Beranda BERITA Inkulturasi Liturgi di Indonesia Sangat Menarik

Inkulturasi Liturgi di Indonesia Sangat Menarik

Di Indonesia, bicara mengenai inkulturasi apalagi inkulturasi liturgi sangatlah menarik. Alasan pertama karena tema inkulturasi termasuk tema sentral dalam Gereja Katolik dan diskusi teologi pada abad XX dan abad XXI.

Pakar Liturgi RD. Emanuel Martasudjita, sebagai salah satu Narasumber dalam Rapat Pleno Nasional Komisi Liturgi KWI 2023 di Bali, mengungkapkan hal di atas, saat memberikan pencerahan kepada peserta pleno dengan topik pembicaraan “Keragaman Inkulturasi Liturgi di Indonesia,” Selasa (23/8) siang.

Rm. Martasudjita, melanjutkan, alasan kedua mengapa inkulturasi itu menarik karena Gereja Katolik di Indonesia dapat dikatakan sebagai Gereja yang masih muda, sehingga tema inkulturasi menjadi tema yang relevan, penting bahkan mendesak.

Alasan berikutnya, inkulturasi itu sebagai bagian dari teologi kontekstual menuntut pendekatan yang interdisipliner, atau bahkan trans- atau multidisipliner, sehingga pembicaraan mengenai inkulturasi mengandaikan Kerjasama dan kolaborasi dari banyak ahli, pemerhati dan pelaku dari berbagai bidang ilmu.

Alasan keempat, inkulturasi juga sebagai ilmu humaniora umumnya masih relatif muda, sehingga istilah dan pengertian tentang inkulturasi sendiri masih bersifat cair dan terus didiskusikan dan bahkan sering menimbulkan kesalahpahaman.

“Sebagai istilah dan ilmu, inkulturasi memang masih muda, tetapi sebagai praktek, inkulturasi sudah setua usia Gereja sendiri,” imbuh Guru Besar di bidang Liturgi Katolik ini.

Menurut Romo Martasudjita, dengan memberi judul makalahnya ‘Keragaman Inkulturasi Liturgi di Indonesia’ mau ditunjukkan warna-warni gerak Langkah inkulturasi liturgi di Indonesia.

Ajaran Gereja tentang Inkukturasi

Lebih lanjut Rm. Martasudjito, memaparkan mengenai pokok ajaran Gereja mengenai inkulturasi pada umumnya dan inkulturasi liturgi pada khususnya. Dikatakan, pada hakekatnya, inkulturasi merupakan dialog atau hubungan timbal balik antara Injil dan budaya.

“Sejarah Gereja sendiri memiliki catatan yang menarik sehubungan dengan dinamika relasi Gereja dan budaya,” ungkapnya.

Menurut garis besarnya, lanjutnya, pada masa Gereja perdana dan abad-abad pertama, pandangan Gereja masih terbuka dan mengakui pluralistik budaya dalam Gereja. Tetapi semenja abad IV hingga pertengahan pertama abad XX, Gereja lebih berpandangan monolistik tentang budaya.

“Dalam Gereja pada masa panjang itu, hanya ada satu budaya saja, yaitu budaya Eropa. Baru semenjak Paus Pius XII dan terutama puncaknya dalam Konsili Vatikan II, Gereja kembali terbuka dan mengakui pluralisme budaya dalam Gereja,” katanya.

Menurut Rm. Martasudjita, sudah pada dokumen pertama Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Consilium (SC), dinyatakan keterbukaan Gereja terhadap keberagaman budaya. “Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman dan kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku (SC 37),” ungkap Rm. Martasudjito.

Di sisi lain, menurut Pakar Liturgi ini, bahwa ijin penggunaan Bahasa pribumi dalam liturgi jelas mengungkapkan pengakuan Gereja atas pluralitas budaya ini.

“Penggunaan Bahasa pribumi dalam liturgi sebenarnya bukan hanya masalah inkulturasi, tetapi justru tunas pengakuan atau tekanan Konsili Vatikan II atas pentingnya Gereja Lokal. Kalau semula Gereja Katolik adalah Gereja yang berpusat di Roma, sekarang Gereja Katolik juga hadir dan ada pada Gereja Lokal,” terangnya.

Rm. Martasudjita, menambahkan bahwa pengakuan pluralitas budaya dalam Gereja terdapat di banyak dokumen Konsili Vatikan II dan tentu saja dilanjutkan oleh para Paus, seperti Paulus VI, Yohanes Paulus II, Benediktus XVI dan Fransiskus sekarang.

Namun, istilah dan pengertian inkulturasi baru benar-benar disebut dan diperdalam oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam ensiklik Redemptoris Missio (RM), Santo Paulus Yohanes Paulus II, memahami inkulturasi sebagai proses yang panjang dan memberikan dasarnya bahwa inkulturasi bukanlah sekedar suatu penyesuaian atau adaptasi luaran semata-mata. Tetapi suatu transformasi Nilai-nilai kebudayaan autentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristinan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia (RM 52).

Sementara Paus Benediktus XVI, juga memandang penting inkulturasi sebagai bagian tak terpisahkan dari evangelisasi dengan menyebut “Evangelisasi dan Inkulturasi merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Kedua unsur ini harus ada jika Injil Yesus Kristus benar-benar ingin menjelma dalam kehidupan orang-orang dari setiap ras, bangsa, suku dan bahasa.”

Paus Fransiskus juga sangat mendukung dan mendorong inkulturasi ini. Paus Fransiskus memandang inkulturasi sebagai proses Ketika Gereja membawa masuk bangsa-bangsa dengan seluruh kebudayaannya ke dalam komunitas Gereja dan sekaligus saat Gereja mengambil nilai-nilai dari berbagai budaya itu (Evangelii Gaudium 116).

