Pada umumnya manusia hanya dapat hidup kalau ia langsung atau tak langsung mempunyai sumber nafkah atau warisan. Perdagangan merupakan salah satu cara yang halal untuk mencari nafkah. Juga rohaniwan harus hidup dan memerlukan sarana untuk meme-nuhi pelbagai kebutuhan. Bagaimanakah kebijakan Gereja dalam hal ini?
I. KETENTUAN KHK:
Kanon 286: “Para Klerikus dilarang berbisnis (negotiatio) atau berdagang (mercatura), dilakukan sendiri atau lewat orang lain, untuk keuntungan baik diri sendiri maupun orang lain, kecuali dengan izin otoritas gerejawi yang legitim”
Catatan kaki mengacu pada d.142; SSConc.Decr.”Plurimis ex documentis”, 22 mar 1950 (AAS 42 [1950] 330-331)
Kanon.1392: “Klerikus atau Religius yang berdagang atau berbisnis melawan ketentuan-ketentuan kanon, hendaknya dihukum sesuai dengan beratnya tindak pidana”
A. PERBEDAAN ANTARA ‘NEGOTIATIO” DAN “MERCATURA”
Berbeda dengan kan.287 tentang politik praktis yang tak disebut dalam KHK 1917, kan. 286 KHK 1983 ini hanya meneguhkan apa yang sudah ada dalam KHK 1917 yang juga memuat ancaman hukuman dalam kan.2380 dan diambil alih dalam KHK 1983 kan,1392, sedangkan penajaman Dekret “Plurimis ex documentis” 1950 tidak diulangi. Jadi, dapat disimpulkan adanya perkembangan pesat dalam soal ini, sehingga larangan ini juga tidak disertai nada keras: Dilarang tanpa izin otoritas gerejawi yang berwenang.
1. Teks dan terjemahan
a. Teks Latin: negotiatio aut mercatura
b. Terjemahan
Indonesia: bisnis atau perdagangan
Inggris business or trade
Jerman Gewerbe oder Handel
Perancis le negoce ou le commerce
Spanyol la negociacion o el comercio
Italia l’attivita affaristica e commerciale
2.Arti
a. Lingkup arti sulit digariskan, karena batas-batas – seperti halnya dengan politik – tak jelas-tegas atau amat kabur, sehingga dapat dibayangkan kasuistik dalam hal ini, apalagi dunia bisnis berkembang pesat dengan bentuk-bentuk baru bisnis dan perdagangan yang dulu sulit dibayangkan.
Juga dari perbandingan istilah dan terjemahan “negotiatio” dan “mercatura” sulit disimpulkan sesuatu yang pasti.
Dalam “Compendium of the Social Doctrine of the Church” yang diterbitkan Takhta Suci pada tahun 2002 bab VII dikhususkan untuk “Economic Life” yang juga mengakui perkembangan di sektor ini (“New things”). Hal ini tidak mempermudah penggarisan tegas bidang “negotiatio” dan “mercatura”.
Jual-beli barang atau kertas berharga demi laba?
Apa yang perlu diperhatikan dalam pertimbangan pemberian izin?
1) Perhatian dan waktu yang disitanya?
2) Laba yang dicari?
3) Risiko yang ditanggungnya?
4) Frekuensinya?
5) Kebebasan, hambatan dan citra dan bahkan sandungan yang timbul daripadanya?
6) Konteks konkret pelaksanaan tugas pelayanan pastoral?
7) Penyalahgunaan posisi dan relasi?
b.Tidak termasuk:
Penjualan hasil sendiri
Pemerolehan untuk investasi
Dapatkah diberi rincian lebih lanjut?
B. APA SEBABNYA?
Pada umumnya Kitab Hukum Kanonik hanya mencanangkan posisi tertentu tanpa eksplisit mengajukan alasannya yang bisa macam-macam dan harus diungkapkan sendiri, sehingga tidak mengherankan jika dikemukakan banyak pendapat, bahkan dapat terjadi bahwa kebijakan tertentu lebih mengungkapkan plausibilitas daripada hasil argumentasi yang meyakinkan, sehingga tidak mutlak, dan membuka kemungkinan kekecualian.
1. Tugas pelayanan pastoral tanpa pamrih yang menuntut komitmen sepenuhnya tanpa kegiatan lain yang dapat menghambatnya.
2. Bisnis dan perdagangan juga mengandung “relasi” perdagangan dan risiko (pengusaha = entrepreneur), apalagi dalam suasana penegakan hukum yang amat lemah dan permainan-permainan yang meresapi masyarakat kita..
3. Dalam kan.285 dibedakan tegas antara apa yang “tak pantas” bagi status klerikal dan “asing” bagi status klerikal (“aliena”) meskipun tidak termasuk lingkup “tak pantas” (“indecora”).
Kiranya jelas bahwa bisnis dan perdagangan bukanlah hal yang tak pantas, tetapi dapat dimasukkan ke dalam lingkup “asing” bagi status klerikal.
C. OTORITAS GEREJAWI YANG BERWENANG
Soal ini memang dapat menimbulkan keragu-raguan, maka sebaiknya disinggung sebentar.
1. Di kalangan Gereja pada umumnya
Kiranya tak perlu sampai ke Takhta Suci, cukup Uskup diosesan yang telah
menerima segala wewenang untuk reksa pastoral di wilayahnya, bdk.kan.381.
2. Di kalangan Tarekat pada khususnya
Kiranya cukup superior maior (Provinsial), dengan tetap mengindahkan perbedaan struktur Tarekat dan kebijakan Gereja setempat
II. BEBERAPA DOKUMEN TTG.IMAM DAN PERDAGANGAN:
Sebaiknya diperhatikan bahwa pernyataan sosial politik sering juga meliputi bidang ekonomi.
1965 GS 42 Pengutusan khas Gereja tidak pada tataran ekonomis (“ordinis oeconomici”), dan imam dipahami secara khusus melaksanakan pengutusan khas Gereja itu.
1971 De sacerdotio ministeriali 15 Imam dan nilai-nilai keduniaan
1983 KHK kan.286, bdk.juga kan.285.
1985 Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila no.82-85,145-149, memang tak khusus ditujukan kepada para imam, tetapi mereka ini dapat membantu mewujudkannya.
1989 Pastoral Guide for Diocesan Priests in Churches dependent on the Congregation for Evangelization of Peoples art.31:”Civic Commitment”
1995 Statuta Keuskupan Regio Jawa Pasal 23
1995 Pedoman Gereja Katolik Indonesia
1997 Catechismus Ecclesiae Catholicae
2002 Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia
Piet Go, O Carm
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.