Dalam kesempatan berbincang-bincang dengan beberapa rekan imam muda baru-baru ini tentang sakramen tobat, muncul pertanyaan seputar fakultas untuk mendengar pengakuan dosa. Seorang di antara imam muda itu, yang tampaknya memiliki minat besar dalam bidang teologi sakramen, mengajukan sebuah pertanyaan dengan nada simpatik, ’Mengapa hukum Gereja menambahkan syarat adanya fakultas demi keabsahan absolusi ? Tidak cukupkah kuasa yang diterima seorang imam pada saat tahbisan? Apakah fakultas itu semacam kuasa baru selain kuasa tahbisan imamat? Siapa yang berhak memberikan fakultas? Apalah fakultas itu yang diberikan itu otomatis berlaku di mana-mana ? Apakah fakultas itu dapat dicabut kembali?
Pertanyaan-pertanyaan kritis-reflektif seperti ini selalu menarik untuk digumuli secara serius. Bukan terutama untuk memuaskan rasa ingin tahu tetapi lebih daripada itu untuk memahami ratio legis di balik ketentuan normatif menyangkut fakultas dalam konteks sakramen tobat. Tulisan kecil ini coba menawarkan jawaban yang barangkali tidak baru sama sekali, tetapi sekurang-kurangnya membuka wawasan yang berguna untuk pencarian lebih lanjut yang komprehensif.
Imam dan Fakultas
Seturut ketentuan hukum kanonik, pelayanan sakramen tobat ’solus sacerdos’, hanyalah imam (bdk. kan. 965). Istilah ’imam’ di sini mencakup uskup dan presbiter. Dengan demikian mengecualikan kemungkinan untuk mengaku dosa kepada diakon, katekis, bruder atau awam lainnya. Berkat sakramen tahbisan suci, para Uskup sebagai pengganti para rasul dan presbiter sebagai rekan kerja uskup mempunyai kewenangan untuk mengampuni dosa (bdk. Katekismus Gereja Katolik, n. 1461). Ketentuan normatif ini merujuk pada deklarasi Konsili Trente (bdk. Konsili Trente, kan. 10, Sess. XIV, cap. 6).
Di lain pihak, kanon 966, §1 secara eksplisit menyatakan bahwa untuk sahnya absolusi dituntut bahwa pelayan memiliki, selain kuasa tahbisan, juga fakultas melaksanakan kuasa itu terhadap umat beriman yang diberi absolusi. Dengan ketentuan ini, Legislator hendak mengingatkan para imam bahwa dalam keadaan normal, status sebagai seorang imam saja tidaklah cukup. Seorang imam harus juga memiliki fakultas untuk memberikan absolusi kepada orang yang datang kepadanya untuk mengaku dosa (bdk. kan. 966). Dalam situasi biasa atau normal, seorang imam tidak dapat memberikan absolusi secara sah jika ia tidak memiliki fakultas.
Dalam konteks sakramen tobat, fakultas adalah otorisasi yang diberikan oleh otoritas gerejawi yang berwenang yang memberikan kapasitas kepada seorang imam untuk dapat memberikan absolusi secara valid kepada peniten. Fakultas tidak memberikan kepada imam kuasa baru untuk melaksanakan pelayanan sakramen tobat. Fakultas bukanlah kuasa untuk memberikan absolusi, melainkan otorisasi untuk menggunakan secara valid kuasa yang telah diterima melalui sakramen tahbisan.
Pertanyaan lebih lanjut adalah mengapa fakultas ini sedemikian penting dan menentukan validitas absolusi dan karena itu seorang imam harus memilikinya untuk dapat melayani sakramen tobat? Terkait hal, penting untuk diingat beberapa prinsip dasar berikut, pertama, fakultas menggarisbawahi dimensi eklesial pengampunan dosa yang mewujudkan secara lebih jelas karakter dasar pelayanan para imam sebagai rekan kerja Uskup Diosesan; kedua, fakultas juga menggarisbawahi aspek teologis pelayanan sakramen tobat seorang imam yang bertindak ’in persona Christi’ dan sekaligus ’in nome Ecclesiae’; ketiga, fakultas dapat dipandang sebagai alat pelindung yang berguna demi kebaikan umat beriman. Umat berhak mendapat pelayanan sakramen tobat yang sah dan pantas dari seorang ima. Fakultas memberikan jaminan untuk itu.
