MIRIFICA.NET – Dalam sebuah kesempatan berbicang-bincang dengan seorang rekan imam, muncul pertanyaan spontan tentang kasus ‘imam gadungan’ yang pernah terjadi di sebuah tempat, pada suatu waktu. Jika yang bersangkutan pernah memberikan ‘pelayanan’ sakramen kepada umat beriman, apakah sah? Jika tidak, bagaimana hal tersebut dibereskan secara hukum kanonik? Tindakan preventif seperti apakah yang harus dilakukan Gereja demi mencegah terjadinya hal seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan serius seperti ini perlu dijawab secara serius pula, sekalipun mungkin jawaban yang diberikan tidak memuaskan.
Kasus imam gadungan memang jarang terjadi. Namun beberapa waktu lalu, tepatnya tahun 2016, kasus seperti ini terjadi Amerika Serikat. Kepolisian Los Angeles berhasil menangkap Erwin Mena, seorang imam gadungan, mantan seminaris, yang selama bertahun-tahun berhasil membohongi umat dan beberapa pastor di balik kehalusan tutur kata dan penampilan fisik dan cara berpakaian yang menarik dan sopan layaknya seorang imam. Banyak keuntungkan finansial yang ia peroleh, termasuk menipu umat paroki dengan menjual tiket palsu senilai ribuan dolar untuk bertemu Paus Fransiskus di Vatikan. Ia juga berhasil mengelabui seorang pastor paroki yang pada saat itu sedang mencari pastor pengganti untuk mengisi kekosonngan selama pastor tersebut mengambil cuti liburan (Bdk. https://www.catholicnewsagency.com/news/bizarre-details-emerge-as-fake-priest-gets-busted-in-la-80065). Penangkapannya menghebohkan umat, khususnya mereka yang pernah mendapat ‘pelayanan’ darinya, seperti pelayanan sakramen ekaristi, perkawinan, baptis, pengakuan dosa, pengurapan orang sakit, dan lain sebagainnya.
Siapa itu Imam Gadungan?
Tidak ada definisi baku tentang imam gadungan. Sebagai sebuah definisi tentatif yuridis, kami memahami imam gadungan sebagai seseorang yang bukan imam, dengan tahu dan mau, nekat melakukan pelayanan sakramen bagi umat beriman. Frase “seseorang bukan imam” hendak menegaskan bahwa si subyek, de facto dan de iure, tidak pernah ditahbiskan sebagai imam Katolik. Frase “dengan tahu dan mau” hendak menggarisbawahi tindakan si subyek yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Hal itu berarti bahwa hanya seseorang yang dapat menggunakan akal budi sajalah yang dapat melakukan tindakan seperti ini. Dengan kata lain, orang yang mabuk atau orang yang mengalami gangguan mental, tidak termasuk dalam kategori subyek yang dapat melakukan tindakan simulatif contra legem seperti ini.
Problematika menyangkut keabsahan sakramen dan jalan keluarnya
Efek perbuatan seorang imam gadungan sangat beragam. Di samping berdampak pada hal-hal yang bersifat ekonomis, efek paling berat adalah menyangkut validitas sakramen yang telah dilayaninya, seperti ekaristi, baptisan, pengurapan orang sakit, perkawinan, pengakuan dosa. Dalam hubungan dengan sakramen ekaristi, dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikannya tidak sah. Kitab Hukum Kanonik, kan. 900, §1 secara eksplisit menyatakan bahwa “minister, qui in persona Christi sacramentum Eucharistiae conficere valet, est solus sacerdos valide ordinatus”, artinya pelayan, yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah imam yang ditahbiskan secara sah. Pelayanan sakramen tobat yang dilakukan juga invalid karena pelayan yang sah “solus sacerdos”, hanyalah imam (bdk. kan. 965). Invaliditas pelayanannya juga berkaitan dengan sakramen pengurapan orang sakit sebab sebagaimana ditegaskan dalam kanon 1003, §1 “unctionem infirmorum valide administrat omnis et solus sacerdos”, setiap imam dan hanya imam dapat melayani pengurapan orang sakit secara sah. Juga sakramen perkawinan yang dilayani oleh imam gadungan tersebut ipso facto invalid karena cacat forma kanonika. Kanon 1108, § secara tegas menyatakan bahwa perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan dihadapan Ordinaris Wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon yang dberi delegasi.
