Beranda KWI Hukuman Mati Tidak Relevan Lagi

Hukuman Mati Tidak Relevan Lagi

ilustrasi (DOKPEN KWI

Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau Konferensi Waligereja Indonesia (KKP-PMP KWI) dan Gereja Katolik Indonesia sangat mendukung upaya pemerintah untuk memerangi penyalahgunaan narkotika. Namun, Gereja Katolik sangat tidak setuju dengan hukuman mati karena “hukuman mati sudah tidak relevan lagi.

“Di balik hukuman mati ada unsur ketidakadilan,” demikian Romo Paulus Ch. Siswantoko, Sekretaris KKP-PMP KWI dalam konferensi pers yang digelar di Kantor KWI Cikini, Jakarta Pusat,  Senin (2/2/2015).

Romo Koko, demikian panggilan akrabnya, berpendapat  jika hukuman mati digunakan pemerintahan Jokowi dengan maksud untuk membuat jera para pelaku, maka pemerintah gagal dalam menegakkan hukum yang bermartabat sebagaimana terkandung dalam Nawa Citanya.

“Penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan menghilangkan hak hidup seseorang,” Romo Koko menegaskan.

Pemerintah seharusnya justru mempersempit pasar narkoba dan bukan menjatuhkan hukuman mati. KWI memberikan saran agar hukuman mati dihapuskan dan diganti dengan penjara seumur hidup tanpa memperoleh remisi atau dengan cara-cara lain yang lebih berkeadilan.

Tidak mendapatkan hak

Pemerintah kembali melakukan eksekusi mati untuk lima orang pengedar narkoba pada 18 Januari di Nusakambangan dan satu lainnya di Boyolali secara serentak. Salah satu dari keenam terpidana mati itu adalah Marco Archer Cardoso Mareira, 53, asal Brasil yang beragama Katolik. Menjelang detik-detik eksekusi matinya dia berharap bisa didampingi oleh pendamping rohaninya, P. Charles Patrick Burrows OMI, yang selama 7 tahun ini sudah dikenalnya tetapi harapan itu sia-sia.

Menurut Romo Carolus, demikian panggilan akrabnya, dia sudah menunggu surat dari kejaksaan untuk mendampingi Marco yang beragama Katolik, tetapi sampai detik terakhir menjelang eksekusi, surat itu tidak pernah tiba. Romo Carolus maupun rakyat Brazil sangat kecewa karena Marco tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya sebagai orang Katolik, yakni mendapat pendampingan rohani pada saat akhirnya, padahal terpidana mati yang lain mendapatkannya. Sepengetahuannya, Marco juga menderita gangguan kejiwaan psikotik dan halusinasi sehingga tidak layak dihukum mati. Padahal menurut Puri dari Kontras terpidana yang sedang mengalami gangguan mental dijamin haknya untuk tidak mengalami hukuman yang berat. Lebih lanjut, Puri menegaskan bahwa pemerintah seharusnya mencoba mencari sistem yang lebih akuntable, sistem hukum ke arah yang lebih humanis.

Menyinggung soal fungsi dan peran Lapas, Romo Carolus menegaskan bahwa lapas seharusnya menjadi  tempat rehabilitasi, bukan tempat hukuman. Menurutnya tidak ada hukuman yang baik, yang perlu ada adalah belas kasih. “Kalau kita menghargai Allah yang berbelas kasih, kita harus meniru-Nya. Kalau Ia saja berbelas kasih, maka kita juga harus bisa berbelas kasih,” tandasnya.

Revolusi spiritual

Romo Carolus, yang pernah menerima anugerah Maarif Award pada tahun 2012 karena pengabdiannya yang luar biasa untuk memberdayakan masyarakat Kampung Laut Cilacap, juga menegaskan perlunya ada revolusi spiritual melalui pembinaan keluarga, bukan hanya revolusi mental seperti yang digaungkan Jokowi. Yang terpenting menurutnya adalah, “Jangan sampai ada perceraian supaya anak-anak tidak kena narkoba. Karena biasanya anak-anak yang kecanduan narkoba berasal dari keluarga broken-home.” Maka, salah satu cara untuk mempersempit pasar narkoba dan menangkal narkoba pada diri orang-orang muda adalah menciptakan keluarga-keluarga yang harmonis. (Harini B./Dokpen KWI)