Beranda KWI Hukuman Pemberatan Dalam Perpu No. 1 Tahun 2016 Dan Kaitannya Dengan Penurunan...

Hukuman Pemberatan Dalam Perpu No. 1 Tahun 2016 Dan Kaitannya Dengan Penurunan Kejahatan Seksual Terhadap Anak: Perspektif Moral Kristiani[1]

Oleh: DR. CB. Kusmaryanto, SCJ[2]

Makalah ini dibawakan oleh Romo Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ pada acara Seminar Bersama yang diselenggarakan oleh Komisi Keluarga KWI, Komisi Keadilan Perdamaian – Migran Perantau KWI dan Sekretariat Gender Pemberdayaan Perempuan KWI di Aula Gedung KWI Cut Mutiah 10, Jakarta, Senin (20/6/2016).

Berikut kami sajikan secara lengkap isi makalah tersebut:

  1. Pengantar

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan PemerintahPengganti undang-undang republik IndonesiaNomor 1 tahun 2016TentangPerubahan kedua atas undang-undang nomor 23 tahun 2002Tentang perlindungan anak. Dari perubahan itu, yang akan kami soroti ada 2 pasal yakni:

Pasal 81. (5): “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

dan

Pasal 81. (7): “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.”

Jadi, yang akan disoroti dalam presentasi ini ada dua hal:

  1. Hukuman mati
  2. Kebiri kimiawi

Mengapa dua poin ini menjadi masalah? Karena dua hal itu rentan terjadinya pelanggaran terhadap human rights (hak manusiawi) dan juga pokok moralitas Katolik.

Kita akan melihat bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga integritas (keutuhan) keseluruhan (total) tubuh manusia sebab hanya dalam keutuhan dan keseluruhan itu, manusia bisa berfungsi normal dan maksimal. Kalau ada bagian tubuh yang dipotong atau disengaja dibuat untuk tidak berfungsi maka akan menjadikan manusia tersebut berkurang kemampuannya untuk mengaktualkan diri, berkurang kemampuannya untuk mengekpresikan diri, berkurang kemampuannya untuk bekerja, dan sebagainya. Menjaga integritas dan keutuhan tubuh menjadi sangat penting dalam kerangka ini.Apalagi, tubuh manusia adalah bagian integral dari persona manusia dan ambil bagian dalam martabat manusia oleh karenanya wajib dijaga keseluruhan dan integritasnya.Hanya ketika tubuh manusia utuh dan integritasnya terjaga maka sebagai manusia dia bisa berfungsi sebagaimana mestinya[3].

  1. Prinsip-prinsip etika umum

Pada tahun 2005 UNESCO mengeluarkan dokumen berjudul Universal Declaration on Bioethics and Human Rights, pada article 8 berjudul Respect for human vulnerability and personal integrity, menyebutkan, “Dalam menerapkan dan memajukan ilmu pengetahuan, praktek medis, dan tehnologi yang bersangkutan … integritas pribadi individu yang bersangkutan harus dihormati.”

Dokumen ini memang tidak berbicara mengenai hukuman kebiri, tetapi di sini ditegaskan perlunye menghormati  integritas pribadi manusia yang tidak diperbolehkan dikurbankan untuk alasan apapun, termasuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan juga praktek medis. Dalam praktek, cukup sering bahwa integritas dan keutuhan tubuh  manusia dikurbankan demi suatu alasan tertentu, misalnya perkembangan ilmu pengetahuan, praktek medis, pencegahan kriminal, kekuasaan, dsb. Tentu saja, hal ini tidak bisa dibenarkan.

PBB pada tahun 1966 mengeluarkan International Covenant on Civil and Political Rights  dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang sudah diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 (UU no. 11 tahun 2005). Article 7.“No one shall be subjected to torture or to cruel, in human or degrading treatment or punishment.” Karena sudah meratifikasi, maka pemerintah Indonesia harus tunduk pada kedua dokumen dasar mengenai human rights (hak manusiawi) tersebut.PBB juga mengeluarkan dokumen Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment tahun 1984. Dalam dokumen tersebut, dikatakan bahwa yang disebut torture: “the term “torture” means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of having committed…” Di sini digaris bawahi bahwa dengan sengaja melakukan penganiayaan yang kejam – baik fisik maupun psikis – tidak boleh menjadi sarana hukuman bagi pelaku kejahatan.