Lalu bagaimana dengan pelayanan sakramen baptis? Apakah kita dapat langsung mengatakan bahwa baptisan yang dilakukan oleh si imam gadungan tersebut tidak sah? Sabar dulu. Ada kemungkinan baptisan tersebut valid mengingat bahwa dalam keadaan membutuhkan, siapa pun yang mempunyai intensi atau kehendak yang semestinya dapat melakukan hal tersebut (bdk. kanon 861, §2). Jika kita mengasumsikan bahwa si imam gadungan tersebut memiliki intensi tersebut, maka baptisan yang dia berikan sah. Di sini prinsip teologis-dogmatis “intentio faciendi quod facit Ecclesia” intensi untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja, dapat diaplikasikan. Sebaliknya, jika intensi seperti ini sangat diragukan keber-ada-annya dalam diri si imam gadungan tersebut seturut penilaian otoritas gereja yang berwenang, maka dapat dilakukan baptisan ulang sub conditione.
Bagaimana pun persoalan menyangkut ketidakabsahan sakramen yang dilayani oleh imam gadungan tersebut harus dibereskan seturut ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan sakramen perkawinan, jika ia pernah ‘melayani’ sakramen perkawinan, maka perkawinan tersebut harus diteguhkan kembali, baik oleh pastor paroki maupun oleh imam atau diakon yang diberi delegasi untuk itu. Jika ia pernah menerima stips untuk mengaplikasi intensi misa tertentu (sekurang-kurangnya dari pengakuan umat yang memberi stips) maka aplikasi misa untuk intensi tersebut harus dijadwalkan kembali dan dirayakan secara pantas (bdk. kan. 949). Jika ia telah meng ‘konsekrasi’-kan hosti yang kemudian disimpan di tabernakel, maka pastor paroki harus membuangnya, sekalipun cuma Allah yang mengetahui secara pasti berapa banyak hosti yang tidak dikonsekrir yang diterima umat selama pelayanan misa imam gadungan tersebut. Invaliditas pengakuan dosa lebih kompleks untuk dibereskan. Secara teknis, umat beriman diwajibkan mengakukan semua dosa berat, sementara untuk dosa ringan umat dianjurkan namun tidak diwajibkan (bdk. kan. 988). Peniten yang pernah mengaku dosa berat kepada imam gadungan tersebut tidak mendapat absolusi yang sah, sekalipun hal ini bukan merupakan kesalahan peniten. Barangkali cara yang dapat dilakukan adalah siapapun yang merasa pernah mengakukan dosa berat kepadanya harus datang mengaku dosa kembali di hadapan imam yang sesungguhnya.
Celebret Sebagai Instrumen Pencegahan
Kasus imam gadungan membuka mata pastor paroki dan otoritas Gereja Lokal untuk bersikap waspada dengan melakukan tindakan preventif yuridis terhadap siapapun yang memperkenalkan diri sebagai pastor tamu yang tidak dikenal dan yang berasal dari luar wilayah keuskupan. Diantara bentuk pencegahan yang diatur dalam hukum adalah melalui pengontrolan terhadap celebret.
Secara umum celebret dimengerti sebagai sebuah surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh otoritas gereja yang berwewenang kepada imam, casu quo Uskup Diosesan (untuk imam diosesan) dan Superior (untuk imam tarekat religius) untuk merayakan Misa secara valid dan licit di luar keuskupannya. Surat rekomendasi ini memberikan jaminan bahwa imam yang bersangkutan adalah imam in good standing dan bebas dari censura kanonik dan karena itu dapat diizinkan untuk merayakan Misa dan pelayanan sakramen-sakramen di luar keuskupannya.