Bagaimana Imam Memperoleh Fakultas?
Dalam bahaya maut, semua imam mempunyai fakultas untuk mendengarkan pengakuan dosa umat dan pada prinsipnya diwajibkan untuk melakukan hal tersebut (bdk. Kan. 986, §2). Kebutuhan mendesak umat yang berada dalam keadaan sekarat mengesampingkan semua ketentuan normatif terkait pengakuan dosa karena perhatian utama Gereja dalam situasi seperti ini adalah memastikan bahwa yang bersangkutan dapat diampuni dosa-dosanya pada saat kritis tersebut. Bahkan seorang imam yang telah mendapat laisasi atau seorang imam yang disuspensi atau diekskomunikasi yang dilarang untuk melayani sakramen, mempunyai kuasa dan kewajiban untuk mendengarkan pengakuan umat beriman yang sedang dalam keadaan sekarat (bdk. Kan. 976). Namun situasi darurat sebagaimana disinggung di sini merupakan pengecualian dari norma umum.
Dalam keadaan biasa, untuk mendengarkan pengakuan dosa secara rutin seorang imam pada umumnya diberikan fakultas oleh uskupnya pada saat tahbisannya (bdk. Kan. 969, §1). Peraturan tentang fakultas pengakuan dosa untuk para imam religius sedikit lebih rumit; tetapi konsep dasarnya sama. Uskup Diosesan pada akhirnya yang menentukan para imam dapat atau tidak dapat mendengarkan pengakuan dosa umat beriman di keuskupannya. Imam yang telah memperoleh fakultas untuk mendengar pengakuan dosa dapat melaksanakan fakultas itu di mana pun (bdk. Kan. 976, §2).
Syarat Pemberian Fakultas
Norma kanonik 970 menetapkan bahwa fakultas diberikan hanya kepada imam yang terbukti cakap melalui ujian atau yang kecakapannya telah nyata dari cara lain. Jika kita mengikuti alur ketentuan ini, maka menjadi jelas bahwa seorang imam tidak boleh diberikan fakultas untuk mendengarkan pengakuan dosa kecuali ia telah diperiksa secara seksama dan kemampuannya untuk mendengarkan pengakuan dosa tidak diragukan. Dengan kata lain, fakultas tidak secara otomatis diberikan kepada seorang imam. Uskup Diosesan terlebih dahulu harus mendapatkan kepastian terkait kecakapannya. Hal ini dapat diperoleh melalui ujian atau cara lain, terlebih dalam konteks pemberian fakultas untuk pertama kalinya.
Verifikasi kecakapan ini sepenuhnya menjadi kewenangan Uskup Diosesan. Hal-hal penting menyangkut pengetahuan teologi sakramen dan teologi moral, kemampuan diskresi dan kearifan sikap, integritas serta ketaatan terhadap norma liturgis menjadi bagian dari verifikasi tersebut. Dalam praktiknya, ketika seorang seminaris telah berhasil menyelesaikan semua studinya, dan dinyatakan siap untuk ditahbiskan menjadi imam, uskup menerima hal ini sebagai indikasi yang cukup bahwa yang bersangkutan memiliki pengetahuan teologi moral yang memadai serta pengetahuan lainnya untuk mendengarkan pengakuan dosa.
Dalam hubungan dengan hal ini penting untuk merenungkan kembali pernyataan Santo Yohanes Paulus II. Dalam Reconciliatio et Paenitentia, beliau mengataan bahwa demi pelaksanaan yang efektif, bapa pengakuan harus memiliki kualitas manusiawi seperti kebijaksanaan, discerment serta ketegasan yang dibalut dengan kelembutan. Selain itu, ia harus memiliki persiapan yang serius dalam bidang teologi, pedagogi, psikologi. Namun diatas semuanya itu, ia harus menghayati kehidupan spiritual yang intens dan murni mengingat bahwa untuk menuntun orang lain di sepanjang jalan menuju kesempurnaan kristiani, ia sendiri harus terlebih dahulu menempuh jalan yang sama (bdk. Reconciliatio et Paenitentia, n. 29).
