Imam dan Adopsi Anak,
Beberapa Pertimbangan Yuridis-Pastoral
RD. Rikardus Jehaut
Pendahuluan
Apakah seorang imam Katolik diperbolehkan untuk mengadopsi anak? Jika diperbolehkan, bagaimana Gereja mengatur hal ini? Jika dilarang secara hukum (kanonik), apa alasannya ? Bagi sebagian orang, seorang imam, -seperti yang lain- memiliki hak kodrati dan karena itu ia boleh mengadopsi anak, apalagi dalam Kitab Hukum Kanonik tidak ditemukan aturan yang melarang hal ini. Sebaliknya, ada pula yang melihatnya sebagai tindakan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang imam karena dapat menghalangi pelayanan pastoral dan dapat menciptakan skandal di tengah umat. Sambil membuka ruang bagi ongoing discussion, saya berusaha memberikan beberapa pertimbangan argumentatif yuridis-pastoral dengan bertumpu pada Kitab Hukum Kanonik dan dokumen-dokumen resmi Gereja yang relevan, yang dapat dipakai untuk membedah anatomi persoalan yang diangkat ini. Ruang lingkup pembicaraan kita terbatas pada adopsi legal anak di bawa umur oleh seorang imam, kendati demikian mutatis mutandis, pertimbangan yuridis-pastoral yang sama, hemat saya, dapat dipakai untuk melihat fenomena atau praktek ‘adopsi’ orang dewasa oleh seorang imam atau pelayan suci lainnya.
Penting untuk juga ditegaskan lebih awal bahwa Kitab Hukum Kanonik tidak mengatur secara khusus tentang adopsi anak. Legislator Gereja Universal merujuk kepada ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan sipil yang berlaku di masing-masing negara: “Filii, qui ad normam legis civilis adoptati sint, habentur ut filii eius vel eorum qui eos adoptaverint”, anak yang diadopsi menurut norma hukum sipil, dianggap sebagai anak dari orang atau orang-orang yang mengadopsinya” (KHK kan. 110). Atas dasar itu maka, demi membantu kita dalam menganalisis persoalan menyangkut adopsi anak oleh seorang imam, kita perlu melihat terlebih dahulu secara garis besar ketentuan hukum sipil di Negara Republik Indonesia ini menyangkut adopsi anak.
Ketentuan Hukum Sipil menyangkut adopsi
Dalam konteks Negara Republik Indonesia, ada beberapa ketentuan yuridis menyangkut adopsi anak. Pertama, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983. Dalam surat edaran ini ditetapkan bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption); juga dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Hal lain yang diatur adalah terkait cara mengadopsi anak yakni dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis, yang ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berdomisili. Permohonan tersebut harus mencantumkan alasan atau motivasi mengangkat anak.
Kedua, Undang-undang No. 23 Tahun 2002. Dalam Bab VIII Bagian kedua pasal 39 dari UU ini ditegaskan tujuan dan mekanisme pengangkatan anak yakni demi kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Pada Pasal 2, dinyatakan bahwa pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan adat kebiasaan artinya pengangkatan anak dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih menjalankan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui penetapan pengadilan. Pasal 12 dari PP No. 54 Tahun 2007 ini menetapkan berbagai syarat pengangkatan anak yang antara lain: belum berusia 18 tahun; berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; memerlukan perlindungan khusus. Dari pihak yang akan mengadopsi syarat yang dituntut antara lain: sehat rohani jasmani, mampu secara sosial-ekonomis, mendapat persetujuan anak dan izin tertulis orangtua atau wali anak, membuat pernyataan tertulis bahwa tujuan adopsi adalah demi kesejahteraan anak yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah ini juga mencantumkan efek hukum adopsi berkaitan dengan perwalian dan hak waris.
Imam dan Tiga Nasehat Injil
Imamat adalah suatu jabatan dan fungsi resmi dalam Gereja berdasarkan tahbisan. Dalam menjalankan imamatnya itu, seorang imam dituntut untuk hidup menurut nasehat Injili yang dikonkritkan dalam bentuk penghayatan ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan demi Kerajaan Allah.
Dalam hubungan dengan ketaatan, KHK kan. 273 dengan tegas menyatakan bahwa klerikus terikat kewajiban khusus (speciali obligatione) untuk menyatakan hormat dan ketaatan kepada Ordinaris masing-masing. Ketaatan yang bersifat yuridis ini berhubungan erat dengan status klerikal dan pelayanan suci (bdk. Presbyterorum Ordinis, n. 15). Ikatan yuridis yang lahir dari inkardinasi merupakan dasar immediate dari ketaatan dan kebersediaan seorang imam untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh Ordinaris. Ketaaan kanonis (canonical obedience) yang bersifat mewajibkan ini dan kesediaan seorang imam untuk melayani secara penuh adalah juga merupakan konsekuensi pastoral-yuridis dari inkardinasi. Ketaatan ini antara lain diwujudkan lewat kewajiban untuk menerima dan melaksanakan dengan setia berbagai tugas –nisi legitimo impedimento excusentur – yang dipercayakan Ordinaris (bdk. kan. 274, §2).
