IBADAH
Allah yang tak terhampiri namun sangat dekat itu dapat berjumpa dengan manusia itu di tempat suci: Allah dapat menjumpai manusia, dan manusia dapat menjumpai- Nya. Perjumpaan manusia dengan Allah di tempat suci itu diatur dengan tatanan tertentu yang disebut ibadah. Dalam Perjanjian Lama pada umumnya ibadah hanya dapat dilakukan di tempat-tempat suci karena kehadiran Allah dipahami terikat pada tempat-tempat itu. Dalam perjumpaan itu manusia mempersembahkan kurban bagi Allah dengan berbagai tujuan. Mereka bersyukur atas semua yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dan memohon pengampunan dosa. Dalam perjumpaan itu mereka juga merayakan pekerjaan yang telah dilakukan Allah bagi mereka di masa lampau.
A. Etimologi Ibadah
Kata Ibrani “abodah” mulanya menunjuk pada pekerjaan yang dilakukan oleh budak bagi tuannya. Ibadah kepada Allah mengungkapkan pengakuan mereka kepada Allah yang menjadi pemilik dan penguasa mereka. Dalam ibadah manusia menyampaikan kurban dan persembahan kepada Allah, menyampaikan pengakuan akan kekuasaan Allah, menegaskan kesediaan untuk hidup sebagai umat dan hamba-Nya, serta memohon berkat-Nya. Semua ini diungkapkan dalam serangkaian upacara ritual yang disebut ibadah.
Dalam Perjanjian Lama ibadah dapat dilakukan secara pribadi (Kej. 24:26 dst; Kel. 33:9-34:8), namun ibadat bersama sebagai satu jemaat sangat ditekankan (Mzm. 42:4; 1Taw. 29:20). Ibadat umum itu dilakukan dalam kemah pertemuan dan di Bait Allah. Ketika Bait Allah dihancurkan menjelang zaman pembuangan, bangsa Israel merasa tidak memiliki tempat ibadah lagi. Tetapi, itu tidak menghalangi ibadah mereka. Mereka mendirikan sinagoga di banyak tempat sehingga mereka dapat berkumpul, berdoa, dan membaca kitab suci. Setelah Bait Allah dibangun kembali setelah pembuangan, Bait Allah itu dan sinagoga menjadi tempat ibadah mereka.
Pada zaman para nabi hari-hari raya keagamaan dilangsungkan dengan meriah. Pelayanan di Bait Allah diatur dengan baik. Jumlah imam makin banyak. Ibadah mereka disertai dengan nyanyian-nyanyian meriah dan kepada TUHAN dipersembahkan kurban yang tak terbilang banyaknya. Orang-orang yang percaya pada Allah mengunjungi tempat-tempat itu untuk menghadap hadirat Allah. Karena itu, orang harus sungguh-sungguh mempersiapkannya, seperti yang tampak dalam Kej. 35:1-5, yang menggambarkan ziarah Yakub ke Betel. Persiapan ini dilakukan oleh Yakub dan keluarganya itu untuk membuat diri mereka bersih karena mereka akan menghadap Allah yang kudus. Semua persiapan ini dilakukan agar mereka pantas menghadap Allah dan kehadiran mereka diterima oleh- Nya. Untuk apa sebenarnya umat beriman dalam Perjanjian Lama mengunjungi tempat-tempat suci itu dan menghadap hadirat Allah? Ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan berkaitan dengan hal ini.
B. Hormat kepada Allah
Ibadah pada zaman para bapa bangsa itu sederhana dan bersifat perorangan (keluarga). Ibadah yang mereka lakukan itu berupa kurban persembahan dan doa. Ibadah mereka tidak banyak menyangkut upacara dan ritu, tetapi mereka lakukan sebagai ungkapan hubungan pribadi dengan Allah. Yang manjadi pokok dalam kisah para bapa bangsa adalah pertemuan manusia dengan Allah, bukan soal tempat yang dipandang suci, tempat mereka menyelenggarakan ibadah. Hubungan dengan Allah berlangsung secara khidmat/hormat, bukan rasa takut. Allah mendekati mereka dalam suasana cinta kasih dengan janji yang mengikat manusia dalam persekutuan dengan Dia. Manusia pun mendekati Allah dengan sikap hormat dan percaya akan kasih Allah.