Di tempat pengakuan dosa, seorang imam bertindak lebih dari sekedar menumpangkan tangan sambil mengucapkan kata-kata absolusi ’Ego te absolvo a peccatis tuis …”, melainkan bertindak sebagai medicus dan iudex sekaligus. Sebagai medicus, seorang imam bertindak ibarat seorang dokter yang hadir untuk mendiagnosa ’penyakit’ secara cermat, dan sekaligus sebagai iudex, hakim yang menginterogasi secara lembut untuk kemudian memberikan penilaian secara objektif. Persis disinilah peran krusial yang dimainkan oleh seorang imam pada saat melayani pengakuan dosa. Bagian signifikan dari tugasnya mencakup nasehat dan arah tertentu kepada peniten bagaimana menghindari dosa di masa depan, atau mungkin menjelaskan kepada peniten bahwa perbuatan-perbuatan yang dia akui tidak termasuk dalam kategori dosa. Seorang imam harus memilah-milah narasi rumit seseorang untuk mengidentifikasi apa sebenarnya tindakan berdosa itu, memisahkan perbuatan-perbuatan kehendak yang termasuk dalam kategori dari sekadar emosi (yang pada dasarnya tidak berdosa sama sekali). Dengan kata lain, untuk dapat melayani pengakuan dosa, dibutuhkan adanya pengetahuan teologis yang mumpuni dalam diri seorang imam dibarengi dengan keterampilan logika yang kuat dan akal sehat yang tinggi!
Dengan latarbelakang pemikiran seperti ini, maka sangatlah mudah untuk membayangkan kerugiaan spiritual yang dapat ditimbulkan di ruang pengakuan dosa, yang dilakukan oleh seseorang yang secara sah ditahbiskan sebagai imam, namun tidak memiliki latar belakang teologi yang baik dan/atau kemampuan untuk menilai secara akurat implikasi moral dari skenario yang mungkin dihadirkan oleh seorang peniten. Seorang imam yang secara keliru menasihati seorang peniten terkait perbuatan yang sebetulnya tidak termasuk dosa atau yang secara keliru memberikan persetujuannya terhadap perbuatan yang salah secara moral, sama artinya menggiring peniten ke jurang spiritual yang berbahaya.
Modalitas Pemberian Fakultas dan Masa Berlaku
Seturut ketentuan hukum, fakultas untuk mendengar pengakuan dosa secara habitual diberikan secara tertulis (bdk. Kan. 973). Forma tertulis ini merupakan keharusan demi kelayakan dan sejauh hal ini dapat dibuat. Selain itu, hal ini juga penting untuk pembuktian pemberian fakultas jika sewaktu-waktu diminta oleh pihak tertentu atau otoritas gerejawi lain.
Dalam hubungan dengan masa berlaku, fakultas untuk mendengar pengakuan dosa berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan atau untuk jangka waktu yang ditentukan (bdk. Kan. 972). Pembatasan waktu biasanya berkaitan dengan imam yang tidak diinkardinasi pada keuskupan atau dalam kaitan dengan imam religius yang melayani umat untuk jangka waktu tertentu saja. Pemberian fakultas untuk jangka waktu yang tidak ditentukan pada umumnya berkaitan dengan imam diosesan yang diinkardinasi secara permanen. Secara logika hukum, jika tidak ada pembatasan waktu, maka pemberian fakultas diandaikan untuk waktu tidak tentu.
Fakultas Dapat Ditolak di Tempat Lain ?
Sebagai prinsip umum, imam yang telah memperoleh fakultas untuk mendengar pengakuan dosa dapat melaksanakan fakultas itu di mana pun (bdk. Kan. 976, §2). Dengan kata lain, ketika seorang imam diosesan telah menerima fakultas tersebut dari uskupnya, ia juga dapat secara sah mendengarkan pengakuan dosa di keuskupan-keuskupan lain.