Kemudian dijelaskan pula tujuan dari inkulturasi yaitu agar hal-hal yang kudus dari Injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas dan umat dapat menangkapnya lebih mudah dan dapat berpartisipasi secara penuh sadar dan aktif menurut cara yang khas dari jemaat (umat).

Inkulturasi Liturgi

Rm. Martasudjito, selanjutnya menerangkan tentang inkulturasi liturgi. Inkulturasi liturgi, katanya, hanyalah salah satu bidang inkulturasi. “Pembaruan liturgi pada awal abad XX dimulai justru dari musik liturgi. Paus Pius X menerbitkan ‘Motu Proprio Tra Le Sollecitudini’ yang mengajak umat untuk lebih berpartisipasi aktif dalam musik liturgi Gereja,” terangnya.

Kemudian, lanjutnya, pada pembaruan liturgi Konsili Vatikan II, berbagai unsur liturgi warisan zaman Patristik kembali dipugar dan direvitalisasi dalam terang paham teologis yang baru. Dalam hal inkulturasi, terobosan yang sangat berarti dari Konsili Vatikan II ialah pemberian ijin bagi penggunaan bahasa pribumi untuk liturgi, yang semula dimaksudkan agar umat dapat merayakan liturgi dengan sadar atau mengerti apa yang dirayakan.

Potret Inkulturasi Liturgi Indonesia

Romo Martasudjita, kemudian menyampaikan potret singkat inkulturasi liturgi di Indonesia. Menurut Rm. Martosudjita, gerak dan upaya inkulturasi liturgi pada tahun 1970-1980-an di Indonesia, jauh lebih kreatif dan lebih maju dibandingkan masa-masa kemudian hingga sekarang.

Hal itu didasarkan pada publikasi-publikasi buku liturgi yang dikeluarkan oleh PWI Liturgi (sekarang Komisi Liturgi KWI). Contoh paling mencolok, katanya, adalah penerbitan TPE 1979 yang benar-benar ‘revolusioner’ seperti keberanian Tim Liturgi waktu itu yang menyertakan umat untuk berpartisipasi dalam mendoakan sebagian teks Doa Syukur Agung, menyusus DSA I hingga X di dalam teks TPE 1979, mencipta dan memasukan sekian teks prefasi yang kontekstual dengan Indonesia, seperti Prefasi Tanah Air, Prefasi Panen, dan sebagainya.

Menurut Rm. Martasudjito, di Indonesia, inkulturasi liturgi yang paling maju atau terus berkembang adalah musik liturgi, sedangkan yang kurang maju dalam inkulturasi adalah Gedung atau bangunan gereja.

“Dibandingkan para ahli liturgi atau akademisi lainnya, para seniman jauh lebih kreatif dan tidak berhenti berkreasi,” imbuhnya, seraya menambahkan, bahwa hal itu terlihat dari penerbitan buku-buku musik dan nyanyian liturgi. Madah Bakti, lanjutnya, harus dicatat pertama karena buku ini memuat sejarah panjang dalam mengupayakan inkulturasi musik liturgi. Selanjutnya Puji Syukur yang tetap memuat nyanyian liturgi inkulturatif, meski jumlahnya lebih sedikit dari Madah Bakti.

Dari Indonesia Timur, juga ada beberapa koleksi antara lain ‘Gita Bahana’ yang memuat lagu ciptaan Ladislaus Naisaban.

“Kekayaan budaya Nusantara dengan ribuan suku dan budaya, kiranya menjadi ladang subur bagi terus terciptanya nyanyian-nyanyian inkulturatif yang dapat digunakan dalam liturgi Gereja,” katanya.

Namun demikian, lanjutnya, inkulturasi liturgi yang lumayan tetapi belum maksimal diupayakan adalah menyangkt simbol-simbol liturgi seperti tata ruang, tata busana dan tata waktu.
Tata ruang tampak melalui inkulturasi Gedung gereja yang bernuansa dan diperkaya dengan simbol-simbol daerah setempat, misalnya gedung gereja di Ganjuran-Yogyakarta, Pangururan di Danau Toba dan Palasari-Bali.

Tata busana juga lumayan diinkulturasikan seperti kasula yang bermotif batik atau motif daerah tertentu. Tata waktu tentu saja tampak misalnya penyelenggaraan Misa Kudus pada Malem Jumat Kliwon, Malem Suro, Imlek, dan sebagainya.

Romo Martasudjito juga memberi catatan kritis bahwa inkulturasi liturgi di Indonesia lebih bergerak di bidang praktis dan pragmatis, tetapi dari segi pengetahuan dan penelitian mengenai inkulturasi kurang berkembang.

Hal menarik lainnya, menurut Rm. Martasudjita, adalah saat pandemi yang lalu, umat Katolik mengenal adanya misa on line. Misa on line atau live streaming dapat dikatakan sebuah bentuk inkulturasi yang baru, yakni menyangkut medianya melalui media digital. Walaupun memang misa on line tidak dapat menggantikan misa langsung di gereja dengan sekian argument teologis-liturgis, akan tetapi untuk situasi darurat.

Di bagian akhir, Romo Martasudjita mengomentari TPE 2020. Katanya, teks TPE 2020 sudah merupakan inkulturasi liturgi di Indonesia. “Ada banyak hal dan unsur yang sungguh-sungguh telah disesuaikan dengan budaya Indonesia,” katanya.***


Hironimus Adil/KomsosKD