Abraham. Kisah Abraham diawali dengan kedatangan TUHAN untuk memanggil Abraham. Dalam perjumpaan itu TUHAN menyampaikan janji untuk 1). Memberikan sebuah negeri, 2). Membuatnya menjadi bangsa yang besar, dan 3). Memberkatinya dan menjadikannya berkat bagi segala kaum di muka bumi. Abram percaya kepada janji itu lalu pergi meninggalkan negeri, keluarga, dan sanak saudaranya. Bersama dengan Sarai, istrinya, dan Lot, keponakannya, Abraham berangkat ke Kanaan. Di Tanah Kanaan, tepatnya di dekat pohon Tarbantin yang terletak di More, TUHAN kembali menjumpai Abram. Ia menegaskan janji yang telah diucapkan-Nya, “Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu” (Kej. 12:7). Sebagai tanggapan terhadap TUHAN yang menampakkan diri kepadanya itu, Abram mendirikan mezbah bagi-Nya. Abram melanjutkan perjalanan ke pegunungan di sebelah timur Betel. Di tempat itu ia kembali mendirikan mezbah dan memanggil nama TUHAN.
Yakub. Ketika melarikan diri dari kemarahan Esau, Yakub berencana untuk pergi ke rumah pamannya di Padan Aram. Dalam perjalanan itu ia menginap di sebuah tempat yang bernama Lus (Kej. 28:10-22). Dalam mimpi Yakub melihat tangga yang menghubungkan surga dan bumi. Melalui tangga itu para malaikat Allah turun naik dari surga ke bumi. TUHAN, Allah Abraham dan Allah Ishak, menjumpainya dan menyampaikan janji yang telah disampaikan-Nya kepada Abraham dan Ishak. Ia berjanji untuk memberikan tanah tempat ia berbaring, keturunan sebanyak debu tanah, dan menjadikan dia dan keturunannya sebagai sarana untuk memberikan berkat Allah bagi semua kamu di muka bumi. Selain itu, TUHAN juga berjanji untuk menyertai dan melindungi Yakub ke mana pun ia pergi serta membawanya kembali ke negeri Kanaan.
Penglihatan dalam mimpi yang dialami Yakub itu membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah Allah, di pintu gerbang surga. Pada pagi harinya ia mendirikan tugu dan menuang minyak di atasnya. Lalu ia mengucapkan nazar sebagai tanggapan terhadap janji Allah (Kej. 28:20-22). Jika Allah memenuhi janji-Nya untuk melindungi dia dan memberikan apa yang diperlukan untuk kehidupannya sehingga ia dapat kembali dengan selamat ke rumah ayahnya. Maka, Yakub akan 1). Menyembah TUHAN sebagai Allahnya. 2). Menjadikan tugu yang didirikannya itu rumah Allah. 3). Mempersembahkan kepada Tuhan sepersepuluh dari segala sesuatu yang diberikan TUHAN kepadanya.
Dalam perjalanan selanjutnya, Yakub tinggal di rumah Laban. Ia mendapatkan istri, anak, dan kekayaan yang melimpah. TUHAN benar-benar telah memenuhi janji-Nya dengan membawa Yakub kembali ke tanah Kanaan dengan selamat. Karena itu, Yakub membawa seluruh keluarganya ke Betel untuk menghadap Allah di tempat itu. Ia membuat mezbah dan mempersembahkan kurban kepada Allah (Kej. 35:1-15).
C. Perayaan Pesta Keagamaan
Di Mesir keturunan Yakub telah berkembang jumlahnya dan menjadi sebuah bangsa. Merekalah yang dipilih oleh TUHAN untuk menerima janji yang telah disampaikan-Nya kepada nenek moyang mereka. TUHAN membebaskan bangsa budak yang lemah dan tertindas itu dari Mesir dan mengangkat mereka menjadi umat- Nya. Allah menyatakan diri sebagai penyelamat yang peduli akan nasib mereka yang tertindas itu. Agar Bangsa Israel dapat hidup sebagai umat-Nya, TUHAN memberikan kepada mereka hukum-hukum yang dapat menjadi pedoman hidup mereka. Selanjutnya, Ia membawa mereka melintasi padang gurun dan memberikan tanah Kanaan, yang telah dijanjikan-Nya kepada nenek moyang mereka.
Karena telah diangkat menjadi umat TUHAN, Israel hanya mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Tidak dibenarkan bila mereka pergi untuk menyembah dewa-dewi lain. Peristiwa pembebasan dari Mesir, pemberian Hukum, dan perjalanan di padang gurun itu telah melahirkan berbagai bentuk ibadah yang dirayakan oleh umat Israel. Mereka merayakan Paskah dan Roti Tak Beragi untuk mengenangkan peristiwa pembebasan itu. Mereka merayakan Hari Raya Tujuh Minggu untuk mengenangkan pemberian Hukum Taurat itu, dan mereka merayakan Hari Raya PondokDaun untuk mengenangkan perjalanan di padang gurun. Rangkaian hari raya ini memang dilaksanakan secara umum sebagai satu bangsa, tetapi juga dilaksanakan dalam lingkup keluarga. Dalam perayaan Paskah setiap keluarga (atau kelompok keluarga) menyembelih seekor domba atau kambing jantan yang berumur setahun. Kemudian mereka memakan daging itu dengan sayur pahit.
Setiap laki-laki Israel memiliki kewajiban untuk menghadap ke hadirat TUHAN tiga kali dalam setahun (Kel. 23:14). Tiga kesempatan menghadap TUHAN ini menunjuk pada tiga perayaan yang harus dirayakan dalam satu tahun (Kel. 23:14-19), yakni: a) Hari Raya Roti Tidak Beragi, dirayakan selama tujuh hari setelah Paskah. Selama tujuh hari semua ragi disingkirkan dari dalam rumah dan selama itu pula orang makan roti yang tidak diberi ragi. Kebiasaan ini mengingatkan mereka pada saat nenek moyang mereka harus meninggalkan Mesir dengan tergesa-gesa sehingga terpaksa mengangkat adonannya sebelum diragi (bdk. Kel. 12:34,39). b) Hari Raya Tujuh Minggu (bdk. Ke. 34:22). Hari raya ini merupakan perayaan panen, mengakhiri pesta musim panen gandum, yang kemudian dihubungkan dengan pemberian Hukum Taurat di Gunung Sinai. Karena dirayakan tujuh minggu (Ul. 16:9) atau lima puluh hari (Im. 23:16) sesudah Paskah, pesta ini dalam bahasa Yunani disebut Pentakosta (Tob. 2:1). c) Hari Raya Pondok Daun (Ul. 16:13; Im. 23:34), merupakan perayaan pemetikan buah-buahan di musim gugur, pada akhir musim buah-buahan. Selama perayaan itu orang tinggal di gubuk-gubuk yang dibuat dari ranting-ranting dan didirikan di kebun anggur di musim pemetikan; pondok-pondok itu mengingatkan umat Israel yang dahulu berkemah di padang gurun (Im. 23:43).
Pada hari-hari raya ini semua orang laki-laki pergi mengunjungi tempat suci untuk merayakannya menurut ketetapan yang berlaku. Semua dilakukan dalam suasana penuh kegembiraan karena mengenangkan karya penyelamatan Allah di masa lampau. Mereka menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah lampau. Di hadapan Allah sendiri, yakni di tempat suci itu, mereka memuji Allah yang telah menyelamatkan mereka. Para nabi seringkali mengkritik pesta ziarah dalam kritik mereka terhadap ibadah pada umumnya (Yes. 1:14-15; Am. 5:21; Mal. 2:3). Kritik mereka tidak ditujukan pada pesta ziarahnya sendiri, tetapi pada sikap dan perilaku mereka yang merayakan. Zakaria bahkan menubuatkan bahwa para bangsa akan berziarah ke Yerusalem untuk menyembah TUHAN dan merayakan pesta (Za. 14:16-18).
D. Ibadah Kurban
Pemberian Tanah Kanaan juga melahirkan bentuk ibadah yang lain. Dalam Kitab Yosua diceritakan bagaimana TUHAN berperang untuk merebut negeri itu lalu membagi-bagikannya kepada suku-suku Israel. Karena Allah sendiri yang telah merebutnya, jelas bahwa tanah itu milik Allah dan orang Israel hanya penggarapnya. Mereka menggarap tanah itu dan mendapatkan penghidupan daripadanya. Tetapi, mereka tidak lupa pada Allah, pemilik tanah yang sesungguhnya. Karena itu, sebagai ungkapan syukur kepada Allah dan ungkapan pengakuan akan Tuhan sebagai pemilik tanah, mereka mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada Allah.
Dari pengalaman akan kebaikan Tuhan ini, orang Israel melakukan ibadah kurban. Dalam ibadah ini orang Israel membakar sebagian hasil tanah mereka untuk Tuhan. Sebagian hasil itu berupa sepersepuluh atau buah pertama dari hasil pertanian atau peternakan mereka. Sebelum Bait Allah didirikan, orang (keluarga) membawa persembahan mereka ke tempat-tempat suci dan menyerahkannya kepada imam yang bertugas di tempat itu. Para imam itulah yang kemudian mempersembahkannya kepada Allah. Demikianlah, Elkana setiap tahun membawa persembahan bagi TUHAN ke tempat suci di Silo dan menyerahkannya kepada Eli yang menjadi imam di tempat suci itu (1Sam. 1:3,21). Sesudah Bait Allah didirikan, barang-barang persembahan itu dibawa ke Bait Allah karena hanya di tempat itulah kurban-kurban dapat dipersembahkan kepada Allah.
Dalam ibadah Israel kurban kepada TUHAN memegang peran penting. Pada mulanya kurban persembahan itu merupakan ungkapan pengakuan akan TUHAN sebagai pemilik tanah Israel yang sesungguhnya, sedangkan mereka sendiri sebenarnya hanya penggarapnya. Sebagai persembahan, kurban itu seperti pajak yang dibayarkan kepada para raja. Gagasan ini tidak hanya berakar pada pemahaman mengenai Allah sebagai raja, tetapi juga pada pemahaman bahwa Allah yang menyelenggarakan seluruh bumi, layak mendapatkan persembahan. Sebagai pemberi hujan dan sebagainya, Ia berhak mendapatkan persembahan.
Kurban juga dipersembahkan untuk “menyediakan makanan” bagi Allah (bdk. Kel. 24:5-6; Im. 3:14; Ul. 32:37- 38). Pada zaman dalu orang percaya bahwa para dewa dan makhluk ilahi hidup dari makanan dan minuman khusus di surga. Ketika mereka datang ke dunia dan berada bersama manusia, mereka memerlukan makanan untuk menyegarkan diri mereka, yakni darah dan lemak dari binatang-binatang, yang diyakini mengandung kehidupan dan tenaga. Dalam agama Israel, makanan harian untuk Allah di bumi ini disediakan dengan membakar daging binatang, bersama gandum, minyak, garam, dan anggur (Ezr. 6:9). Selain itu, Allah juga mendapat persembahan roti sajian (Kel. 25:30; 1Sam. 21:6; 1Raj. 7:48), yang terdiri dari 12 roti dari gandum terbaik, yang diletakkan di altar dalam dua susunan yang masing-masing terdiri dari enam buah. Roti ini diganti setiap Hari Sabat, dan roti lama dimakan oleh para imam.
Kurban persembahan kepada TUHAN juga menjadi ungkapan syukur dari seorang yang nazarnya telah dipenuhi. Persembahan ini juga dapat dilakukan ketika orang mengucapkan nazar tersebut (Im. 7:16-17; 22:21; 27; Bil. 6:21; 15:3-13; Ul. 23:21-23). Persembahan disampaikan semata-mata untuk mengucap syukur atas anugerah yang telah diterima dari Allah (Im. 7:12-13; 2Taw. 33:16).
Dalam perkembangan selanjutnya kurban persembahan memiliki fungsi lain: kurban juga dipersembahkan untuk memohon pengampuan dosa dan mendamaikan kembali hubungan antara Allah dan manusia yang retak akibat dosa. Orang Yahudi percaya bahwa hubungan dengan yang tidak suci, baik fisik maupun moral, membuat orang tidak suci dan tidak layak untuk hadir menghadap Allah dalam ibadah. Karena itu, orang-orang yang mengalami hal itu perlu mempersembahkan kurban agar dirinya disucikan kembali dan layak untuk mengambil bagian dalam ibadah.
Sumber: Lembaga Biblika Indonesia
Katerangan foto: Prayer-bible: ilustrasi dari www.playbuzz.com
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.