Di lain pihak, kanon 976, §2 juga menyertakan klausul pengecualian: ”nisi loci Ordinarius in casu particulari renuerit”, artinya kecualia Ordinaris Wilayah dalam kasus tertentu melarangnya. Biasanya penolakan seperti ini tidak terjadi, namun dalam siatuasi tertentu hal ini mungkin terjadi. Kita dapat mengangkat sebuah kasus imaginer. Romo A adalah seorang imam diosesan dari keuskupan B dan seorang dosen teologi terkenal dan telah menerbitkan beberapa buku yang di dalamnya mengandung pemikiran yang bertentangan dengan dogma Gereja. Ia diundang oleh sekelompok awam dari Keuskupan C untuk memberikan ceramah sekaligus melayani sakramen tobat. Uskup Keuskupan C dapat saja menolak kunjungan Romo A di wilayah keuskupannya dan menolak fakultas yang dimiliki oleh Romo A untuk mendengarkan pengakuan dosa di keuskupannya. Jika hal ini terjadi maka Romo A tidak dapat secara sah memberikan absolusi kepada umat di wilayah keuskupan C, kecuali dalam situasi bahaya maut. Si Romo A tentu saja masih memiliki fakultas untuk mendengar pengakuan dosa, baik di keuskupan B maupun di semua keuskupan lain di mana para uskup tidak secara eksplisit menolak fakultas yang dimilikinya untuk melayani pengakuan dosa.
Penarikan Kembali Fakultas Dan Konsekuensinya
Fakultas yang diberikan oleh Uskup Diosesan dapat saja ditarik kembali jika ada alasan yang berat. Hal ini secara eksplisit ditegaskan dalam kanon 974. Secara prosedural, sebelum fakultas tersebut ditarik kembali, perlu dilakukan penyelidikan awal secara seksama untuk mengetahui fakta secara objektif. Dengan kata lain, penarikan fakultas tidak sekedar sebuah keputusan administratif semata-mata melainkan harus disertai dengan alasan yang berat dan dapat dibuktikan. Pencabutan fakultas harus dilakukan secara tertulis ad probationem, demi pembuktian.
Norma kanonik tidak memberikan contoh terkait ’alasan berat’ tersebut. Hemat kami, alasan yang dapat dikategorikan berat misalnya, imam yang bersangkutan perlahan-lahan menderita kepikunan (pencabutan fakultas dalam kasus ini bukan kesalahan dari imam tersebut), atau dalam kasus imam yang melakukan kejahatan tertentu, misalnya pelecehan seksual terhadap peniten di kamar pengakuan.
Dengan pencabutan fakultas tersebut, maka konsekuensinya imam yang bersangkutan kehilangan fakultas untuk mendengar pengakuan, baik di keuskupanya sendiri maupun di keuskupan lain mana pun (bdk. Kan. 974, §2). Hal ini dapat dimengerti karena secara teologis tidak masuk akal jika seorang imam diosesan tidak dipernankan mendengarkan pengakuan di Keuskupannya namun diizinkan untuk melakukan hal tersebut di tempat-tempat lain.
Penutup
Fakultas untuk mendengar pengakuan mutlak perlu dimiliki oleh setiap imam. Tanpa fakultas seorang imam tidak dapat memberikan absolusi dosa peniten secara valid. Fakultas tidak diberikan secara otomatis. Ada aturan mainnya yang harus dipatuhi.
Peran Uskup Diosesan sangat krusial. Kebaikan rohani umat beriman yang telah dipercayakan kepadanya menjadi bagian dari tanggung jawab seorang uskup (bdk. kan. 383. Ia harus memastikan bahwa para imam yang melayani pengakuan dosa umat di wilayah keuskupannya adalah imam-imam yang telah dibekali dengan pengetahuan teologi moral yang memadai serta kualitas-kualitas lain yang dituntut untuk itu. Jika ia menilai bahwa ada imam yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka dengan kuasa yang dimilikinya berdasarkan jabatan dan untuk melindungi umat beriman, ia harus mencegah imam tersebut untuk melayani pengakuan dosa umat.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.