Suatu hari, Tamabana, seorang kepala suku Maori dari Selandia Baru, mendapat suatu kesempatan luar biasa, yaitu berdarmawisata ke Inggris. Sesampai di kota London, ia ditemani seorang pegawai kotapraja melihat-lihat keindahan kota London. Kepada Tamabana diperlihatkan istana-istana para bangsawan dan raja-raja Inggris. Bahkan istana Buckingham yang terkenal itu pun dilewatinya.
Dengan penuh kebanggaan pegawai kotapraja itu berkata, “Hai Tamabana, bukankah istana-istana di Inggris ini sangat indah?”
Tamabana menjawab, “Ah… rumah Bapaku masih jauh lebih indah daripada istana ini.”
Mendengar jawaban seperti ini, pegawai kotapraja itu menjadi heran sekali, ia berkata: “Masak rumah bapamu lebih bagus dari istana Buckingham ini?”
Dengan tenang Tamabana, seorang beriman yang saleh menjawab, “Ya, tentu saja rumah Bapaku di sorga lebih bagus daripada istana ini, sebab pondasinya saja dibuat dari 12 macam batu permata yang amat mahal harganya. Belum lagi pintu gerbangnya yang dibuat dari mutiara dan jalan-jalannya dibuat dari emas.”
Mendengar jawaban semacam ini si pegawai kotapraja ini terdiam seribu bahasa, sebab ia mau tidak mau harus mengakui kebenaran kata-kata Tamabana ini.
Kesadaran akan hidup abadi sering kurang dirasakan selama orang masih hidup di dunia ini. Apalagi orang itu masih muda dan sedang aktif dalam berbagai kegiatan. Padahal hidup di dunia ini hanyalah sementara saja. Hidup ini seperti orang yang berkemah. Tidak lama. Orang akan beralih ke kehidupan yang lain.
Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa Tuhan sudah menyediakan bagi kita kediaman yang abadi. Suatu kediaman yang tidak akan binasa oleh serangan rayap. Kalau manusia berani memperjuangkan kehidupan abadi, ia akan meraihnya kelak. Namun sebenarnya hidup abadi itu sudah dimulai sejak orang masih hidup di dunia ini.
Dalam salah satu pengajaran-Nya, Yesus mengatakan bahwa kehidupan abadi itu diperoleh dengan berbuat baik kepada semakin banyak orang. Caranya adalah dengan memberi makan mereka yang lapar. Memberi minum kepada yang haus. Orang mesti peduli terhadap sesamanya yang sakit dengan mengunjunginya. Orang beriman mesti memberi perhatian kepada sesamanya yang sedang berada dalam kesusahan dan kesulitan hidup.
Karena itu, orang beriman yang benar adalah orang yang mau melaksanakan imannya dalam hidupnya sehari-hari. Iman tanpa perbuatan yang nyata itu pada hakekatnya adalah mati. Iman itu mesti diwujudnyatakan dengan perhatian kepada sesama yang membutuhkan pertolongan.
Mari kita berusaha mewujudkan iman kita dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian iman kita berbuahkan kebaikan, cinta kasih dan pengharapan bagi kita dan sesama. Tuhan memberkati.
Ilustrasi: Kerajaan Allah (foto diambil dari www.theendlesslife.org)
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); sekarang Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Palembang dan Ketua Signis Indonesia; pengelola majalah “Fiat” dan “Komunio” Keuskupan Agung Palembang.