Dalam hal ini, kami mendukung sikap IDI yang menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimiawi tersebut sebab bertentangan dengan doktrin kedokteran yang sudah ada sejak jaman dulu kala, yakni “primum non nocere” atau “First do no harm”.Ini berarti bahwa seorang pelayan kesehatan tidak boleh doing harm bagi pasiennya karena tugas para pelayan kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk membuat orang menjadi sakit atau terancam integritas fisiknya. Hal ini sudah tertuang dalam Kodek etik pasal 1 tentang Sumpah Dokter, pasal2 tentang Standar Kedokteran yang Baik, pasal 3 tentang Kemandirian Profesi, pasal 5 tentang Perbuatan Melemahkan Psikis maupun Fisik, pasal 8 tentang Profesionalisme, dan pasal 11 tentang Perlindungan atas Kehidupan.

Sebagai seorang pelayan kesehatan yang harus evidence based medicine, maka seorang pelayan kesehatan harus mempraktekkan ilmunya berdasarkan bukti-bukti penyakit yang diderita oleh pasiennya. Dalam cara pandang ini, maka organ tubuh yang sakitlah yang harus disembuhkan sedangkan yang tidak sakit tidak boleh dikutak-kutik. Dalam hal kekerasan seksual, jeaslah bahwa yang bermasalah (yang sakit) bukan organ seksualnya tetapi pada pikiran dan ketidak mampuan subjek untuk mengendalikan diri berhadapan dengan ransangan sexual.Kalau demikian, maka solusinya dengan kebiri kimiawi bukanlah slusinya, sebab organ sexnya tidak bermasalah. Solusinya adalah pendidikan penghormatan akan martabat manusia dan pengendalian diri dalam pelbagai aspeknya.

  1. Prinsip etika Gereja Katolik

a. Manusia ciptaan yang paling tinggi

Menurut Kejadian 1: 27  dikatakan bahwa manusia itu adalah puncak ciptaan Allah yang diciptakan menurut gambar Allah, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”

Manusia adalah ciptaan Alah yang paling tinggi.Ini berarti bahwa dari antara ciptaan Allah lainnya, tidak ada yang lebih tinggi dari manusia. Ini artinya: manusia tidak boleh dikalahkan oleh apa saja, kecuali oleh Allah sendiri sebagai pencipta. Tidak pernah dikatakan dalam Kitab Suci agama apapun bahwa  manusia itu lebih rendah dari ciptaan lainnya, apalagi lebih rendah dari suatu aspek dalam diri manusia.Ini artinya bahwa manusia harus menjadi tujuan dalam dirinya sendiri dan tidak boleh hanya dipandangs ebagai alat.

Instrumentalisasi manusia (memandang manusia hanya sebagai alat) berarti bahwa manusia dipakai untuk mencapai tujuan tertentu, baik untuk kebahagiaan manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, keamanan, dan sebagainya. Dalam cara pandang ini, maka hukuman mati dan mengurbankan integritas manusia (kebiri kimiawi, apalagi fisik) tidak bisa dibenarkan.

b. Ciptaan Allah itu sungguh amat baik.

Kejadian 1:31. “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”Apa yang diciptakan oleh Allah itu baik adanya. Konsekuensinya ialah bahwa apa yang sudah baik, tidak boleh dirusak oleh manusia, karena ini berarti merusak karya Allah.

Melakukan pengebirian kimiawi, apalagi kebiri biologis, merupakan tindakan merusak karya Allah, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.Lain halnya dengan kasus amputasi untuk menyelamatkan nyawa pasien.Dalam hal ini, ada konflik antara hidup manusia dengan integritas tuuh manusia.Hidup harus lebih diutamakan bila dibandingkan dengan organ manusia.Dalam kasus kebiri (baik kebiri kimiawi, apalagi kebiri biologis) tidak ada konflik antara hidup dengan organ tubuh.Pokok permasalahan bagi pelaku pemerkosaan bukan terletak di dalam tubuhnya tetapi pada ketidak mampuannya untuk mengendalikan diri berhadapan dengan rangsangan sexual.

Mutilasi dan merusak integritas manusia yang sudah diciptakan oleh Allah dalam keadaan baik, maka tidak bisa dibenarkan. Itulah sebabnya St. Thomas Aquinas dalam bukunya Summa Theologiae, II-II, q 65 dia mengatakan, “Anggota tubuh manusia bisa dibuang apabila dengan tindakan itu bisa menguntungkan seluruh tubuh… Akan tetapi kalau anggota tubuh itu sehat maka tidak boleh dibuang karena akan mengakibatkan kerusakan atau kerugian bagi seluruh tubuh.”

c. Kewajiban dan hak untuk menjaga hidup dan kesehatan

Paus Pius XII dalam pertemuan dengan para dokter dan anastesi yang membicarakan soal rianimasi tgl.24 November 1957 mengatakan, “Alasan-alasan natural dan moral Kristiani mengatakan bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara hidup dan kesehatannya dengan mempergunakan sarana yang perlu bila dia diserang penyakit.”

Mempertahankan hidup dan kesehatan itu adalah hak sekaligus kewajiban, berdasarkan 2 hukum:

  • Alasan natural (natural laws): semua makhluk hidup sudah dibekali kemampuan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan (antibody, berlari, obat dsb). Baik secara internal maupun secara external, manusia sudah diberi kemampuan untuk menjaga integritas diri, menjaga kesehatan dan menjaga hidup manusia. Adanya antibodi yang ada dalam diri manusia menunjukkan bahwa badan sendiri sudah diberi kemampuan untuk melawan penyakit yang akan menggerogoti hidup manusia, mengancam integritas, dan hidup manusia. Demikian pula manusia dan makluk hidup yang lain juga sudah diberi kemampuan untuk mempertahankan diri berhadapan dengan serangan yang akan mengancam hidupnya, entah melalui gerak refleks, berlari, berteriak dan sebagainya.
  • Alasan moral Kristiani: Hidup ini adalah anugerah yang harus diterima dengan syukur dan dipelihara dan dikembangkan. Manusia adalah administrator hidupya karena hidup manusia yang merupakan pemberian dari Allah ini. Sebagai administrator, manusia tidak berhak untuk merusak apalagi mematikan hidup manusia, sebaliknya tugasnya adalah untuk memelihara dan memperkembangkannya sehinga menghasilkan buah berlimpah.

Dari sudut pandang ini menjadi jelaslah bahwa kebiri kimiawi adalah upaya untuk menjadikan tubuh manusia tidak sehat, tidak bisa berfungsi sebagaimana seharusnya. Apalagi ada indikasi kuat bahwa kebiri itu menimbulkan efek samping yang tidak sedikit, yang berbahaya bagi tubuh (kesehatan) dan kinerja tubuh

d. Menjaga hidup dan integritas dalam pelayanan Kesehatan

Pada tahun 1995, Pontifical Council for Pastoral Assistance, mengeluarkan dokuemn penting sehubungan dengan pelayanan kesehatan, yakni Charter for Healthcare workers. Pada artikel nomor 33 dikatakan, “Medical service to life accompanies the life of the person throughout their whole life-span. It is protection, promotion and care of health, that is, of the integrity and psycho-physical well-being of the person, in whom life “is enfleshed.”

Demikian pula Konperensi Uskup-Uskup Amerika Serikat mengatakan, “Semua orang yang dilayani oleh rumah sakit Katolik mempunyai hak dan kewajiban untuk melindungi dan mempertahankan integritas tubuh dan  fungsi-fungsinya. Integritas fungsional seseorang bisa dikurbankan untuk memelihara kesehatan atau hidup orang itu jika tidak tersedia lagi cara/alat lain yang syah secara moral.”[4]

Dari dua dokumen ini digaris bawahi bahwa seorang pelayan kesehatan harus melindungi dan mempromosikan kesehatan pasiennya dan bukan untuk merusak atau menjadikan pasiennya sakit. Lagi pula seorang pelayan kesehatan harus menjamin pasiennya bahwa dia tidak akan merusak integritas baik fisik maupun psikisnya. Ini adalah tugas yang diemban para dokter yang disesuaikan dengan sumpah Hippokratisnya yang diucapkan seorang pelayan kesehatan pada waktu pelantikannya. Melakukan kebiri kimiawi, apalagi kebiri fisik, itu mencederai integritas tubuh manusia.

  1. Penutup

Pemberian anti androgen yang akan menurunkan kadar tetosteron tentu saja akan diijinkan sebagai suatu sarana terapi. Dalam hal terapi ini informed consent dimana pasien dengan tahu, mau dan sadar menyetujui dan memberikan otorisasi atas tindakan itu, sangatlah diperlukan. Tanpa informed consent yang baik, benar, dan menyeluruh, maka tindakan itu menjadi suatu tindakan kriminal, sebab melakukan tindakan invasif tanpa mendapatkan ijin dari si empunya badan. Tentu saja dalam hal ini, pemberian terapi ini harus evidence based medicine.

Yang juga harus diperhatikan adalah bentuan kepada kurban kekerasan seksual, terutama kepada anak-anak, supaya mereka bisa dibantu baik secara hukum, psikologis dan mental.Kepada kurban kekerasan sexual, kita harus berbelarasa dan mendapat bantuan yang memadai agar secepat mungkin terjadi recovery. Kurban kekerasan sexual bisa mengalami trauma yang mendalam, bahkan ada yang sampai bunuh diri oleh karena merasa kotor dan tidak berharga lagi.Sering kali, bantuan bukan hanya kepada dia yang langsung menjadi kurban tetapi juga kepada keluarga dan rekan dekatnya.

Harus diakui bahwa kurban kekerasan sexual dan pemerkosaan adalah kejahatan yang sangat besar, extraordinary, yang meninggalkan trauma yang berkepanjangan; akan tetapi memberikan efek jera kepada pelakunya dengan hukum yang bertentangan dengan human rights (hak manusiawi) dan keadilan, tidaklah bisa dibenarkan. Hal ini hanya akan melanggengkan budaya kekerasan dan perbuatan yang tidak beradab.

Selain masalah hukum, tentu ada banyak hal yang bisa dibuat untuk menghentikan perbuatan bejat kekerasan sexual ini.Yang paling penting adalah pendidikan nilai yang menghargai manusia sebagai yang mempunyai nilai intrinsik dan mermartabat.Penghargaan terhadap nilai tubuh manusia yang merupakan nilai agung.Penghargaan terhadap hidup manusia yang merupakan nilai dasar bagi hak manusiawi (human rights).Pendidikan sexualitas manusia yang menghargai sexualitas manusia sebagai sesuatu yang suci dan bernilai luhur.Menghargai perempuan dan anak-anak sebagai sesama manusia yang harus dihormati dengan sikab dan budi luhur danbukan hanya sebagai objek semata.

Yogyakarta, Juni 2016

================

[1]Disampaikan dalam Seminar KWI yang menanggapi hukuman kebiri kimiawi, Jakarta, 20 Juni 2016

[2]Dosen Teologi Moral pada Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma. Dosen Bioetika pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, angota Komisi Bioetika Nasional (KBN), anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK), dan anggota Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN)

[3]CB. Kusmaryanto, Bioetika, Peberbit Buku Kompas, Jakarta, 2016, halaman 188-189

[4]National Conference of Catholic Bishops, Ethical and Religious Directives for Catholic Healh Care Services, no. 29