Selanjutnya, dalam KHK kan. 277, §1 ditegaskan bahwa para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan selamanya demi Kerajaan surga dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah (peculiare Dei donum); dengan itu para pelayan suci dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi (indiviso corde) dan membaktikan diri lebih bebas untuk pelayanan kepada Allah dan kepada manusia. Norma kanon ini, yang mengambil sumber utamanya dari Dekrit Presbyterorum Ordinis n. 16, harus dibaca secara cermat. Sebagai pemberian diri secara total kepada Allah, selibat jauh melampaui tuntutan untuk tidak menikah. Ia juga mencakup pelepasan terhadap ‘kebapaan natural’ demi ‘kebapaan yang lebih luas di dalam Kristus’, yakni kebapaan spiritual yang merangkul semua orang yang dilayaninya tanpa kecuali dan tanpa diskriminatif serta memberikan diri secara bebas sebagaimana yang diperlihatkan oleh Yesus sendiri dalam pelayanan-Nya. Dengan selibat demi Kerajaan Allah, para imam menguduskan diri mereka kepada Kristus, mendekatkan diri dengan-Nya dengan lebih mudah dengan hati tak terbagi, dan mengabdikan dirinya lebih bebas dan lebih efektif bagi pelayanan terhadap Allah dan sesama.
Seorang imam juga dituntut untuk menghayati nasehat injil terkait kemiskinan. KHK kan. 282, §1 menegaskan bahwa para klerus hendaknya hidup sederhana dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang memberi kesan kesia-siaan. Seorang imam diajak untuk hidup sesuai dengan status mereka sebagai pelayanan Tuhan. Sebagai konsekuensinya, hidupnya harus dicirikan oleh gaya hidup sederhana yang secara konkrit berarti melepaskan diri keterikatan terhadap barang-barang duniawi yang fana atau menjauhkan diri dari upaya memperkaya diri. Kesederhanaan hidup seorang imam adalah bagian integral dari hidup panggilannya.
Beberapa pertimbangan yuridis-pastoral
Mengacu pada ketentuan hukum sipil menyangkut syarat dan tujuan adopsi sebagaimana dijelaskan secara umum di atas dan bercermin pada identitas seorang imam yang dituntut untuk menghayati ketiga nasehat injil, adopsi anak dari pihak imam membawa kesulitan tertentu dan karena itu sama sekali tidak direkomendasikan. Ada beberapa pertimbangan:
Pertama, ikatan legal yang muncul dari ketentuan hukum sipil antara imam dan anak yang diadopsi mengandung serangkaian tanggungjawab tertentu. Hal ini akan membawa dampak negatif terhadap efektivitas pelayanan imam yang bersangkutan. Pelaksanaan tugas dan kewajiban terhadap Gereja dapat terganggu oleh karena imam yang bersangkutan tidak dapat sepenuhnya disponible dengan pelayanannya. Hal ini dapat membawa dampak terhadap ketaatan yang harus ia tunjukkan kepada Ordinaris yang menuntut dari padanya penerimaan dan pelaksanaan tugas pastoral dengan setia (bdk. KHK Kan. 274, §2).
Kedua, ikatan legal sipil tersebut juga akan berpengaruh pada janji imam yang bersangkutan untuk hidup miskin dan sederhana. Kewajiban legal ini menuntut imam yang bersangkutan untuk memenuhi kebutuhan material anak yang telah diadopsinya bukan hanya sekarang ini melainkan juga jaminan hidupnya di masa depan. Pertanyaanya adalah sanggupkah seorang imam yang notabene hanya memiliki uang saku yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan material dan menjamin masa depan anak yang diadopsinya? Bukankah hal ini akan menggoda dia untuk menempuh cara-cara negatif tertentu yang dilarang oleh hukum, misalnya terlibat dalam aktivitas bisnis atau berdagang (bdk. kan. 286), menarik keuntungan dari stips Misa (bdk. kan. 1385), menyalahgunakan jabatan atau kuasa gerejawi (bdk. kan. 1389, §1) yang mendatangkan kerugian finansial yang besar untuk paroki atau keuskupan dan lain sebagainya.
Ketiga, dengan selibat demi Kerajaan Allah, seorang imam menguduskan dirinya kepada Kristus, mendekatkan diri dengan-Nya dengan lebih mudah dengan hati tak terbagi, dan mengabdikan dirinya lebih bebas bagi pelayanan terhadap Allah dan sesama, melayani dengan lebih efektif (bdk. Presbyterorum Ordinis no. 16). Pada tataran praktis, dengan menghayati hidup sebagai seorang selibater, seorang imam dapat menjalankan tugas dan pelayanannya secara efektif dan maksimal (bdk. Sacerdotalis caelibatus no. 32). Ia bebas memberikan dirinya untuk semua orang dan tidak membangun sebuah hubungan yang eksklusif yang membuatnya terikat secara psikologis. Ketika seorang imam mengadopsi anak, sejak saat itu hubungan yang dibangun menjadi eksklusif. Tuntutan untuk hidup murni bagi seorang imam, hemat saya, tidak hanya berarti menjaga kemurnian diri dari relasi seksual dengan pihak lain, melainkan juga mencakup upaya untuk menjaga dan memelihara kemerdekaan batin dengan tidak menciptakan hubungan yang ‘khusus’. Seorang imam should be Father to everyone dan memperlakukan semua orang equally. Jika secara hukum seorang imam mengadopsi seorang anak, maka hal ini dapat menghalanginya untuk bersikap terbuka dan memberikan perhatian yang sama terhadap umat lain di tempat di mana ia layani.
