmani seseorang. “Waras” juga menunjuk pada kesehatan mental, rohani atau batin seseorang. Orang “waras” sering diandaikan bisa hidup tenang, berpikir jernih, tidak emosional, bisa mengendalikan diri.
Sebaliknya, seseorang sering dikatain “tidak waras”, kalau sikap dan perilakunya emosional, tidak terkendali, pikirannya ngelantur, merasa tertekan dan terancam, kata-katanya ngawur, perilakunya aneh dan tidak normal. Bahkan orang yang normal dan sehat pun sering dikatakan “tidak waras”, karena mereka mempunyai kemampuan dan kekuatan yang lebih besar dari kebanyakan orang lain.
Yesus sendiri dikatakan “tidak waras”. Banyak orang datang dan berkerumum di sekelilingnya. Mereka tidak hanya mendengarkan ajaran-Nya, tetapi juga disembuhkan dari berbagai macam penyakit. Yesus dan para murid sibuk melayani mereka semua, sehingga mereka tidak punya waktu untuk istirahat, tidak ada waktu untuk makan.
Mereka seolah tidak kenal lelah dan capai. Terus menerus melayani dan melayani; menyembuhkan dan menyelamatkan; memberi harapan dan suka cita. Seorang pekerja pastoral bisa berada dalam kondisi “tidak waras” lagi. Bagaimana dengan diriku?
Teman-teman selamat pagi dan selamat berkarya. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.