SALAH satu fenomena yang patut diwaspadai sekaligus memprihatinkan adalah adanya anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah yang sudah terjejali pikirannya dengan hal-hal yang sifatnya radikal.
“Ketika mereka melihat polisi berseragam, anak-anak ini sudah bisa berteriak ‘ini harus dibunuh’,”ujar Direktur Intelijen Densus 88 Anti Teror Kombes Pol Ibnu Suhendra, dalam Forum Dialog dan Literasi Media di Lembang, Bandung, Sabtu(14/10).
Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2016, kata Ibnu, menyebutkan 25 persen siswa sekolah menyatakan Pancasila tidak relevan. 21 persen guru sekolah juga menyatakan bahwa pancasila tidak relevan. 84 persen siswa sekolah menengah bahkan menyebutkan setuju syariat Islam. “Empat persen bahkan setuju dengan ideologi ISIS.”ujar Ibnu.
Menurut Ibnu, ini merupakan efek seruan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh ISIS (Islamic State of Iraq and Syria atau Negara Islam Irak dan Suriah). Dampak dari seruan Bahrun Naim di media sosial. Karena itu, tak heran bila ada perempuan-perempuan yang ingin melakukan bom bunuh diri. Bahkan ada anak dosen (usia 14 tahun) Universitas Airlangga Surabaya yang terpengaruh hingga bisa belajar membuat bom sendiri dan menyatakan ingin mati.
“Para pelaku bom di Gereja Okumene di Samarinda bahkan tiga orang di antaranya berusia 14,15, dan 16 tahun,”tegas Ibnu.
Ibnu menyebutkan, pemanfaatan ibu dan anak-anak ini tentu saja punya alasan tersendiri. Bisa jadi ini merupakan strategi para teroris untuk mengecoh polisi. “Kalau sudah jelas tergabung dengan kelompok-kelompok ini kan mudah dicegah dan diantisipasi, tapi kalau mereka ini biasanya tidak terorganisasi. Jadi agak sulit dikontrol,”ujar Ibnu.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI