Ilusi Seputar Pertambangan dan Ekologi Keberlanjutan
(Oleh RD Benny Denar/Imam Projo Keuskupan Ruteng – Dosen Pendidikan Lingkungan Hidup di STIPAS St. Sirilus Ruteng – Penulis Buku: Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?)
Dalam konteks penyebaran pandemik covid-19 yang mengglobal, Paus Fransiskus menyerukan agar terjadi perbaikan relasi dan segala kebijakan terkait alam ciptaan. Salah satu bentuk perbaikan yang amat perlu adalah dengan mencegah kuatnya penetrasi investasi pertambangan yang berwatak eksploitatif. Maka perjuangan Gereja menolak investasi pertambangan, sejatinya mesti mengarah kepada pembongkaran ilusi-ilusi berkedok investasi yang dijanjikan korporasi tambang, sekaligus menawarkan serta memperjuangkan terlaksananya ekologi keberlanjutan dan keselamatan.
Argumentasi Korporasi Tambang dan Pemerintah
Ada beberapa argumentasi yang biasa dibawa korporasi tambang dan didukung pemerintah (Benny Denar: 2015). Pertama, invetasi pertambangan meningkatkan penerimaan pemerintah atau devisa. Kedua, pertambangan menyerap tenaga kerja atau mengurangi pengangguran. Ketiga, kebijakan pertambangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang berlaku. Keempat, kegiatan pertambangan dilakukan setelah melewati sosialisasi dan mendapat persetujuan masyarakat setempat.
Berdasarkan argumentasi di atas, pemerintah kemudian memfokuskan pembangunan pada upaya peningkatan industri. Akibatnya adalah terjadi proses industrialisasi secara masif sebab industri menjadi lokomotif utama pergerakan ekonomi. Indikasi riil dari kesuksesan dalam pengejaran pertumbuhan adalah meningkatnya produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan pada sektor ekonomi nasional. Semua itu diukur dari perspektif ekonomi makro. Untuk mengejar keberhasilan itu, pemerintah lebih berperan meningkatkan bahkan meliberalisasi investasi di bidang industri. Namun liberalisasi investasi sering berciri patologis karena menimbulkan degradasi ekologis, pemiskinan sistemik dan destruksi budaya.
Patologi Pertambangan
Patologi ideologi pertumbuhan tersebut secara implikatif dapat terlihat dari beragam persoalan seputar industri pertambangan. Pertama, pertambangan tidak terbukti menyejaterakan masyarakat. Dalam kenyataan di lapangan, tingkat kemiskinan di wilayah tambang justru amat tinggi, tingkat kesehatan masyarakat juga rendah, sebab tanah dan lingkungan mereka tidak hanya hancur tetapi juga beracun. Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang masif telah berdampak pada meningkatnya frekuensi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kerusakan tanah, perubahan cuaca (climate change), maupun bencana alam lainnya. Semua itu tentu berdampak pada tingginya biaya penanganan bencana. Bank Dunia memperkirakan biaya lingkungan dari penambangan saja mencapai US$100 juta (atau Rp 1.330.000.000.000). Sedangkan biaya lingkungan dari tambang rakyat sekitar US$ 3 juta (atau Rp 39.900.000.000) setiap tahunnya. Dengan demikian, jika dihitung rasio cost-benefit-nya, maka terlihat lebih besar biaya dari manfaat yang diperoleh.
Alih-alih menghadirkan kesejahteraan, pertambangan sebaliknya justru memunculkan pemiskinan sistemik karena masyarakat dengan gampang dipengaruhi oleh pola hidup konsumtif-materialistik. Hal ini ditandai oleh ketergantungan luar biasa pada sistem ekonomi uang tunai karena semua kebutuhan mereka telah terintegrasi pada mekanisme pasar. Pola pemiskinan model inilah yang menyebabkan sulitnya melakukan advokasi tolak tambang di daerah pertambangan. JPIC (Justice, Peace, Integration Creation) Gereja misalnya sering dicibir oleh orang yang pro-tambang karena tidak sanggup memberi bantuan uang tunai kepada masyarakat setempat (lingkar tambang). Namun, sebenarnya inilah model penghisapan paling sempurna karena membuat masyarakat menggantungkan hidupnya kepada investor.
Kedua, pertambangan yang merupakan anak kandung dari ideologi pertumbuhan amat kuat menciptakan destruksi budaya. Secara praktis hal ini terlihat dalam rusaknya kelembagaan adat dalam masyarakat, seperti terlihat dalam munculnya tokoh adat baru (bayangan) atau merekayasa otoritas adat untuk menandatangani izin penggunaan lahan aktivitas pertambangan. Namun yang lebih fundamental sebenarnya adalah bahwa pertambangan itu menyebabkan lenyapnya daya ingat sosial (social memory). Sebab sangat mungkin terjadi generasi baru yang lahir setelah tambang beroperasi akan mewarisi tata nilai dan sosial baru yang merupakan dampak operasi tambang dan bukan tata nilai yang semula dimiliki masyarakat setempat.
Rontoknya tatanan sosial dan ikatan kekeluargaan antarwarga menyebabkan perpecahan, persengketaan, dan bahkan ke taraf konflik yang mengarah kepada usaha melenyapkan eksistensi mereka sendiri satu sama lain. Masyarakat tercabut dari realitas sosial dan kulturalnya sendiri yang membuat mereka seolah menjadi orang asing di tanah leluhur mereka.
Ketiga, investasi pertambangan apalagi yang melibatkan perusahaan-perusahaan transnasional juga memungkinkan rontoknya kelembagaan politik. Kelembagaan politik digantikan oleh tata kelembagaan yang patuh kepada kepentingan korporasi. Akitabnya adalah lenyapnya ruang aspirasi dan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan politik
Dalam kasus praktis, ambruknya kelembagaan politik tersebut dapat terbaca dari kemudahan proteksi yang diberikan pemerintah terhadap perusahaan tambang. Hal ini misalnya terlihat dari perusahaan tambang yang bisa seenaknya meminta bantuan pemerintah untuk menggunakan alat negara (polisi, tentara, dan lain-lain) guna mengintimidasi aktivis dan masyarakat yang resisten. Sementara di pihak lain, pemerintah membiarkan perusahaan tambang melakukan ketidakadilan terhadap pemilik lahan, juga terhadap masyarakat yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan.
Kelima, merusakkan lingkungan hidup dan mengancam keutuhan alam ciptaan. Untuk lebih jelas kita dapat melihat kesaksian yang disampaikan Uskup-Uskup daerah Patagonia-Comahue (Argentina) yang mereka tulis dalam pesan Natal 2009; “Kami mencatat bahwa perusahaan yang beroperasi dengan cara demikian seringkali adalah perusahaan multinasional. Umumnya setelah mengakhiri aktivitas mereka dan menarik diri, mereka meninggalkan utang manusiawi dan ekologis besar seperti pengangguran, kota-kota mati, menipisnya cadangan alam tertentu, deforestasi (penghilangan/penggundulan hutan), pemiskinan pertanian dan peternakan lokal, lubang-lubang menganga bekas tambang, bukit-bukit yang hancur, sungai-sungai yang tercemar dan segelintir karya sosial yang tidak dapat dilanjutkan.”
Dengan berbagai fakta ini, terutama terkait kerusakan alam ciptaan yang kian masif akibat aktivitas pertambangan, maka amat tepat jika Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si (Art. 61) mengatakan bahwa manusia sesungguhnya “telah mengecewakan harapan Allah”. Menurut Paus Fransiskus, situasi alam ciptaan yang kian rusak “menyebabkan saudari bumi bersama semua yang diterlantarkan oleh dunia kita menangis dan memohon agar kita mengambil arah lain.”
Ekologi Keberlanjutan
Keterlibatan umat Kristiani dalam memulihkan dan melestarikan keutuhan ciptaan bukan semata-mata didorong oleh adanya kerusakan lingkungan hidup, tetapi merupakan perwujudan iman akan Allah Sang Pencipta dan pemelihara kehidupan. Iman yang hidup menjadi spiritualitas dasar bagi segala upaya untuk mendatangkan keselamatan bagi semua ciptaan. Oleh karena itu, berbagai bentuk kegiatan pastoral lingkungan hidup hendaknya selalu bersumber pada kasih Allah yang mencipta, memelihara dan menjaga seluruh alam semesta ini. Dengan menegaskan pendirian seperti ini, Gereja memproklamirkan diri sebagai sakaramen keselamatan yang sudah sejak lama telah menaruh kepedulian mendalam terhadap masalah lingkungan hidup.
Apakah dengan demikian, Gereja tidak mendukung kemajuan? Pertanyaan ini penting mengingat beragam kritikan yang dialamatkan kepada pendirian Gereja selama ini. Sikap kritis Gereja terhadap penetrasi investasi terutama di wilayah NTT membuat Gereja dinilai terlalu jauh mencampuri berbagai urusan ‘duniawi’ yang disebut bukan ‘kompetensinya’. Gereja bahkan dinilai anti investasi dan karena itu menghalangi pertumbuhan ekonomi di NTT. Dengan terlalu kritis terhadap dunia invetasi, Gereja dituduh justru melanggengkan kemiskinan yang sudah lama mendera daerah ini. Terhadap tuduhan seperti ini pertama-tama perlu dijelaskan bahwa cita-cita utama keberadaan Gereja adalah untuk keselamatan dunia dan manusia, baik jasmani maupun rohani. Maka Gereja tidak semata berkosentrasi kepada keselamatan jiwa manusia yang bersifat eskatologis, tetapi juga ingin berperan menghadirkan kesejahteraan manusia di dunia (sekarang).
Dengan pilihan sikap ini, maka Gereja sebetulnya tidak menentang investasi. Sebaliknya Gereja justru mendorong umat dan masyarakat untuk memiliki semangat berwirausaha. Bahkan Gereja melihat kebebasan pribadi dalam hal ekonomi, termasuk kebebasan untuk berinvestasi sebagai salah satu nilai hakiki dan hak fundamental harus dibela dan digalakan. Sebab Gereja menyadari akan adanya kosekuensi negatif jika hak pribadi atas usaha ekonomi dilemahkan atau dinafikan. Secara jelas, dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus II menulis: “Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa pengingkaran hak ekonomi atau pembatasan terhadapnya konon demi keadilan bagi setiap masyarakat, justru menghilangkan atau sama sekali menghancurkan semangat berprakarsa, yaitu subjektivitas kreatif warga masyarakat.”
Gereja selalu terbuka, menghormati dan mendukung berbagai macam perkembangan dan kemajuan zaman, termasuk di bidang ekonomi. Namun sebagai penjaga moral kehidupan, gereja senantiasa mendorong agar segala prakarsa ekonomi harus tetap menjaga dan melindungi hak hidup masyarakat, khususnya orang-orang yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Atas nama dan kepentingan orang-orang kecil, budaya, dan kelestarian lingkungan, Gereja menolak pembangunan yang direduksi hanya sebagai medan terjadinya hegemoni kekuasaan politik dan pasar yang hanya menguntungkan pemerintah dan para investor.
Gereja amat konsen menolak pembangungan yang mendegradasikan lingkungan karena bagi Gereja dunia ciptaan selalu menggambarkan keaguangan Allah selaku penciptannya. Kosekuensinya, manusia mesti menggunakan alam ciptaan dengan penuh syukur sambil menyadari bahwa alam ciptaan itu bukanlah miliknya, tetapi merupakan pemberian tanpa jasa dan istimewa dari Allah pencipta. Maka niat dan tindakan serta pilihan pembangunan yang dengan sengaja mengorbankan keutuhan alam ciptaan bukan saja kesalahan terhadap ibu bumi, tetapi juga dosa terhadap Allah.
Terkait hal tersebut, Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si (2015) No. 8 mengutip pidato Patriark Bartolomeus di Santa Barbara California; “Bagi manusia yang menghancurkan keanekaragaman hayati ciptaan; bagi manusia yang mengurangi keutuhan bumi dengan menyebabkan perubahan iklim, dengan menggunduli hutan alamnya atau menghancurkan lahan-lahan basahnya; bagi manusia yang mencemari perairan di bumi, tanahnya, udaranya dan hidupnya – semuanya ini adalah dosa. Kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah”.
Dengan pendasaran ini, maka amat tepat jika Paus Fransiskus dalam dokumen yang sama menyerukan pertobatan ekologis. Dalam level aplikatif, pertobatan ekologis itu mesti ditunjukkan dengan pilihan pembangunan berkelanjutan (lihat Sonny Keraf: 2010). Konsep pembangunan berkelanjutan pada dasarnya menghendaki agar usaha memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Dengan demikian, cita-cita dan agenda dasar pembangunan berkelanjutan diarahkan agar terjadi sinkronisasi, pengintegrasian dan pemberian perhatian serta bobot yang sama bagi tiga aspek pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya, dan aspek lingkungan hidup. Jadi dalam pembangunan berkelanjutan terdapat imperatif agar pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup mesti dipandang secara lebih holistik, sehingga ketiganya tidak saling dipertentangkan. Tujuannya agar pembangunan aspek sosial budaya dan lingkungan hidup tidak dikorbankan demi dan atas nama pembangunan ekonomi. Pada tempat inilah agenda pembangunan seharusnya mengikuti tiga prinsip pokok, yaitu prinsip demokrasi, prinsip keadilan, dan prinsip keberlanjutan. Pembangunan berkelanjutan seperti ini yang akan memastikan terjaminnya masa depan kehidupan dan peradaban sekaligus lebih memuliakan martabat manusia.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.