Keempat, kendati pun hukum sipil memberikan kemungkinan bagi orang yang single, seperti imam, untuk mengadopsi anak namun saya berpikir bahwa hanya dalam lingkungan keluarga natural, yang terdiri dari ayah-ibu, perkembangan psiko-afektif seorang anak dapat terjamin dengan baik. Motivasi dan tujuan seorang imam mengadopsi anak pun pantas dipertanyakan oleh karena dapat terjadi bahwa hal itu bukan bertujuan untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan, melainkan demi memenuhi kebutuhan psikologis alam bawah sadarnya akan kehadiran seseorang yang memberikannya rasa ke-bapa-an natural yang tidak ia peroleh karena statusnya sebagai seorang selibater. Lebih jauh daripada itu, dalam kasus imam selibater, justru karena kehidupan selibatnya, dapat muncul keraguan yang sangat serius baik secara pedagogis maupun personality terkait pribadi yang tepat untuk membesarkan anak yang diadopsi dan mendidiknya ke arah perkembangan kepribadian yang utuh.
Izin Ordinaris
Tidak ada kanon yang secara tegas melarang seorang imam mengadopsi anak. Namun imam yang bersangkutan harus mendapat izinan dari Ordinaris, dalam hal ini, Uskup Diosesan. Izinan ini dibutuhkan mengingat bahwa adopsi anak dari pihak seorang imam, membawa konsekuensi yuridis tertentu. Di lain pihak, adopsi juga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas pastoral imam yang bersangkutan.
Tidak mudah untuk menemukan alasan yang meyakinkan yang dapat dijadikan pertimbangan yang sah dan masuk akal untuk memberi izin bagi seorang imam untuk mengadopsi anak. Secara hipotetis barangkali dapat dipertimbangkan kasus khusus dimana di tempat tertentu dan dalam situasi tertentu, hanya imam yang bersangkutan- dan tidak ada orang lain lagi – yang dapat menopang dan menjamin kesejahteraan anak yang bersangkutan. Imam yang bersangkutan tidak memiliki masalah secara finansial karena memiliki banyak harta warisan dari keluarganya. Di samping itu, ia juga memiliki kepribadian yang matang dan mampu menjaga keseimbangan antara tugas pastoral dipercayakan oleh Ordinaris kepadanya dan tanggung jawabnya sebagai pihak yang mengadopsi sebagaimana dituntut oleh hukum sipil. Kasus hipotetik lain barangkali dapat ditambahkan, namun penilaian akhir ada pada pihak Ordinaris. Yang pasti bahwa apa yang sesuai di tempat tertentu tidak dengan sendirinya dapat diterapkan di tempat lain. Sebagai contoh, jika menurut penilaian Uskup Diosesan di Amerika Serikat seorang imam boleh mengadopsi anak, hal itu tidak dengan sendirinya dapat dijadikan alasan untuk memberikan izin di Keuskupan tertentu di Indonesia.
Pada umumnya, pemberian izin bukan praktek yang umum dalam Gereja Katolik kendati technically dimungkinkan jika ada alasan yang sah dan masuk akal. Berbagai hal yang rumit menyangkut adopsi dan implikasi legal yang ditimbulkannya, di satu pihak, dan identitas serta tanggungjawab pastoral seorang imam di lain pihak, menjadi alasan bagi Ordinaris untuk tidak memberikan izin bahkan kalau perlu mencegahnya.
Penutup
Imam adalah pelayan suci dalam Gereja. Ia dipanggil oleh Allah untuk menguduskan dirinya lewat pelayanan kepada umat beriman. Ia hendaknya menghindari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan statusnya (bdk. KHK kan. 285, §1). Ia juga harus menghindari hal-hal yang meskipun tidak tercela, namun asing bagi statusnya (bdk. KHK kan. 285, §2).
Mengadopsi anak merupakan sesuatu yang asing bagi seorang imam. Ia adalah Bapa bagi semua. Menjalankan hidup sebagai seorang selibater dan sekaligus sebagai seorang ‘bapa angkat’ untuk orang tertentu bukanlah sebuah pilihan yang baik, malah hal itu akan menimbulkan skandal di tengah umat. Kendati benar bahwa validitas dari sebuah tindakan pelayanan tidak bergantung per se dari tipe hidup yang dijalankan oleh seorang pelayan namun hal ini tentu saja berpengaruh terhadap efektivitas pelayanan pastoral yang ia jalankan.
Editor: RD. Kamilus
Kredit Foto: https://www.investireoggi.it/
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.