Pada umumnya surat rekomendasi ini berbentuk kartu yang di bagian depannya ditunjukan, dalam bahasa resmi negara setempat, data pribadi imam dengan tanggal penahbisan, inkardinasi dalam klerus sekuler atau dalam tarekat religius, dan foto; dan pada bagian belakang, dalam bahasa Latin, dinyatakan bahwa imam dilengkapi dengan fakultas habitual untuk berkhotbah (kan. 764), untuk melaksanakan ibadah ilahi (kan. 835), atau untuk secara sah merayakan Ekaristi, dan untuk mendengarkan pengakuan ( kan. 967). Pada bagian bawah tertera tanda tangan Uskup Diosesan atau Supererior dengan capnya. Tanda tangan dan dicap resmi dari otoritas gereja yang mengeluarkannya memberikan jaminan hukum terkait keaslian dokumen dan mencegah pemalsuan.
Gereja menggariskan ketentuan normatif menyangkut celebret dalam kanon 903: “Imam hendaknya diizinkan untuk merayakan meskipun ia tidak dikenal oleh rektor gereja, asalkan ia menunjukkan surat rekomendasi (celebret) dari Ordinarisnya atau Pemimpinnya, yang dibuat sekurang-kurangnya dalam tahun itu, atau asal dapat diperkirakan dengan arif, bahwa ia tidak terhalang untuk merayakan Misa”. Ketentuan normative ini mengandung beberapa hal penting sebagai berikut:
Pertama, jika imam tamu muncul di gereja dan ia sudah dikenal oleh pastor paroki atau imam lain yang berada di situ, maka ketentuan kanon 903 ini tidak berlaku. Jika imam tamu tersebut adalah teman kelas pastor paroki atau pastor rekan di seminari tinggi atau yang bersangkutan sudah dikenal luas, maka imam tamu tersebut sudah “dikenal”. Oleh karena ia sudah dikenal maka tidak ada alasan untuk menuntut tambahan bukti terkait bona fide dari imam tamu tersebut. Ia dapat langsung merayakan ekaristi, tanpa syarat-syarat tambahan.
Kedua, situasi tentu berbeda jika imam tamu tersebut mengetuk pintu pastoran dan pastor paroki tidak mengenal sama sekali identitas yang bersangkutan. Bagaimana pastor paroki dapat memastikan bahwa yang bersangkutan adalah sungguh-sungguh imam yang baik ataukah imam yang sedang terkena hukuman suspensi atau dapat terjadi seorang yang sedang mengalami depresi dan berkhayal sebagai seorang imam? Sebagai dinyatakan dalam kan. 903, seorang yang sungguh-sungguh imam dapat menunjukkan celebret-nya. Dan penting untuk diingat bahwa tidak ada seorang imam katolik pun yang merasa tersinggung jika kepadanya diminta untuk menunjukkan surat rekomendasi kepada seorang pastor paroki misalnya, yang tidak mengenalnya demi membuktikan identitasnya sebagai imam.
Penutup
Deo gratias, kasus imam gadungan jarang atau hampir tidak terjadi di tempat kita, namun bagaimana pun, kendati tidak diharapkan, kasus ini bisa terjadi. Gereja telah memiliki instrumen yuridis antisipatoris untuk mendeteksi hal seperti melalui ketentuan menyangkut celebret. Ketentuan ini wajib diketahui oleh para imam dan harus diperhatikan oleh Uskup Diosesan dan Superior Tarekat Religius. Ketentuan normatif ini tidak hanya dimaksudkan untuk melindungi hak seorang imam merayakan Ekaristi (bdk. kan. 900, §2) melainkan juga untuk melindungi hak umat beriman mendapatkan pelayanan sakramen yang licit dan valid (bdk. kan. 213 dan 214).
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.